Ketika anak yang tumbuh dalam keluarga tanpa kehangatan romantis dapat menyerap pola interaksi negatif yang membuat mereka memandang bahwa hubungan jangka panjang seperti pernikahan tidak akan berhasil. Akibatnya, banyak yang merasa ragu dan takut akan komitmen. Dengan demikian, pola kelekatan yang terbentuk dalam konteks keluarga yang tidak harmonis dapat berkontribusi pada ketakutan individu terhadap pernikahan.
 Hal ini juga diperkuat oleh paparan media sosial, di mana mereka terpapar oleh berbagai konten "Marriage is Scary" yang menggambarkan ketakutan serupa. Paparan ini semakin memperkokoh pandangan negatif yang mungkin telah terbentuk dari pengalaman masa kecil, membuat generasi ini kian pesimis tentang pernikahan.
- Psychoanalytic Social Theory (Basic Hostility and Basic Anxiety)
 Ketakutan terhadap pernikahan seringkali berakar pada trauma masa lalu atau pengalaman orang terdekat (Umsida, 2024) yang dapat dianalisis dari kacamata psikologi melalui lensa teori Psychoanalytic Social dari Karen Horney, khususnya konsep basic hostility dan basic anxiety.Â
Ketika kebutuhan emosional seperti rasa aman atau kepuasan tidak terpenuhi di masa kecil, anak dapat mengembangkan basic hostility, namun sering kali tidak mampu mengekspresikannya kepada orang tua. Hal ini memicu  basic anxiety atau kecemasan mendalam, perasaan tidak berdaya dan ketidakpastian yang kerap terbawa hingga dewasa.
 Kecemasan ini dapat mengakibatkan ketakutan akan komitmen atau keraguan terhadap pernikahan karena ada ketakutan akan pengkhianatan dan ketidakpuasan. Dalam konteks ini, ketakutan terhadap pernikahan terlihat bukan hanya sebagai hasil pengalaman pribadi, tetapi juga respons atas dinamika emosional yang belum teratasi dan berakar dalam hubungan masa kecil yang tidak sehat.
Cara MengatasiÂ
 Sejalan dengan akar penyebab ketakutan menikah yang telah diuraikan sebelumnya, maka berikut adalah beberapa tips untuk mengatasi ketakutan tersebut:
 Pertama adalah memahami dan mengenali pola perilaku yang dipelajari. Menggunakan Social Learning Theory, individu perlu mengevaluasi konten media sosial yang mereka konsumsi. Dengan membatasi paparan terhadap narasi negatif dan mencari contoh positif tentang pernikahan, mereka dapat membangun pandangan yang lebih realistis dan seimbang tentang komitmen.Â
Misalnya, mengikuti akun yang berbagi kisah pernikahan bahagia bisa membantu mengubah persepsi yang negatif.
 Kedua,  penting untuk membangun kelekatan yang sehat dalam hubungan. Berdasarkan Attachment Theory, individu yang mengalami trauma dalam hubungan masa kecil perlu memahami bagaimana pola interaksi negatif dapat mempengaruhi pandangan mereka terhadap pernikahan.Â
Terapi atau konseling dapat membantu mereka memproses pengalaman masa lalu dan menciptakan pola kelekatan yang lebih positif, sehingga mampu membangun rasa percaya dan keamanan dalam hubungan.
 Ketiga, mengatasi basic hostility dan basic anxiety yang diakibatkan oleh pengalaman emosional yang belum teratasi sangatlah penting. Individu perlu bekerja untuk mengenali ketidakpastian dan ketakutan yang mereka rasakan serta mencari dukungan, baik dari teman maupun profesional.Â