Beberapa tahun yang lampau, kalau tidak salah sekitaran tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh enam, hampir seluruh petani bawang merah di kawasan Kabupaten Brebes Propinsi Jawa Tengah berdemo. Semua petani melakukan aksi demo dengan cara membuang seluruh hasil panennya di hamparan jalan raya Pantai Utara Jawa (pantura) yang merupakan akses jalan Nasional. Apakah ini karena gagal panen ? Bukan …!! Ini bukan karena gagal panen.
Tetapi karena harga yang jatuh di tangan tengkulak. Bayangkan harga bawang merah yang normalnya bisa menembus angka tujuh ribu lima ratus rupiah per kilo saat itu, hanya dihargai lima ratus rupiah per kilonya. Mungkin kalau saat itu kita juga memiliki tanaman bawang merah, kita bisa merasakan kerugian yang begitu hebat di kalangan petani bawang merah dan bisa mengalami “sakitnya ….tuh disini”.
Petani sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa, selain menumpahkan kekesalannya dan melampiaskannya dengan cara membuang seluruh hasil panennya di jalan raya pantura. Dari hitungan kertas saja, sudah tidak tidak lagi berbanding lurus dengan modal yang harus dikeluarkan oleh para petani bawang di kawasan sentra bawang Brebes.
Sebuah hasil yang tidak diduga sama sekali oleh kaum petani bawang. Sebuah permainan kalangan sindikat dan mafia berperan disini. Ditambah lagi kucuran bawang merah import deras mengalir ke tanah air pada waktu yang bersamaan.
Jadi bisa dibayangkan rasa kecewa, sakit hati, marah, jengkel, dendam campur aduk. Mau protes, protes kepada siapa ? Sedangkan hasil panen yang diharapkan untuk kelangsungan hidup rumah tangga, dan keperluan anak-anak bersekolah tiba-tiba saja pupus.
Jalan satu-satunya, agar rasa terjerembab mereka bisa direspon sama pemerintah, mereka sepakat membuang hasil panen bawang merah mereka di tengah jalan pantura. Mereka sudah tidak mau peduli akibat dari perbuatannya menimbulkan kemacetan di jalur pantura berjam-jam.
Setali tiga uang, sebuah pendekatan yang diangkat dalam artian nilai keimanan. Apa yang petani bawang merah rasakan saat itu, sama halnya dengan Sang Khalik selaku pemilik lahan anggur dalam kategori keimanan. Tuhan yang mempersiapkan seluruh lahan dengan mencangkul lahan, membuang batu-batunya dan menanam dengan bibit anggur pilihan, tetapi apa mau dikata. Yang dihasilkan hanyalah anggur yang masam rasanya. Timbul kecewa ?
Sebuah perumpamaan yang benar-benar menghentak kehidupan keimanan kita. Ketika kita mencoba menganalogikan kebun anggur itu adalah kehidupan kita. Dimana Tuhan yang menciptakan kita sejak dari kandungan Ibu. Lahir dengan Kasih dan Anugerah-NYAnya sampai kita dewasa dan berumah tangga.
Tetapi selama itu pula mungkin kita tidak pernah menghasilkan sesuatu yang menyenangkan hati sesama. Bahkan tanpa sadar kehidupan kita hanya diisi dengan rasa iri, dengki, sakit hati, marah, dendam bahkan tidak puas akan pemeliharaan Yang Maha Kuasa. Kalau itu adanya, bukankah kita masuk dalam kategori anggur yang masam ?
Akibatnya ? Jangan-jangan Tuhan akan memerintahkan awan-awan, supaya jangan turunkan hujan ke atas bumi. Wah bisa-bisa kemarau panjang bisa terjadi. Betul ?
Dengan kata lain, fakta petani bawang yang berdemo dan hasil buah anggur yang masam ini, bisa dilakukan sebagai pendekatan bagaimana ini berbicara tentang rohani kita di dalam tubuh jasmani kita.
Apakah rumah yang tidak lain adalah tubuh kita, mau dibiarkan kosong melompong dan tidak menghasilkan sesuatu yang membuat senang sesama dalam landasan keimanan dan kasih yang terikat erat. Ataukah kita senantiasa hidup dengan angkara murka ? Atau tetap dibiarkan kosong tanpa memiliki hubungan pribadi dengan Tuhan ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H