Mohon tunggu...
Hermansyah Siregar
Hermansyah Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - ASN

Menguak fakta, menyuguh inspirasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cita-cita, Apa Masih Perlu?

23 Juni 2018   16:08 Diperbarui: 23 Juni 2018   16:13 1232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita tentunya cukup miris saat membaca berita ketika seorang dokter yg mahligai keluarganya sdg dirundung prahara kalap menarik pelatuk senjata api yg didapatnya entah dari mana hingga meregangnya nyawa sang istri. 

Kita barangkali sangat takjub ketika seorang advokat bilang ada benjolan sebesar bakpao dijidat kliennya karena benturan benda keras sehingga tidak patut utk dilakukan upaya paksa terhadap tersangka.

Kita juga acap kaget ketika politisi sbg kepala daerah cepat amnesia lupa atas janji yg diumbarnya saat  kampanye dan tidak merasa risih karena toh sudah terpilih. Kita terpaksa mahfum melihat insinyur membangun gedung tdk sesuai bestek karena menjaga relasi dengan terlibat bancakan projek. Kita kadang mengelus dada ketika pemuka agama berteriak lantang di atas mimbar menyulut kebencian membuat umat terbelah terbakar.

Itu adalah sekelumit peristiwa yg memaksa kita membelalakkan mata dan mengerenyitkan dahi. Banyak profesi mulia yg akhirnya menjadi terlihat tidak mulia ketika idealisme profesi yg terbungkus dalam kode etik dilakoni oleh penyandang yang tdk memuliakannya. Kadang aku bertanya dalam hati mengapa ini terjadi?

Hati kecilku yg lain berkata, ketahuilah telunjukmu yg satu menjulur menuding ke arah orang berprofesi lain namun tiga jari lainmu itu mengarah tertuju ke arah dirimu. Akupun merasa belum mampu menjalankan dan memuliakan idealisme profesiku dengan baik dan benar.

Drama lakon lancung para pemeran kehidupan ini menjadi pemandangan yg umum di sekitar kita yg terkadang membuatku melakukan retrospeksi suasana dimasa kecil dulu. Ketika kita kecil seringkali ditanya apa cita-citamu nak. 

Si anak yg masih awam apa artinya cita-cita dan apa bedanya dengan profesi menjawab sesuai gambaran imajinasinya yaitu sebuah pekerjaan yg dapat menyenangkan orang tuanya dikemudian hari.

Aku kalau besar nanti ingin jadi dokter, insinyur, polisi, tentara, dosen, pejabat, pengacara dan lain sebagainya. Tidak peduli apakah itu realistis atau sebuah ilusi yg penting gantungkanlah cita setinggi mungkin hingga menggapai bintang di langit. Bahkan karena saking tingginya, kitapun gak dapat lagi melihat dibintang mana cita tsb telah digantungkan. Cita-cita bagi kita adalah pekerjaan yg ingin disandang dihari dewasa nanti.

Akhirnya banyak yg dengan segala daya upaya menyusun anak tangga yg sangat tinggi utk menggapainya. Apakah dengan cara yg benar atau menerabas tidak menjadi soal yg penting bisa mendapatkannya. 

Demi penghargaan atas perjuangan itu sudah selayaknyalah kita menikmati buah citanya sedemikian rupa yg terkadang membuat tak sadar menjelma menjadi sikap hedonisme dan kecintaan duniawi yg tak terperikan.

Menjadi pekerja terdidik dengan deretan gelar dan jabatan serta materi yg lebih menjadi tujuan hidup  bukan sbg sasaran antara untuk mendapatkan kesempatan yg lebih luas dalam mengabdi dikehidupan. Kita selalu merayakan dengan suka cita ketika lulus kuliah dan mendapatkan suatu pekerjaan. Kampus-kampus secara rutin mengagendakan acara inaugurasi atau wisuda dgn pungutan biaya yg tidak sedikit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun