Mohon tunggu...
Herman Utomo
Herman Utomo Mohon Tunggu... Penulis - pensiunan

mencoba membangkitkan rasa menulis yang telah sekian lama tertidur... lewat sudut pandang kemanusiaan yang majemuk

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Merugi

25 Januari 2023   10:35 Diperbarui: 25 Januari 2023   11:07 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pexels-zoosnow-5669091

Beberapa tahun yang lampau, kalau tidak salah sekitaran tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh enam, hampir seluruh petani bawang merah di kawasan Kabupaten Brebes Propinsi Jawa Tengah berdemo. Semua petani melakukan aksi demo dengan cara membuang seluruh hasil panennya di hamparan jalan raya Pantai Utara Jawa (pantura) yang merupakan akses jalan Nasional. Apakah ini karena gagal panen ? Bukan …!! Ini bukan karena gagal panen.

Tetapi karena harga yang jatuh di tangan tengkulak. Bayangkan harga bawang merah yang normalnya bisa menembus angka tujuh ribu lima ratus rupiah per kilo saat itu, hanya dihargai lima ratus rupiah per kilonya. Mungkin kalau saat itu kita juga memiliki tanaman bawang merah, kita  bisa merasakan kerugian yang begitu hebat di kalangan petani bawang merah dan bisa mengalami “sakitnya ….tuh disini”.

Petani sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa, selain menumpahkan kekesalannya dan melampiaskannya dengan cara membuang seluruh hasil panennya di jalan raya pantura. Dari hitungan kertas saja, sudah tidak tidak lagi berbanding lurus dengan modal yang harus dikeluarkan oleh para petani bawang di kawasan sentra bawang Brebes. 

Sebuah hasil yang tidak diduga sama sekali oleh kaum petani bawang. Sebuah permainan kalangan sindikat dan mafia berperan disini. Ditambah lagi kucuran bawang merah import deras mengalir ke tanah air pada waktu yang bersamaan.

Jadi bisa dibayangkan rasa kecewa, sakit hati, marah, jengkel, dendam campur aduk. Mau protes, protes kepada siapa ? Sedangkan hasil panen yang diharapkan untuk kelangsungan hidup rumah tangga, dan keperluan anak-anak bersekolah tiba-tiba saja pupus. 

Jalan satu-satunya, agar rasa terjerembab mereka bisa direspon sama pemerintah, mereka sepakat membuang hasil panen bawang merah mereka di tengah jalan pantura. Mereka sudah tidak mau peduli akibat dari perbuatannya menimbulkan kemacetan di jalur pantura berjam-jam.

Setali tiga uang, sebuah pendekatan yang diangkat dalam artian nilai keimanan. Apa yang petani bawang merah rasakan saat itu, sama halnya dengan Sang Khalik selaku pemilik lahan anggur dalam kategori keimanan. Tuhan yang mempersiapkan seluruh lahan dengan mencangkul lahan, membuang batu-batunya dan menanam dengan bibit anggur pilihan, tetapi apa mau dikata. Yang dihasilkan hanyalah anggur yang masam rasanya. Timbul kecewa ?

pexels-pixabay-60021
pexels-pixabay-60021

Sebuah perumpamaan yang benar-benar menghentak kehidupan keimanan kita. Ketika kita mencoba menganalogikan kebun anggur itu adalah kehidupan kita. Dimana Tuhan yang menciptakan kita sejak dari kandungan Ibu. Lahir dengan Kasih dan Anugerah-NYAnya sampai kita dewasa dan berumah tangga. 

Tetapi selama itu pula mungkin kita tidak pernah menghasilkan sesuatu yang menyenangkan hati sesama. Bahkan tanpa sadar kehidupan kita hanya diisi dengan rasa iri, dengki, sakit hati, marah, dendam bahkan tidak puas akan pemeliharaan Yang Maha Kuasa. Kalau itu adanya, bukankah kita masuk dalam kategori anggur yang masam ?

Akibatnya ? Jangan-jangan Tuhan akan memerintahkan awan-awan, supaya jangan turunkan hujan ke atas bumi. Wah bisa-bisa kemarau panjang bisa terjadi. Betul ?

pexels-cnellen-cnellen-14284861
pexels-cnellen-cnellen-14284861

Dengan kata lain, fakta petani bawang yang berdemo dan hasil buah anggur yang masam ini, bisa dilakukan  sebagai pendekatan bagaimana ini berbicara tentang rohani kita di dalam tubuh jasmani kita. 

Apakah rumah yang tidak lain adalah tubuh kita, mau dibiarkan kosong melompong dan tidak menghasilkan sesuatu yang membuat senang sesama dalam landasan keimanan dan kasih yang terikat erat. Ataukah kita senantiasa hidup dengan angkara murka ?  Atau tetap dibiarkan kosong tanpa memiliki hubungan pribadi dengan Tuhan ?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun