Ada 2 (dua) aktivitas yg bisa membuat kita tidak berjarak dengan orang lain yaitu seni dan olah raga. Sekat sosial melebur dan menyatu seperti jiwa raga dalam suatu komunitas dibarengi dengan munculnya sikap dan emosi bahkan fanatisme yg menjadi unsur perekat. Keduanya mampu menggiring suatu entitas memiliki harapan dan tujuan yg sama (common goals) bahkan dapat menjadi modalitas dlm membangun nasionalisme model baru diera milenial.
Dengan seni kita dapat mengekspresikan indah rupa wajah dan menyuguhkan values bagi orang dan bangsa lain yg pada gilirannya dapat mempersepsikan siapa diri kita dan bagaimana diri mereka harus bersikap untuk berinteraksi dengan diri kita.
Dengan olah raga kita dapat menunjukkan identitas, perasaan senasib sepenanggungan, tekad dan determinasi bersama seperti para pejuang perang merebut kemerdekaan. Terkadang tanpa sadar kita berdiri di depan TV ketika merah putih dinaikkan ditiang tertinggi diiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya saat sang pejuang meraih medali emas.
Ritme hidup dgn standar kualitas yg tinggi dan disiplin yg ketat di Jerman seakan membuat diaspora seperti tidak sadar terjadinya perubahan jati dirinya sebagai pribadi yg hangat, heboh, bersahabat, ngocol dan lebay...ya lebay.Â
Aku baru tahu klo sifat orang Indonesia itu lebay. Kalau ketemu suka bertanya kisah kehidupan pribadi lawan bicaranya atau temannya yg lain. Kepo kata anak muda masa kini. Tapi ternyata sikap seperti itu cukup saru bagi orang Jerman.
Ngomong sepatah dua patah kata, orang kita bisa langsung ketawa ngakak apalagi makin banyak teman yg ngumpul, suara gelak tawa membahana sampai ke ujung dunia. Ngerumpi memang sudah habit orang kita, emak-emak atau bapak-bapak podo wae. Bisa mati gaya klo gak ada bahan cerita dan teman yg dijadikan korban utk mengolok ria.
Dan kami yg selama ini gemar sepedaan akhirnya mencoba berkumpul dan membuat wadah bagi para goweser Indonesia yg tinggal di Berlin. Perkumpulan tersebut akhirnya terbentuk yg diberi julukan Gobar Berliner (gowes bareng bagi pemukim di Berlin).
Perkumpulan sepeda ini awalnya bukan untuk mencetak pesepeda profesional atau meningkatkan prestasi dicabang kayuh kaki tapi sebagai ajang tempat berkumpulnya penggemar olah raga sepeda, membuat janjian gowes bareng dan tentunya dengan harapan bisa menjadi obat kangen untuk ngerumpi, bercanda ria dan saluran melepas tawa ngakak membahana.
Gobar Berliner tahun lalu mengadakan gowes bareng kali ketiga sekaligus dalam rangkaian acara pamitnya bapak Dubes RI utk RF Jerman dgn masyarakat Indonesia di Berlin di tengah dinginnya cuaca kota Berlin pada suhu 5 celcius.Â
Cuaca yang tidak bersahabat malah membuat adrenalin berolah raga semakin bergairah. Semakin cepat mengayuh sepeda semakin membuat badan terasa hangat. Malas mengayuh pedal justru membuat badan mengkeret...Dingiiinn bookkkk...
https://video.medcom.id/metro-news/GNlAVxyb-dukung-atlet-indonesia-wni-jerman-gelar-tour-sepeda
Mumpung cuacanya  sangat bersahabat dan Dubesnya juga penggila gowes..target beliau tahun depan ada pesepeda warga Indonesia yang ikut ajang lomba Velothon 60 km...tarikkk maannggg.
Tidak terasa saking semangatnya bersepeda garis lintang membujur dan catatan jarak tempuh di aplikasi sudah menunjukkan angka 40 km, paha kaki kiri mulai terasa mengeras... kram...tapi coba untuk bertahan. Malu dong sebagai koordinator gobar harus menyerah turun dari pedal sepeda.Â
Belum selesai berkompromi dengan rasa sakit di paha kiri tiba-tiba otot paha kanan mulai cenat cenut minta perhatian dan akhirnya dilintasan 50 km, aku harus menyerah kalah karena kedua kaki sudah tidak bisa lagi kompak untuk diajak bekerjasama.Â
Terpaksa berhenti sejenak meregangkan dan memijat kedua belah kaki sambil terbaring lemah tengkulai. Aku baru sadar, selama ini kurang latihan dan lebih besar ambisi daripada kemampuan fisik. (cari alasan..he..he..).
Gak disangka dalam kondisi seperti ini gowesers lain pada berhenti dan berupaya membantu untuk pemulihan pelemasan otot paha. Aku merasa terharu dan terhibur. Olah raga ini telah membuat warga kita menjadi satu keluarga besar senasib sepenanggungan. Merekatkan rasa kebersamaan yang tulus tanpa syarat apapun di negeri orang.
Kalau pembaca jeli tentu akan bertanya, di flyer tertulis jarak tempuh 48 km tapi kok hitungan aplikasi lebih dari 50 km. Di dalam tulisan ini, aku harus jujur kawan, angka 50 km itu merupakan angka psikologis bagi pesepeda terutama bagi pemula. Bila dicantumkan jarak tempuh sejauh itu bisa membuat gowesers jadi keder walaupun mereka mampu. Dengan mengurangi hitungan jarak menjadi lebih dari 40 km dan kurang dari 50 km maka siperagu akan tersugesti untuk mau ikutan. I apologize for this guys...xi..xi..
Tapi ternyata siasat dan konspirasi ini makan tuan, aku yang ditunjuk sebagai koordinator sibuk menyiapkan acara dan lupa menyiapkan fisik. Tidak ada latihan dan pemanasan...langsung hajar. Memang kita harus jujur ya supaya selamat. Suatu pelajaran berharga bagiku.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H