Mohon tunggu...
hernawati kusuma
hernawati kusuma Mohon Tunggu... Administrasi - guru biasa

ibu yang sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

KAI adalah Kenangan

23 Oktober 2024   19:15 Diperbarui: 23 Oktober 2024   19:22 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: cdn-1.timesmedia.co.id

Bagi saya, kereta api adalah 1% moda transportasi dan 99% kenangan. Ini saya nggak sedang nggombal. Saya katakan demikian karena saya selalu menggunakan moda transportasi ini ketika bepergian. Suka duka, canda tawa dan air mata saling berkelindan. Mewujud kenangan.

Tujuh tahun yang lalu, putra ketiga saya minta mondok. Saya sempat kaget karena dalam keluarga kami, belum ada riwayat anak yang mondok. Apalagi ia baru lulus SD. Ditambah lagi perawakannya yang kecil dan sakit-sakitan membuat saya setengah hati meluluskan permintaannya.

Sebaliknya, suami saya sangat senang dengan keinginan mondok ananda tersebut. Menurutnya, keinginan mondok yang muncul dari anak akan berdampak positif bagi studinya kelak. Setidaknya, ia mampu mengekpresikan keinginannya, memberikan alasan mengapa memilih mondok, dan apa yang harus dilakukannya kelak agar tujuan mondoknya tercapai. Sesuatu yang harus diapresiasi untuk anak lulusan SD.

Kami tinggal di Sidoarjo. Yang dituju adalah pondok tahfidz di daerah Dau-Malang. Usut punya usut, ternyata ada sepuluh anak di SD anak saya ini yang punya tujuan sekolah sama. Mau tidak mau, saya mencari info ke beberapa wali murid terkait prosedur dan sebagainya. Termasuk menguatkan hati untuk melepasnya.

Singkat cerita, setelah melewati beraneka ragam tes, ananda diterima. Kami tidak boleh menelpon dan berkunjung di dua atau  tiga bulan pertama (saya lupa). Anggaplah tiga bulan. Setelah tiga bulan pertama, mereka bisa ditelpon setiap hari Ahad dengan durasi 20 menit per anak.

Sekali sebulan, mereka berhak mendapat Kunjungan Panjang (KP) di hari Ahad. Wali santri bisa membawa mereka keluar seharian dan mengembalikannya sebelum pukul lima sore. Biasanya kami bermalam sehari sebelumnya agar bisa mengikuti salat malam di pondok. Pondok menyediakan guest house bagi wali santri yang menginap.

Di sinilah petualangan bersama KAI dimulai. Kami mulai install aplikasi KAI.  Sepekan sebelum kunjungan, kami membeli tiket agar tidak kehabisan. Ini kereta lokal ya. Kami berangkat dari Stasiun Gedangan menuju Stasiun Malang Kota Baru.

Kami sudah mencoba jadwal keberangkatan yang beragam. Sesuai dengan kepulangan kami dalam bekerja. Kadang kami berangkat bada Maghrib. Kadang setelah Isya. Kalau suami sedang ada agenda sampai malam, maka kami berangkat dengan kereta terakhir pukul delapan sekian. Sampai di Malang sekitar pukul sepuluh malam. Kemudian, menyesap kopi susu panas di depan stasiun yang dipenuhi warung makanan.

Kalau sangat terpaksa sekali, kami ambil kereta pertama keesokan harinya, sekitar pukul lima pagi. Jarak Sidoarjo-Malang yang tidak terlalu jauh memungkinkan kami sampai di stasiun Malang sekitar pukul tujuh. Terus kami lanjutkan perjalanan ke pondok dengan taksi online. Paling lambat jam delapan kami sudah bisa bercengkerama dengan ananda.

Kami sangat menikmati perjalanan dengan kereta karena gerbongnya nyaman, bersih, dan ber AC. Tidak ada orang merokok di dalamnya. Di setiap area tempat duduk ada stop kontak untuk mengisi baterai HP. Jadi, tidak takut kehabisan daya. Saya senang duduk dekat jendela. Menikmati pemandangan yang ada. Kadang hamparan hijau sawah yang membentang. Tak jarang mengabadikan sunrise di balik jendela jika menggunakan kereta pertama subuh. Atau menangkap siluet senja menuju peraduannya. Jika hujan, menjadi lebih romantis. Menggoreskan jari ke kaca jendela yang basah tertimpa rinai hujan.

Biasanya kami mengamankan perjalanan dengan membeli tiket pulang-pergi. Namun, terkadang suami terpaksa membeli tiket tanpa tempat duduk. Hal ini dilakukan agar bisa segera sampai ke rumah karena keesokan harinya sudah ditunggu oleh pekerjaan.

Ada kalanya kami mendapati kursi kosong sehingga bisa dimanfaatkan. Namun tidak jarang kami harus berdiri karena memang gerbong sudah penuh. Saya pikir bungsu saya akan rewel dengan kondisi ini. Ternyata sebaliknya. Ia senang berada di bagian bordes kereta. Bordes adalah area kecil yang terletak di antara dua gerbong kereta. Selain dijadikan tempat keluar masuknya penumpang, area ini juga menjadi jalur penghubung bagi penumpang yang ingin berpindah dari satu gerbong ke gerbong lainnya.

Di bordes ini, si bungsu yang masih berusia sepuluh tahun senang melihat-lihat keluar melalui jendela. Kadang melongok ke sambungan gerbong yang selalu bergerak. Mencari-cari dari mana arah sumber bunyi kereta. Bermain tebak-tebakan dengan ayahnya. Tertawa riang karena bisa mengalahkan sang ayah. Dunia serasa milik mereka berdua.

Pernah kami bertemu dengan seorang bapak yang tampak nyaman sekali duduk di bordes. Ternyata dia membawa dingklik kayu semacam kursi kecil untuk duduk. Saya membatin, kok bisa-bisanya sampai membawa dingklik. Sungguh, persiapannya sangat matang.

 

Patah Hati 

Covid-19 membuat saya patah hati. Saya kehilangan belahan jiwa. Suami saya menjadi salah satu diantara ribuan korban. But, life must go on. Sebagai single parent, saya harus menuntaskan apa yang telah menjadi cita-cita kami berdua. Mungkin ini terkesan klise. Kami tidak punya cukup harta untuk diwariskan namun kami berdua sepakat memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak.

Apa hubungan pendidikan dengan KAI? KAI memudahkan langkah saya. Setiap bulan saya harus mengunjungi putra-putri kami yang di pondok. Si bungsu mengikuti jejak kakaknya mondok di Malang. Saya lanjutkan ritual mengunjungi mereka dengan KAI. Bedanya, tanpa suami di sisi saya.

Di awal-awal wafatnya beliau, sering saya menahan tangis. Mengingat setiap jengkal kenangan yang kami ciptakan bersama KAI. KAI benar-benar menemani saya di saat saya patah hati. Apalagi jika mengunjungi sulung saya di Yogjakarta. Ia mahasiswi UGM. Perjalanan panjang dengan KAI benar-benar menghujan air mata. Sebab sebelumnya, saya selalu pergi berdua. Stasiun Lempuyangan menjadi saksi. 

Sumber: jogja.idntimes.com
Sumber: jogja.idntimes.com

Singkat cerita, pendidikan anak-anak berjalan dengan baik. Alhamdulillah. Setiap semester santri saya pulang. Mereka beranjak dewasa. Tak jarang mereka pulang sendiri naik kereta. Saya mempercayakannya pada KAI karena aman, murah, dan nyaman. Putra ketiga saya ini sekarang berkuliah di Malang. 

Kenyamanan ini pula yang membuat saya tidak pernah khawatir jika harus bepergian sendiri. Saking seringnya saya bepergian, Malang dan Yogjakarta seolah-olah sudah menjadi rumah kedua saya. Saya lebih sering menggunakan kereta malam kalau ke/dari Yogjakarta. Ditinggal tidur sudah sampai tujuan. Apalagi dapat selimut penghangat.

Perkembangan KAI yang semakin bagus makin membuat saya jatuh cinta.  Saya pun senang bereksperimen. Mencoba jenis kereta yang berbeda. Mulai dari ekonomi sampai eksekutif. Sekali-kali lah. Pernah si sulung protes.

"Enak ya Umik kalau pergi-pergi bisa naik kelas bisnis, eksekutif. Sementara aku hanya boleh ekonomi," katanya.

Saya menjawab sekenanya, "Karena Umik sudah berumur. Harus menyesuaikan kondisi fisik. Sementara kamu masih mahasiswa. Masih muda. Pakai ekonomi saja."

Padahal ia pergi pakai ekonomi premium. Apalagi sekarang sudah ada kereta sejenis New Generation. Yang ekonomi rasa eksekutif. Sekarang, putri saya sudah bekerja di Jakarta. Ia bisa memilih tiket kereta apapun yang ia mau karena ia harus membayar sendiri. Sewaktu saya mengunjunginya, saya diajak keliling Jakarta dengan menggunakan Commuter Line. 

Harapan saya semoga ke depan KAI semakin berkembang pesat. Semakin nyaman. Kalau di KRL, mungkin bisa meminimalisir desak-desakan penumpang. Menambah armada mungkin. Ah.. saya tak paham. Yang saya tahu, banyak kenangan tersimpan dalam benak saya terkait KAI ini. 

Nggak salah jika saya mengklaim KAI 1% nya moda transportasi, 99% nya kenangan. Bukan saja selaksa kenangan yang pernah terjadi tapi juga kenangan yang akan saya ciptakan di masa-masa mendatang. Terima kasih KAI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun