Kawan kami, si bos bengkel sampai rasanya mendadak jadi larut dalam emosi, menyaksikan ketidak wajaran biaya perbaikan mobil minibus di kota Madiun tersebut. Dia sampai katakan, ini kecurangan dan mengambil kesempatan dalam kesempitan. Karena dari perhitungannya, untuk turun mesin sekelas mobil minibus hanya berkisar sekitar tiga sampai empat juta saja.
Terlihat di sudut mata si ibu ada tetesan air mata yang terbendung. Bagaimana tidak. Sedang dalam kondisi berduka karena orang tua meninggal, masih saja ada orang yang tega berbuat curang untuk kepentingan pribadinya. Belum lagi mereka berdua harus berpikir untuk mengeluarkan biaya lagi di  bengkel Semarang. Bahkan saat itu mereka berdua untuk memutuskan segera pulang ke Jakarta dengan menggunakan bus malam. Karena mereka tidak mau berspekulasi menginap di hotel di Semarang, menunggu sampai mobilnya selesai dikerjakan.
Sebuah sermin sepertinya mendadak ada di hadapan penulis. Seandainya penulis yang mengalami seperti itu bagaimana ? Apakah setiap penunggang mobil selalu tersedia uang tunai ataukah ada dana cadangan, seperti yang hari Minggu kemarin penulis dan isteri alami. Matahari terus meredup mengakhiri perjalanan sepanjang siang ini.
Dan penulis sambil duduk termangu menyaksikan mereka berempat bersiap kembali ke Jakarta, terselip sebuah ingatan, orang yang menabur kecurangan akan menuai bencana, dan tongkat amarahnya akan habis binasa. Dan sebuah pertanyaanpun muncul. Akankah orang yang memiliki dasar keimanan kepada Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta, masih tega melakukan kecurangan terhadap sesama ? Sebuah episode tergambar jelas pada hari ini. Begitu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H