Mohon tunggu...
Hermansyah Siregar
Hermansyah Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - ASN

Menguak fakta, menyuguh inspirasi

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Gobar Berliner, Komunitas Sepeda Diaspora Indonesia di Berlin

9 September 2018   11:27 Diperbarui: 9 September 2018   22:30 802
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada 2 (dua) aktivitas yg bisa membuat kita tidak berjarak dengan orang lain yaitu seni dan olah raga. Sekat sosial melebur dan menyatu seperti jiwa raga dalam suatu komunitas dibarengi dengan munculnya sikap dan emosi bahkan fanatisme yg menjadi unsur perekat. Keduanya mampu menggiring suatu entitas memiliki harapan dan tujuan yg sama (common goals) bahkan dapat menjadi modalitas dlm membangun nasionalisme model baru diera milenial.

Dengan seni kita dapat mengekspresikan indah rupa wajah dan menyuguhkan values bagi orang dan bangsa lain yg pada gilirannya dapat mempersepsikan siapa diri kita dan bagaimana diri mereka harus bersikap untuk berinteraksi dengan diri kita.

Dengan olah raga kita dapat menunjukkan identitas, perasaan senasib sepenanggungan, tekad dan determinasi bersama seperti para pejuang perang merebut kemerdekaan. Terkadang tanpa sadar kita berdiri di depan TV ketika merah putih dinaikkan ditiang tertinggi diiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya saat sang pejuang meraih medali emas.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Terlebih bagi kita yg tinggal jauh dinegeri seberang. Di tengah kerasnya perjuangan menggapai hidup dan melakoni kehidupan di Jerman, terkadang diaspora Indonesia punya sedikit ruang waktu utk berkumpul dan berbagi keceriaan, kerinduan atau kegaulauan dengan saudaranya setanah air.

Ritme hidup dgn standar kualitas yg tinggi dan disiplin yg ketat di Jerman seakan membuat diaspora seperti tidak sadar terjadinya perubahan jati dirinya sebagai pribadi yg hangat, heboh, bersahabat, ngocol dan lebay...ya lebay. 

Aku baru tahu klo sifat orang Indonesia itu lebay. Kalau ketemu suka bertanya kisah kehidupan pribadi lawan bicaranya atau temannya yg lain. Kepo kata anak muda masa kini. Tapi ternyata sikap seperti itu cukup saru bagi orang Jerman.

Ngomong sepatah dua patah kata, orang kita bisa langsung ketawa ngakak apalagi makin banyak teman yg ngumpul, suara gelak tawa membahana sampai ke ujung dunia. Ngerumpi memang sudah habit orang kita, emak-emak atau bapak-bapak podo wae. Bisa mati gaya klo gak ada bahan cerita dan teman yg dijadikan korban utk mengolok ria.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Tapi itulah serunya orang Indonesia dan suasana gayeng itu yg membuat orang kita selalu kangen untuk ketemuan. Walaupun baru kenal tapi chemistry nya dapat, bisa berlagak seperti sudah kenal puluhan tahun.

Dan kami yg selama ini gemar sepedaan akhirnya mencoba berkumpul dan membuat wadah bagi para goweser Indonesia yg tinggal di Berlin. Perkumpulan tersebut akhirnya terbentuk yg diberi julukan Gobar Berliner (gowes bareng bagi pemukim di Berlin).

Perkumpulan sepeda ini awalnya bukan untuk mencetak pesepeda profesional atau meningkatkan prestasi dicabang kayuh kaki tapi sebagai ajang tempat berkumpulnya penggemar olah raga sepeda, membuat janjian gowes bareng dan tentunya dengan harapan bisa menjadi obat kangen untuk ngerumpi, bercanda ria dan saluran melepas tawa ngakak membahana.

Gobar Berliner tahun lalu mengadakan gowes bareng kali ketiga sekaligus dalam rangkaian acara pamitnya bapak Dubes RI utk RF Jerman dgn masyarakat Indonesia di Berlin di tengah dinginnya cuaca kota Berlin pada suhu 5 celcius. 

Cuaca yang tidak bersahabat malah membuat adrenalin berolah raga semakin bergairah. Semakin cepat mengayuh sepeda semakin membuat badan terasa hangat. Malas mengayuh pedal justru membuat badan mengkeret...Dingiiinn bookkkk...

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Dan tahun ini Gobar Berliner diadakan pada saat musim panas dalam rangkaian acara agustusan memperingati hari kemerdekaan RI yang ke 73 sekaligus perkenalan bapak Dubes yang baru dengan komunitas gowesers Indonesia di Berlin. 

https://video.medcom.id/metro-news/GNlAVxyb-dukung-atlet-indonesia-wni-jerman-gelar-tour-sepeda

Mumpung cuacanya  sangat bersahabat dan Dubesnya juga penggila gowes..target beliau tahun depan ada pesepeda warga Indonesia yang ikut ajang lomba Velothon 60 km...tarikkk maannggg.

Tidak terasa saking semangatnya bersepeda garis lintang membujur dan catatan jarak tempuh di aplikasi sudah menunjukkan angka 40 km, paha kaki kiri mulai terasa mengeras... kram...tapi coba untuk bertahan. Malu dong sebagai koordinator gobar harus menyerah turun dari pedal sepeda. 

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Lanjut aja..walau muka sudah mulai meringis menahan rasa pegal. Ini menyangkut harga diri pikirku. Namun jalanan bukannya melandai atau menurun tapi malah cenderung mendaki. 

Belum selesai berkompromi dengan rasa sakit di paha kiri tiba-tiba otot paha kanan mulai cenat cenut minta perhatian dan akhirnya dilintasan 50 km, aku harus menyerah kalah karena kedua kaki sudah tidak bisa lagi kompak untuk diajak bekerjasama. 

Terpaksa berhenti sejenak meregangkan dan memijat kedua belah kaki sambil terbaring lemah tengkulai. Aku baru sadar, selama ini kurang latihan dan lebih besar ambisi daripada kemampuan fisik. (cari alasan..he..he..).

Gak disangka dalam kondisi seperti ini gowesers lain pada berhenti dan berupaya membantu untuk pemulihan pelemasan otot paha. Aku merasa terharu dan terhibur. Olah raga ini telah membuat warga kita menjadi satu keluarga besar senasib sepenanggungan. Merekatkan rasa kebersamaan yang tulus tanpa syarat apapun di negeri orang.

Kalau pembaca jeli tentu akan bertanya, di flyer tertulis jarak tempuh 48 km tapi kok hitungan aplikasi lebih dari 50 km. Di dalam tulisan ini, aku harus jujur kawan, angka 50 km itu merupakan angka psikologis bagi pesepeda terutama bagi pemula. Bila dicantumkan jarak tempuh sejauh itu bisa membuat gowesers jadi keder walaupun mereka mampu. Dengan mengurangi hitungan jarak menjadi lebih dari 40 km dan kurang dari 50 km maka siperagu akan tersugesti untuk mau ikutan. I apologize for this guys...xi..xi..

Tapi ternyata siasat dan konspirasi ini makan tuan, aku yang ditunjuk sebagai koordinator sibuk menyiapkan acara dan lupa menyiapkan fisik. Tidak ada latihan dan pemanasan...langsung hajar. Memang kita harus jujur ya supaya selamat. Suatu pelajaran berharga bagiku. 

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Dengan semangat pantang menyerah walau mengayuh dengan limbung, akhirnya garis finish 54 km pun dapat ku capai dengan tepuk tangan membahana dari pesepeda lainnya. Antara perasaan senang dan malu bercampur jadi satu saat mereka menyambut kedatanganku. Here we are our coordinator..ayo kita makan siang. Udah lapar nihh. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun