Di era digital, tren "Marriage is Scary" ramai dibahas di media sosial seperti TikTok, Instagram, dan X. "Marriage is Scary" apabila diartikan yakni pernikahan itu menakutkan. Istilah ini banyak digunakan menjadi konten sebagai respons takut akan pernikahan.Â
Melalui konten-konten ini, individu berbagi pengalaman atau spekulasi negatif tentang pernikahan---misalnya, kekhawatiran akan kekerasan, perselingkuhan, atau konflik dengan keluarga pasangan.Â
Narasi ini membuka ruang diskusi yang lebih jujur tentang sisi gelap pernikahan, dengan ungkapan seperti "Marriage is scary what if pasangan lo main kasar", "Marriage is scary what if he does what my dad did", "Marriage is scary gimana kalo nanti pasangan kita selingkuh", "Marriage is scary bayangin nanti pasangan gak bisa belain lo di depan keluarganya", dan lain sebagainya yang menggambarkan ketakutan mereka.
 Generasi Z merupakan kalangan yang paling banyak menggunakan media sosial seperti Tiktok, Instagram, dan X. Menurut beberapa peneliti, tahun lahir Gen Z berada pada tahun 1997-2012. Rentang usia ini seharusnya menjadi periode dimana individu mulai mempertimbangkan pernikahan.Â
Namun, laporan dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa jumlah pernikahan terus mengalami penurunan selama enam tahun terakhir. Penurunan paling signifikan terjadi pada tahun 2023, dimana angka pernikahan menurun sampai 2 juta pasangan dari 1.705.348 menjadi 1.577.255.Â
Dengan penurunan angka terhadap pernikahan di masyarakat, fenomena ini sejalan dengan tren "Marriage is Scary" dimana banyak individu di generasi ini mengekspresikan ketakutan dan keraguan mereka tentang pernikahan, menjadikan tema ini semakin relevan dan sering diperbincangkan di platform media sosial Tiktok.
 Narasi ini mencerminkan kekhawatiran yang mendominasi pemikiran Generasi Z, yang mungkin berkontribusi pada penurunan angka pernikahan.
Â
"Marriage is Scary" dari perspektif psikologiÂ
- Social Learning Theory
 Menurut Social Learning Theory dari Bandura, individu belajar dari mengamati dan meniru perilaku orang lain, terutama model yang mereka lihat pada kehidupan sehari-hari.  Bagi Gen Z, yang aktif dan sangat dekat dengan media sosial, paparan terhadap konten bertema "Marriage is Scary" dapat mempengaruhi cara pandang mereka terhadap pernikahan. Ketika mereka sering melihat narasi negatif tentang pernikahan, mereka mulai merasa bahwa pernikahan adalah risiko yang sebaiknya dihindari. Proses ini menciptakan siklus ketakutan terhadap komitmen yang semakin kuat seiring dengan meningkatnya paparan pada konten yang serupa. Misalnya, seorang narasumber mengungkapkan, "Melihat konten marriage is scary bikin takut menikah; banyak yang share hal-hal negatif." Pandangan serupa diungkapkan narasumber lainnya, "Ngeri sih, jadi takut menikah."
- Attachment
 Trauma yang dihasilkan dari hubungan atau kelekatan yang tidak harmonis dengan orang tua seringkali menimbulkan ketakutan terhadap pernikahan (Kumparan, 2024). Fenomena ini berkaitan dengan teori attachment yang dicetuskan oleh John Bowlby. Menurut Agusdwitanti dkk. (2015), pengalaman kelekatan masa lalu membentuk pola hubungan yang mempengaruhi cara seseorang berelasi di masa dewasa.
 Ketika anak yang tumbuh dalam keluarga tanpa kehangatan romantis dapat menyerap pola interaksi negatif yang membuat mereka memandang bahwa hubungan jangka panjang seperti pernikahan tidak akan berhasil. Akibatnya, banyak yang merasa ragu dan takut akan komitmen. Dengan demikian, pola kelekatan yang terbentuk dalam konteks keluarga yang tidak harmonis dapat berkontribusi pada ketakutan individu terhadap pernikahan.
 Hal ini juga diperkuat oleh paparan media sosial, di mana mereka terpapar oleh berbagai konten "Marriage is Scary" yang menggambarkan ketakutan serupa. Paparan ini semakin memperkokoh pandangan negatif yang mungkin telah terbentuk dari pengalaman masa kecil, membuat generasi ini kian pesimis tentang pernikahan.
- Psychoanalytic Social Theory (Basic Hostility and Basic Anxiety)
 Ketakutan terhadap pernikahan seringkali berakar pada trauma masa lalu atau pengalaman orang terdekat (Umsida, 2024) yang dapat dianalisis dari kacamata psikologi melalui lensa teori Psychoanalytic Social dari Karen Horney, khususnya konsep basic hostility dan basic anxiety.Â
Ketika kebutuhan emosional seperti rasa aman atau kepuasan tidak terpenuhi di masa kecil, anak dapat mengembangkan basic hostility, namun sering kali tidak mampu mengekspresikannya kepada orang tua. Hal ini memicu  basic anxiety atau kecemasan mendalam, perasaan tidak berdaya dan ketidakpastian yang kerap terbawa hingga dewasa.
 Kecemasan ini dapat mengakibatkan ketakutan akan komitmen atau keraguan terhadap pernikahan karena ada ketakutan akan pengkhianatan dan ketidakpuasan. Dalam konteks ini, ketakutan terhadap pernikahan terlihat bukan hanya sebagai hasil pengalaman pribadi, tetapi juga respons atas dinamika emosional yang belum teratasi dan berakar dalam hubungan masa kecil yang tidak sehat.
Cara MengatasiÂ
Gambar 3 : (Sumber: Canva)Â
![Gambar 3 : (Sumber: Canva)Â](https://assets.kompasiana.com/items/album/2024/11/25/picture3-674445e1ed641505c0456d63.jpg?t=o&v=770)
 Sejalan dengan akar penyebab ketakutan menikah yang telah diuraikan sebelumnya, maka berikut adalah beberapa tips untuk mengatasi ketakutan tersebut:
 Pertama adalah memahami dan mengenali pola perilaku yang dipelajari. Menggunakan Social Learning Theory, individu perlu mengevaluasi konten media sosial yang mereka konsumsi. Dengan membatasi paparan terhadap narasi negatif dan mencari contoh positif tentang pernikahan, mereka dapat membangun pandangan yang lebih realistis dan seimbang tentang komitmen.Â
Misalnya, mengikuti akun yang berbagi kisah pernikahan bahagia bisa membantu mengubah persepsi yang negatif.
 Kedua,  penting untuk membangun kelekatan yang sehat dalam hubungan. Berdasarkan Attachment Theory, individu yang mengalami trauma dalam hubungan masa kecil perlu memahami bagaimana pola interaksi negatif dapat mempengaruhi pandangan mereka terhadap pernikahan.Â
Terapi atau konseling dapat membantu mereka memproses pengalaman masa lalu dan menciptakan pola kelekatan yang lebih positif, sehingga mampu membangun rasa percaya dan keamanan dalam hubungan.
 Ketiga, mengatasi basic hostility dan basic anxiety yang diakibatkan oleh pengalaman emosional yang belum teratasi sangatlah penting. Individu perlu bekerja untuk mengenali ketidakpastian dan ketakutan yang mereka rasakan serta mencari dukungan, baik dari teman maupun profesional.Â
Menghadapi perasaan ini secara terbuka dan jujur akan memungkinkan mereka untuk mengatasi kecemasan dan membangun komitmen yang lebih sehat, serta menghadapi pernikahan dengan keyakinan yang lebih besar.
 Dengan memahami akar ketakutan dan mengembangkan pola pikir serta hubungan yang sehat, kita dapat menghadapi pernikahan dengan keyakinan dan optimisme, menjadikannya bukan sebagai hal yang menakutkan, melainkan sebagai perjalanan untuk dijalani bersama.
 Selain itu, praktik mindfulness dan peningkatan self-efficacy sangat penting. Mindfulness memungkinkan individu untuk tetap hadir sehingga membantu mereka mengurangi kecemasan dan mengatasi pikiran negatif tentang masa depan.Â
Sementara itu, meningkatkan self-efficacy yakni keyakinan pada kemampuan diri untuk menghadapi tantangan dapat memberikan dorongan mental untuk merasa lebih siap menghadapi komitmen. Dengan mengembangkan kedua aspek ini, individu dapat membangun kepercayaan diri dan pandangan positif terhadap pernikahan, menjadikannya sebagai peluang untuk pertumbuhan dan kebahagiaan, bukan sebagai sumber ketakutan.
 Sumber:
 Agusdwitanti, H., Tambunan, S. M., & Retnaningsih. (2015). Kelekatan dan intimasi pada dewasa awal. Jurnal Psikologi. 1(8), 13-14.  Â
 Badan Pusat Statistik. (2024). Nikah dan cerai menurut Provinsi, 2023: Februari 2024. BPS-Statistics Indonesia.
Kumparan. (2024, Agustus 20). Trend Marriage Is Scary di Kalangan Gen Z, Apa Dampaknya? URL.https://kumparan.com/enricco- bintang-syahputra/trend-marriage-is-scary-di-kalangan-gen-z-apa-dampaknya-23MVrkw8S6J. Diakses pada 9 Oktober 2024.
Umsida. (2024, Agustus 19). Tren Marriage is Scary, Ini 6 Faktornya Menurut Pakar Psikologi Umsida. URL https://umsida.ac.id/tren-marriage-is-scary-ini-kata-pakar-umsida/. Diakses pada 11 Oktober 2024
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI