Mohon tunggu...
Hermansyah Siregar
Hermansyah Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - ASN

Menguak fakta, menyuguh inspirasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cita-cita, Apa Masih Perlu?

23 Juni 2018   16:08 Diperbarui: 23 Juni 2018   16:13 1232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akan berbeda ketika kita memandang cita-cita sebagai profesi dengan tujuan agar dapat menerjemahkan, mengembangkan dan melaksanakan nilai, moral dan etika bidang pekerjaannya kelak.

Bila passion diri adalah menegakkan hukum yg berkeadilan maka kegagalan menempuh pendidikan atau mendapatkan pekerjaan sebagai seorang hakim misalnya tidaklah menjadi akhir dari cerita cita hidupnya karena untuk menjadi penegak hukum dan keadilan ada banyak jenis pekerjaan lain seperti pengacara, polisi, jaksa, PPNS, atau bergelut di bidang hukum dan perundang-undangan sbg dosen dan biro hukum suatu perusahaan.

Jika hasrat hidupnya memberikan hunian yg nyaman kepada banyak warga, maka kegagalan untuk menjadi seorang insinyur sipil bukanlah akhir cerita hidup. Ada banyak pekerjaan lain yg sejenis seperti menjadi arsitek, design interior, gardener, landscaper, plumber, house master, kontraktor, bahkan membuka usaha toko material.

Bila impiannya memberikan hiburan yg mendidik dan mengembangkan kesenian dan kebudayaan yg baik kepada publik maka kegagalan untuk masuk ke fakultas perfilman tidaklah menjadi kiamat karena sangat luasnya pekerjaan di bidang seni.

Karena luasnya bidang pekerjaan dan banyaknya etik profesi maka sudah tidak semestinya kita frustasi bahkan depresi menghadapi suatu kegagalan kawan. Berjuanglah sekuat tenaga namun apabila gagal dalam mencapai cita-cita, hidup belumlah berakhir. Begitu luas dunia ini dan tidak hanya satu pekerjaan yg memberi penghargaan sosial yg tinggi. Defenisikan cita-cita dan tujuan hidup untuk mewujudkan nilai, moral dan etik bagi kemaslahatan umat manusia.

Aku sengaja menulis sepenggalan cerita ini kawan sebagai bentuk empati dan pendorong semangat bagi siapa saja khususnya anak muda yg sedang berjuang meraih cita-citanya. Kita acap mendengar calon mahasiswa atau mahasiswa yg stress, depresi bahkan pernah ada yg nekat mengakhiri riwayat hidupnya ketika gagal kuliah di luar negeri atau dimana saja.

Kata orang bijak, kegagalan adalah keberhasilan yg tertunda. Tanpa pernah merasakan kegagalan maka kita tidak akan tahu bagaimana menghargai suatu keberhasilan. Jack Ma tidak akan menjadi sehebat sekarang ini kalau dia tidak pernah mengalami kegagalan dan penolakan puluhan bahkan ratusan kali.

Aku sisipkan foto diri ketika tidak sengaja melewati kampus ilmu hukum tersohor di dunia yg dulu menjadi cita-citaku namun gagal  sebagai mahasiswanya agar menjadi seorang jurist. Kegagalan itu merupakan rangkaian dari kegagalan sebelumnya yg tidak berhasil lulus Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) selama 3 (tiga) tahun berturut-turut.

Dunia rasanya seperti akan kiamat pada saat itu.

Tulisan ini telah diposting di blog personal 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun