Biasanya kami mengamankan perjalanan dengan membeli tiket pulang-pergi. Namun, terkadang suami terpaksa membeli tiket tanpa tempat duduk. Hal ini dilakukan agar bisa segera sampai ke rumah karena keesokan harinya sudah ditunggu oleh pekerjaan.
Ada kalanya kami mendapati kursi kosong sehingga bisa dimanfaatkan. Namun tidak jarang kami harus berdiri karena memang gerbong sudah penuh. Saya pikir bungsu saya akan rewel dengan kondisi ini. Ternyata sebaliknya. Ia senang berada di bagian bordes kereta. Bordes adalah area kecil yang terletak di antara dua gerbong kereta. Selain dijadikan tempat keluar masuknya penumpang, area ini juga menjadi jalur penghubung bagi penumpang yang ingin berpindah dari satu gerbong ke gerbong lainnya.
Di bordes ini, si bungsu yang masih berusia sepuluh tahun senang melihat-lihat keluar melalui jendela. Kadang melongok ke sambungan gerbong yang selalu bergerak. Mencari-cari dari mana arah sumber bunyi kereta. Bermain tebak-tebakan dengan ayahnya. Tertawa riang karena bisa mengalahkan sang ayah. Dunia serasa milik mereka berdua.
Pernah kami bertemu dengan seorang bapak yang tampak nyaman sekali duduk di bordes. Ternyata dia membawa dingklik kayu semacam kursi kecil untuk duduk. Saya membatin, kok bisa-bisanya sampai membawa dingklik. Sungguh, persiapannya sangat matang.
Â
Patah HatiÂ
Covid-19 membuat saya patah hati. Saya kehilangan belahan jiwa. Suami saya menjadi salah satu diantara ribuan korban. But, life must go on. Sebagai single parent, saya harus menuntaskan apa yang telah menjadi cita-cita kami berdua. Mungkin ini terkesan klise. Kami tidak punya cukup harta untuk diwariskan namun kami berdua sepakat memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak.
Apa hubungan pendidikan dengan KAI? KAI memudahkan langkah saya. Setiap bulan saya harus mengunjungi putra-putri kami yang di pondok. Si bungsu mengikuti jejak kakaknya mondok di Malang. Saya lanjutkan ritual mengunjungi mereka dengan KAI. Bedanya, tanpa suami di sisi saya.
Di awal-awal wafatnya beliau, sering saya menahan tangis. Mengingat setiap jengkal kenangan yang kami ciptakan bersama KAI. KAI benar-benar menemani saya di saat saya patah hati. Apalagi jika mengunjungi sulung saya di Yogjakarta. Ia mahasiswi UGM. Perjalanan panjang dengan KAI benar-benar menghujan air mata. Sebab sebelumnya, saya selalu pergi berdua. Stasiun Lempuyangan menjadi saksi.Â
Singkat cerita, pendidikan anak-anak berjalan dengan baik. Alhamdulillah. Setiap semester santri saya pulang. Mereka beranjak dewasa. Tak jarang mereka pulang sendiri naik kereta. Saya mempercayakannya pada KAI karena aman, murah, dan nyaman. Putra ketiga saya ini sekarang berkuliah di Malang.Â