“ Makna kata kata Revolusi tak lagi sesuci ketika diteriakan dibarisan massa Revolusi Prancis, dibalik barikade para pejuang komune Paris, mulut mulut pejuang Bolshevik, juga Castro ketika melawan rezim korup Batista, Revolusi seakan akan menjadi kata pop yang hampir mudah kita temui seperti menemui betapa mudahnya kita mengatakan bahwa ada yang salah dengan negara ini, revolusi seakan akan dieksploitasi menjadi komoditas seksi terlepas dari seksualitas manusia dan menjadi komoditas yang hanya memuaskan hasrat mahasiswa sesaat yang rindu akan sahwat bernama Revolusi “ NN.
Tulisan ini bukanlah sebuah kritikan yang mencela sebuah perjuangan kawan kawan mahasiswa namun mengkritik beberapa hal yang menjadikan kata kata Revolusi dalam diksi Revolusi Pendidikan hanya sebatas hasrat sahwat mahasiswa yang rindu akan romantisme heroik kawan kawan terdahulu, terjebak dalam romantisme masa lalu itulah faktor yang tepat yang bisa saya katakan ketika melihat aksi 2 Mei lalu, aksi yang digadang gadang menjadi titik tonggak Revolusi Pendidikan malah terasa menjadi aksi yang contraRevolusioner yang tak bedanya dengan aksi harian yang menjadi proker wajib organisasi sekarang dan kalau parahnya bisa penulis katakan hanya memuaskan hasrat kewajiban yang meluap akan kata kata Revolusi namun justru lupa bahwa Revolusi harus didukung aksi revolusioner, analisis yang tepat, organisasi massa yang revolusioner juga literasi yang continuekarena Revolusi tak terjadi dalam semalam tapi terus menerus dan merupakan proses hingga bisa merubah tatanan secara keselurhan tidak hanya meraih goal saja.
Disini kritik saya bertumpu pada hal hal materil yang menjaid pokok basis pra Revolusi dan salahnya analisis dalam menentukan faktor masalah yang menjadi alasan Revolusi, pembentukan organisasi perlawanan yang salah, aspek literasi yang dilupakan juga aksi nyata yang dilakukan yang malah contraRevolusioner.
Salah Metode Analisis.
Dalam aspek analisis yang menentukan basis dasar untuk bergerak dan  disini saya mengkritik hal hal dalam analisis yang menafikan aspek materialis historis sebagaimana menetukan perkembangan sejarah dalam umat manusia yang dipengaruhi faktor ekonomi, sesat pikir melupakan aspek materialis historis merupakan kesalahan fatal karena disitu kita tidak dapat menemui faktor dasar untuk bergerak, misalkan menentukan kenapa terjadi masalah pendidikan seperti kenapa adanya komersialisasi pendidikan, liberalisasi pendidikan yang diawali dari keluarnya aturan UU Dikti hingga PP soal otonomi pendidikan harus disadari diawali dari alasan faktor sistem  ekonomi Indonesia yang mulai memasuki masa ekonomi kapitalis yang pasti mempengaruhi pemerintah dan pola bernegara baik ranah tata negara dan administrasi dalam membuat atau memproduksi wacana hukum, poltik, sosial yang pasti dipengaruhi faktor ekonomi kapitalis, sangat mudah bagaimana menggolongkan ekonomi Indonesia mulai beranjak dari feodalisme menjadi kapitalis, Karl Marx mengungkapkannya dalam teori Basis dimana corak produksi Indonesia yang terbuka untuk kepemilikan individu dan modal individu mempengaruhi corak produksi Indonesia yang mulai bertabur industri hingga usaha dibidang investasi dan pasar modal, faktor sistem ekonomi mempengaruhi hal hal lainhya sudah dibahas Karl Marx dalam materialis historis tentu bisa kita jadikan bahan rujukan untuk menganalisis sumber masalah pokok yang harusnya dijadikan sasaran tembak, terjebaknya kita pada ranah lokal seperti UKT, Represifitas kampus terlihat seakan akan tumpul akibat akar masalah yang tidak menjadi inti permasalah sehingga kata kata Revolusi bisa dikemundangkan, lantas katakan kepada saya apakah reformasi UKT, dan reformasi sistem administrasi kampus digolongkan menjadi Revolusi?
Penentuan analisis tentu berpengaruh dalam menentukan arah gerak karena jika analisis masalah yang ditentukan salah juga menggunakan metode analisis yang salah maka akan berdampak dengan selamanya sebuah Revolusi bukanlah Revolusi tapi terjebak dalam ranah reaksioner dimana ranah perjuangan hanya bergerak didasarkan sesuatu yang salah dengan orientasi memperbaiki bukannya merubah secara keseluruhan, tak kalah pentingnya dalam analisis adalah metode analisis yang digunakan ketika menganalisis, dimana sebuah Revolusi harusnya menggunakan metode analisis kritis yang selalu mempertanyakan apakah suatu aturan dan sistem yang terbentuk sudah benar juga menitikberatkan pada faktor ekonomi sebagaimana pola interkasi, sejarah dan juga konflik serta hagemoni yang mengungkapkan i manusia serta sejarah dan masa depan dipengaruhi oleh faktor ekonomi sehingga kita mempunyai hasil analisis yang tepat dalam menentukan inti masalah yang menjadi basis atau dasar dalam bergerak untuk melakukan Revolusi.
Kelemahan dan kealpaan akan analisis yang tidak tepat dalam menentukan masalah menjadi kritik tersendiri dan tak heran akhirnya justru menjadi suatu hal yang fatal dikarenakan karena mempengaruhi suatu langkah gerakan kedepannya khususnya penggunaan kata Revolusi.
Kelemahan dalam membangun organisasi massa.
Tak kalah pentingnya yang membuat saya mengatakan bahwa telah terjadi sesat pikir dan fetish penggunaan kata Revolusi yang tak lebih untu memuaskan hasrat mahasiswa semata adalah kelemahan mahasiswa dalam membangun organisasi perlawanan atau organisasi massa yang menjadi bahan bakar utama dalam revolusi pendidikan, disini saya menjabarkan beberapa masalah dalam membangun organisasi massa yang masih berpusat pada egosentris, model top down, juga menafikan pembagian organisasi massa menjadi 3 bagian yaitu sel inti, massa sadar, dan juga basis massa.
Perjuangan mahasiswa pada Revolusi Pendidikan kemarin masih banyak ditemui organisasi massa yang hilang arah karena masih terjebak pada egosentris siapa yang lebih legal, memiliki legitimasi, basis massa dan juga paling tua, hal ini bisa dilihat dengan bagaimana fokus perlawanan mahasiswa justru terpecah dengan fokus isu yang berbeda pula, dilihat bagaimana masih adanya locusatau tempat perlawanan yang berbeda antara organisasi maupun komite dan hal ini diperparah pula juga intrik saling menunggangi dan fenomena panjat sosial satu organisasi dengan yang lainnya, padahal dalam sebuah revolusi seharusnya organisasi bukan lagi berfungsi sebagai penyelesaia atau finisher tapi lebih kearah pelopor dalam isu pendidikan dimana mahasiswa yang terlepas dari basis massa apapun lah yang harusnya menjadi penggerak ketika perlawanan sudah masuk dalam tahap aksi, namun yang terjadi? Organisasi mahasiswa justru menjadi pelopor sekaligus basis massa, padahal seharusnya revolusi tidak lagi terfokus pada organisasi massa tapi melibatkan massa yang luas yang tergerak karena pengalaman dan kesadaran bukannya sekedar ajakan semata.
Hal yang tak kalah lainnya adalah mahasiswa mengalami kesalahan dalam memetakan kalsifikasi basis perlawanan sehingga metode dalam organisasi perlawanan pun berantakan, disini saya memberi masukan bahwa pemetaan mahasiswa harus dimulai dari pengelompokan mahasiswa yang bergerak atas dasar kesadaran, keilmuan, pengalaman atau aksi sehingga bisa digolongkan dalam tugas masing masingg untuk menjadi perantara untuk membangun organisasi perlawanan dengan mahasiswa.