Hatta jelas menyadari bahwa demokrasi kerakyatan yang didasarkan pada suara terbanyak cenderung mengarah pada dominasi mayoritas. Dan ini bukan yang beliau cita citakan. sebaliknya juga, beliau tidak menginginkan adanya tirani minoritas. sesuatu yang beliau bayangkan tentang Indonesia adalah sebuah negara yang digerakkan oleh hikmat - kebijaksanaan. Kata hikmat itu menarik karena tidak melulu masalah rasionalitas, tapi ada tekanan berkaitan dengan rasio dan kenyataan. Rasionalitas akan membawa pada idealisme nalar semata. Sedangkan kebijaksanaan melibatkan hati nurani di dalamnya.
Misalnya saja, dalam rasionalitas etis, terutama kaum utulitiaris, menganggap bahwa sejauh berguna itu baik, dan harus dihilangkan sebanyak mungkin yang tidak berguna.Â
Kalau begini ya bisa saja unsur rasionalitas menghilangkan orang orang yang dianggap tidak berguna dan kadang kala menjadi ancaman bagi masyarakat kebanyakan. Seperti penyandang virus corona yang dieksekusi di Korea Utara, atau dahulu Hitler dengan NAZInya memusnahkan sampah sampah masyarakat jerman yang lebih menjadi beban hidup dibandingkan jadi manusia kebanggan bangsa Jerman seperti kaum difabel.Â
Hatta tidak membayangkan yang semacam itu, tentunya. Hikmat, kebijaksanaan yang mengacu juga pada nilai nilai pancasila yang lain seperti ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, dan keadilan. Untuk itu semua dibutuhkan kemampuan berhikmat dan berbijaksana.
Soekarno dalam sebuah bukunya yang terbit tahun 1965 menegaskan bahwa demokrasi yang harus dikibarkan di negara ini adalah demokrasi politik dan ekonomi:
Bagaimana dan demokrasi yang harus dituliskan di atas bendera kita,--yang harus kita adakan di seberang jembatan-emas? Demokrasi kita haruslah demokrasi baru, demokrasi sejati, demokrasi yang sebenar-benarnya pemerintahan Rakyat. Bukan 'demokrasi' la Eropah dan Amerika yang hanya suatu 'potret dari pantatnya' demokrasi-politik sahaja, bukanlah demokrasi yang memberi kekuasaan 100% pada Rakyat di dalam urusan politik sahaja, tetapi suatu demokrasi politik dan ekonomi yang memberi 100% kecakrawartian pada Rakyat-jelata di dalam urusan politik dan urusan ekonomi.Â
Setidaknya dua tokoh tersebut memberikan gambaran demokrasi yang berkebijaksanaan. Bukan demokrasi yang semata mata memberikan kekuasaan kepada rakyat. Sayangnya, meskipun idenya tampak sangat bagus dan mungkin juga utopis, tapi dalam perjalanan sejarahnya tampak kesulitan dalam menerapkan demokrasi model apa.Â
Bahkan dari semasa pemerintahan dua tokoh itu, tak kunjung ditemukan praxis demokrasinya. Pernah ada demokrasi perwakilan, demokrasi langsung, sampai demokrasi pemimpin coba diterapkan dengan masing masing tujuannya dan latar belakangnya yang bagus. Hanya saja, tidak terwujud juga. Hatta, misalnya ketika tidak setuju dengan Soekarno hanya bisa mundur dari panggung pemerintahan.
Padahal yang dibayangkan hatta atau yang beliau citacitakan adalah kebijakan yang mengedepankan mufakat. Semula yang diharapkan adalah mufakat seperti di desa desa, yang umumnya mencapai kata sepakat setelah dibicarakan panjang lebar. Sedangkan dalam konteks negara dengan banyak partai, sayang sekali, mau tidak mau hanya bisa sampai pada model suara terbanyak.
Pseudo Demokrasi
Barangkali inilah sekarang yang disebut dengan pseudo demokrasi. Demokrasi semu. Konon ceritanya, Socrates dipaksa minum racun dan mati dengan pengadilan demokratis yang kurang lebih dia idealkan. Hanya karena mayoritas mengatakan keyakinannya salah, dan itulah yang dianggap kebenaran tertinggi.Â