Kita tentunya cukup miris saat membaca berita ketika seorang dokter yg mahligai keluarganya sdg dirundung prahara kalap menarik pelatuk senjata api yg didapatnya entah dari mana hingga meregangnya nyawa sang istri.Â
Kita barangkali sangat takjub ketika seorang advokat bilang ada benjolan sebesar bakpao dijidat kliennya karena benturan benda keras sehingga tidak patut utk dilakukan upaya paksa terhadap tersangka.
Kita juga acap kaget ketika politisi sbg kepala daerah cepat amnesia lupa atas janji yg diumbarnya saat  kampanye dan tidak merasa risih karena toh sudah terpilih. Kita terpaksa mahfum melihat insinyur membangun gedung tdk sesuai bestek karena menjaga relasi dengan terlibat bancakan projek. Kita kadang mengelus dada ketika pemuka agama berteriak lantang di atas mimbar menyulut kebencian membuat umat terbelah terbakar.
Itu adalah sekelumit peristiwa yg memaksa kita membelalakkan mata dan mengerenyitkan dahi. Banyak profesi mulia yg akhirnya menjadi terlihat tidak mulia ketika idealisme profesi yg terbungkus dalam kode etik dilakoni oleh penyandang yang tdk memuliakannya. Kadang aku bertanya dalam hati mengapa ini terjadi?
Hati kecilku yg lain berkata, ketahuilah telunjukmu yg satu menjulur menuding ke arah orang berprofesi lain namun tiga jari lainmu itu mengarah tertuju ke arah dirimu. Akupun merasa belum mampu menjalankan dan memuliakan idealisme profesiku dengan baik dan benar.
Drama lakon lancung para pemeran kehidupan ini menjadi pemandangan yg umum di sekitar kita yg terkadang membuatku melakukan retrospeksi suasana dimasa kecil dulu. Ketika kita kecil seringkali ditanya apa cita-citamu nak.Â
Si anak yg masih awam apa artinya cita-cita dan apa bedanya dengan profesi menjawab sesuai gambaran imajinasinya yaitu sebuah pekerjaan yg dapat menyenangkan orang tuanya dikemudian hari.
Aku kalau besar nanti ingin jadi dokter, insinyur, polisi, tentara, dosen, pejabat, pengacara dan lain sebagainya. Tidak peduli apakah itu realistis atau sebuah ilusi yg penting gantungkanlah cita setinggi mungkin hingga menggapai bintang di langit. Bahkan karena saking tingginya, kitapun gak dapat lagi melihat dibintang mana cita tsb telah digantungkan. Cita-cita bagi kita adalah pekerjaan yg ingin disandang dihari dewasa nanti.
Akhirnya banyak yg dengan segala daya upaya menyusun anak tangga yg sangat tinggi utk menggapainya. Apakah dengan cara yg benar atau menerabas tidak menjadi soal yg penting bisa mendapatkannya.Â
Demi penghargaan atas perjuangan itu sudah selayaknyalah kita menikmati buah citanya sedemikian rupa yg terkadang membuat tak sadar menjelma menjadi sikap hedonisme dan kecintaan duniawi yg tak terperikan.
Menjadi pekerja terdidik dengan deretan gelar dan jabatan serta materi yg lebih menjadi tujuan hidup  bukan sbg sasaran antara untuk mendapatkan kesempatan yg lebih luas dalam mengabdi dikehidupan. Kita selalu merayakan dengan suka cita ketika lulus kuliah dan mendapatkan suatu pekerjaan. Kampus-kampus secara rutin mengagendakan acara inaugurasi atau wisuda dgn pungutan biaya yg tidak sedikit.
Di dalam kehidupan sosial, kita selalu memberikan ucapan selamat dan mengadakan selamatan ketika lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan. Budaya ini bisa dimaklumi karena utk mendapatkan ijazah dan kesempatan kerja bukanlah hal yg mudah dan menjadi cita-cita seseorang sejak masa kecil. Cita-cita yg digantung di langit sudah tercapai dan selesailah tujuan hidup dan kini saatnya menikmati hidup.
Ada hal yg menarik di negara Jerman terkait dengan kelulusan ini. Tidak ada sama sekali acara wisuda yg diselenggarakan oleh kampus-kampus perguruan tinggi. Ketika lulus, mahasiswa cukup diberikan ucapan selamat dgn jabatan tangan dari dosen penguji. Ijazah selanjutnya dapat diambil di ruang sekretariat jurusan atau bisa juga diminta untuk dikirim ke rumah. So simpel....
Selamatan diadakan secara pribadi diantara teman dekat itupun bukanlah sebagai suatu keharusan. Saat mendapatkan pekerjaan tidak ada selamatan sama sekali karena itu merupakan konsekuensi dari diperolehnya ijazah sbg tanda suatu keahlian. Mungkin juga karena di Jerman utk mendapatkan suatu pekerjaan bukanlah merupakan  sesuatu hal yg sulit.
Profesi kita pandang sebagai suatu pekerjaan dgn kemampuan teknis tertentu yg diperoleh dari pendidikan tertentu. Sebagaimana tercantum di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yg mendefenisikan bahwa profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (ketrampilan, kejuruan, dan sebagainya) tertentu.
Aku cukup kaget dengan pendefenisian profesi tsb di KBBI. Penyusun kamus sangat jujur menggambarkan bagaimana orang Indonesia memandang suatu profesi atau memang demikianlah sang penyusun kamus memandang arti profesi itu sendiri yg tumbuh di alam bawah sadarnya berdasarkan kenyataan yg melingkupi lingkungan sekitarnya.
Dahulu dijaman perjuangan kemerdekaan Indonesia, bung Karno sengaja menggelorakan semangat anak bangsa dengan slogan gantungkanlah cita-citamu setinggi bintang di langit.Â
Credo ini ditancapkan di dalam benak pemuda masa itu karena sbg bangsa yg sangat lama dijajah, kita sdh kehilangan dignity dan kepercayaan diri. Terkadang tidak mampu lagi menatap mata para komprador asing dan membusungkan dada menghadapi tantangan dunia.
Jadilah pemimpi besar agar kelak menjadi pemimpin besar mungkin begitu yg diidamkan bung Karno terhadap anak revolusinya. Karena untuk membangun negara besar yg baru merdeka dibutuhkan banyak profesional di berbagai sektor kehidupan bangsa, mengambil alih profesi yg ditinggalkan kompeni dan mengurus aset yg dinasionalisasi untuk pembangunan nasional.
Cuma kita harus ingat yg dibutuhkan bung Karno adalah profesional bukan pekerja terdidik yg text book thinking. Bukan para penerabas yg menaiki anak tangga tertinggi utk mencapai cita-citanya lalu berpuas dengan jabatan yg disandang untuk selanjutnya mendapatkan materi dan kedudukan sosial lebih.
Profesi yg dibutuhkan bung Karno adalah komunitas moral (moral community) yang memiliki cita-cita dan nilai bersama yaitu utk membantu pembangunan nasional sebagaimana Paul F. Comenisch dan K. Bertens mendefinisikan profesi.
Profesi adalah suatu kumpulan atau set pekerjaan yang membangun suatu set norma yang sangat khusus yang berasal dari perannya yang khusus di masyarakat (Schein, E.H., 1962).
Profesi  merupakan  pekerjaan, dapat  juga berwujud sebagai jabatan di dalam  suatu hierarki  birokrasi,  yang  menuntut  keahlian tertentu serta  memiliki  etika  khusus untuk jabatan  tersebut serta  pelayanan  baku  terhadap masyarakat (Doni Koesoema).
Profesi bukanlah sekedar pekerjaan dgn keahlian tertentu tanpa punya tujuan dan nilai-nilai bersama. Suatu 'moral, nilai dan etik' Â yg sama dan diperjuangkan secara bersamalah yg membedakan antara pekerjaan dengan profesi.Â
Tanpa tertanamnya nilai dan moral di dalam diri pengemban jabatan dan diimplemetasikan dalam pekerjaan teknisnya maka dia bukanlah seorang profesional tapi sebagai pekerja text book thinking (occupation) yg sekedar melaksanakan pekerjaan sesuai pakem keilmuannya.
Pengembannya tidak akan merasa terbebani secara moril bila terdapat sesuatu kekurangan, penyimpangan atau kekeliruan untuk kepentingan orang banyak selama selesai dan diterimanya pekerjaan itu oleh pihak pemberi pekerjaan. Pengembannya adalah orang yg sudah mendapatkan cita-citanya yg tergantung di langit atau menggelayut di awan. Dia sudah selesai dengan tugas hidupnya dan saatnya menikmati hidup dari hasil pekerjaannya.
Cilakanya pengemban tipe ini malah yg menjadi role model generasi sesudahnya. Generasi yg hanya melihat arti kesuksesan ketika seseorang menikmati hasil pekerjaannya secara lahiriah tanpa memandang apakah sudah memenuhi aspek moral, nilai dan etika profesinya.Â
Terlebih generasi itu tumbuh dan besar dari suatu keadaan yg mana sistem pendidikan yg diterimanya sejak pendidikan dasar, menengah hingga tinggi yg lebih mengedepankan dan menyanjung capaian aspek kognitif (akademik) sebagai ukuran prestasi sedangkan afektif (sikap) dan psikomotorik (perilaku/kinetik) hanya sebagai pendukung keberhasilan.
Anak didik dicetak untuk menjadi seperti mr. google yg hapal berbagai disiplin ilmu. Yang setiap hari memanggul tas sangat berat yang berisikan tumpukan buku pelajaran sejak senin hingga hari sabtu. Pulang sekolah segera bergegas ikutan les dan kursus ini dan itu bahkan pelajaran di sekolahpun harus dipejari lagi dengan les dan kursus yg sebenarnya mrpkn kewajiban sekolah.
Maka lahirlah generasi yg ber IQ tinggi namun punya Spiritual Quotient  (SQ) dan Emotional Quotient (EQ) yg rendah. Tidak punya social skill yang luwes dan adaptif, sikap mental dan kepribadian yg tangguh dan luhur serta fisik yg trengginas dan kuat.Â
Defenisi anak pintar bagi dunia pendidikan adalah anak yg perkembangan kognitifnya sangat pesat sedangkan anak yg perkembangan afektif dan psikomotorik melebihi aspek kognitifnya adalah anak kelas sudra bahkan paria di dalam dunia pendidikan.
Persona seperti inilah menurutku yang nantinya menjadi pengejar cita-cita sebagai suatu pekerjaan dikemudian hari bukan sebagai pencari profesi. Karena mereka sejak kecil minim akan penanaman nilai, moral dan etika secara langsung dari proses aktivitas berdimensi emosional, perilaku dan fisik.Â
Mereka juga menjadi pribadi yg rentan untuk menerima suatu kegagalan. Karena kegagalan bagi mereka sangat memalukan dan tercampaknya harga diri dan kebanggaan sebagai orang pintar (akademik) yg diagungkan dan dielu-elukan selama ini oleh lingkungannya.
Akan berbeda ketika kita memandang cita-cita sebagai profesi dengan tujuan agar dapat menerjemahkan, mengembangkan dan melaksanakan nilai, moral dan etika bidang pekerjaannya kelak.
Bila passion diri adalah menegakkan hukum yg berkeadilan maka kegagalan menempuh pendidikan atau mendapatkan pekerjaan sebagai seorang hakim misalnya tidaklah menjadi akhir dari cerita cita hidupnya karena untuk menjadi penegak hukum dan keadilan ada banyak jenis pekerjaan lain seperti pengacara, polisi, jaksa, PPNS, atau bergelut di bidang hukum dan perundang-undangan sbg dosen dan biro hukum suatu perusahaan.
Jika hasrat hidupnya memberikan hunian yg nyaman kepada banyak warga, maka kegagalan untuk menjadi seorang insinyur sipil bukanlah akhir cerita hidup. Ada banyak pekerjaan lain yg sejenis seperti menjadi arsitek, design interior, gardener, landscaper, plumber, house master, kontraktor, bahkan membuka usaha toko material.
Bila impiannya memberikan hiburan yg mendidik dan mengembangkan kesenian dan kebudayaan yg baik kepada publik maka kegagalan untuk masuk ke fakultas perfilman tidaklah menjadi kiamat karena sangat luasnya pekerjaan di bidang seni.
Karena luasnya bidang pekerjaan dan banyaknya etik profesi maka sudah tidak semestinya kita frustasi bahkan depresi menghadapi suatu kegagalan kawan. Berjuanglah sekuat tenaga namun apabila gagal dalam mencapai cita-cita, hidup belumlah berakhir. Begitu luas dunia ini dan tidak hanya satu pekerjaan yg memberi penghargaan sosial yg tinggi. Defenisikan cita-cita dan tujuan hidup untuk mewujudkan nilai, moral dan etik bagi kemaslahatan umat manusia.
Aku sengaja menulis sepenggalan cerita ini kawan sebagai bentuk empati dan pendorong semangat bagi siapa saja khususnya anak muda yg sedang berjuang meraih cita-citanya. Kita acap mendengar calon mahasiswa atau mahasiswa yg stress, depresi bahkan pernah ada yg nekat mengakhiri riwayat hidupnya ketika gagal kuliah di luar negeri atau dimana saja.
Kata orang bijak, kegagalan adalah keberhasilan yg tertunda. Tanpa pernah merasakan kegagalan maka kita tidak akan tahu bagaimana menghargai suatu keberhasilan. Jack Ma tidak akan menjadi sehebat sekarang ini kalau dia tidak pernah mengalami kegagalan dan penolakan puluhan bahkan ratusan kali.
Aku sisipkan foto diri ketika tidak sengaja melewati kampus ilmu hukum tersohor di dunia yg dulu menjadi cita-citaku namun gagal  sebagai mahasiswanya agar menjadi seorang jurist. Kegagalan itu merupakan rangkaian dari kegagalan sebelumnya yg tidak berhasil lulus Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) selama 3 (tiga) tahun berturut-turut.
Dunia rasanya seperti akan kiamat pada saat itu.
Tulisan ini telah diposting di blog personalÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H