Mohon tunggu...
Hermansyah Siregar
Hermansyah Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - ASN

Menguak fakta, menyuguh inspirasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cita-cita, Apa Masih Perlu?

23 Juni 2018   16:08 Diperbarui: 23 Juni 2018   16:13 1232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Profesi  merupakan  pekerjaan, dapat  juga berwujud sebagai jabatan di dalam  suatu hierarki  birokrasi,  yang  menuntut  keahlian tertentu serta  memiliki  etika  khusus untuk jabatan  tersebut serta  pelayanan  baku  terhadap masyarakat (Doni Koesoema).

Profesi bukanlah sekedar pekerjaan dgn keahlian tertentu tanpa punya tujuan dan nilai-nilai bersama. Suatu 'moral, nilai dan etik'  yg sama dan diperjuangkan secara bersamalah yg membedakan antara pekerjaan dengan profesi. 

Tanpa tertanamnya nilai dan moral di dalam diri pengemban jabatan dan diimplemetasikan dalam pekerjaan teknisnya maka dia bukanlah seorang profesional tapi sebagai pekerja text book thinking (occupation) yg sekedar melaksanakan pekerjaan sesuai pakem keilmuannya.

Pengembannya tidak akan merasa terbebani secara moril bila terdapat sesuatu kekurangan, penyimpangan atau kekeliruan untuk kepentingan orang banyak selama selesai dan diterimanya pekerjaan itu oleh pihak pemberi pekerjaan. Pengembannya adalah orang yg sudah mendapatkan cita-citanya yg tergantung di langit atau menggelayut di awan. Dia sudah selesai dengan tugas hidupnya dan saatnya menikmati hidup dari hasil pekerjaannya.

Cilakanya pengemban tipe ini malah yg menjadi role model generasi sesudahnya. Generasi yg hanya melihat arti kesuksesan ketika seseorang menikmati hasil pekerjaannya secara lahiriah tanpa memandang apakah sudah memenuhi aspek moral, nilai dan etika profesinya. 

Terlebih generasi itu tumbuh dan besar dari suatu keadaan yg mana sistem pendidikan yg diterimanya sejak pendidikan dasar, menengah hingga tinggi yg lebih mengedepankan dan menyanjung capaian aspek kognitif (akademik) sebagai ukuran prestasi sedangkan afektif (sikap) dan psikomotorik (perilaku/kinetik) hanya sebagai pendukung keberhasilan.

Anak didik dicetak untuk menjadi seperti mr. google yg hapal berbagai disiplin ilmu. Yang setiap hari memanggul tas sangat berat yang berisikan tumpukan buku pelajaran sejak senin hingga hari sabtu. Pulang sekolah segera bergegas ikutan les dan kursus ini dan itu bahkan pelajaran di sekolahpun harus dipejari lagi dengan les dan kursus yg sebenarnya mrpkn kewajiban sekolah.

Maka lahirlah generasi yg ber IQ tinggi namun punya Spiritual Quotient  (SQ) dan Emotional Quotient (EQ) yg rendah. Tidak punya social skill yang luwes dan adaptif, sikap mental dan kepribadian yg tangguh dan luhur serta fisik yg trengginas dan kuat. 

Defenisi anak pintar bagi dunia pendidikan adalah anak yg perkembangan kognitifnya sangat pesat sedangkan anak yg perkembangan afektif dan psikomotorik melebihi aspek kognitifnya adalah anak kelas sudra bahkan paria di dalam dunia pendidikan.

Persona seperti inilah menurutku yang nantinya menjadi pengejar cita-cita sebagai suatu pekerjaan dikemudian hari bukan sebagai pencari profesi. Karena mereka sejak kecil minim akan penanaman nilai, moral dan etika secara langsung dari proses aktivitas berdimensi emosional, perilaku dan fisik. 

Mereka juga menjadi pribadi yg rentan untuk menerima suatu kegagalan. Karena kegagalan bagi mereka sangat memalukan dan tercampaknya harga diri dan kebanggaan sebagai orang pintar (akademik) yg diagungkan dan dielu-elukan selama ini oleh lingkungannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun