"Apakah orang tuanya pernah datang ke Jerman menemui Fauqia?" tanyaku. "Belum pernah pak. Saya datang ke Jerman sendirian dan dijemput oleh teman kursus bahasa Jerman di Bandung yang telah berangkat duluan, " jawab Fauqia.
Selain kursi roda yg sedang dipakainya, terdapat 1 kursi roda lain di kamar yg bentuknya lebih besar dilengkapi dengan tuas penggerak dan kotak mesin di bawah tempat duduknya.
"Kursi roda elektrik ini pemberian asuransi dan kini menjadi milik saya. Selama tinggal di Jerman, saya bisa menggunakannya. Harganya sangat mahal sekitar 3000 euro, " jelas Fauqia.
"Dulu di Indonesia kemana-mana saya memakai tongkat utk beraktivitas pak, lebih nyaman dibanding menggunakan kursi roda karena fasilitas utk disabilitas masih sangat kurang memadai. Sebelum berangkat ke Jerman, orang tua membeli kursi roda elektrik untukku agar mudah nantinya beraktivitas pak. Harganya sekitar Rp 15 juta.
Tapi saat mau naik pesawat, petugas check in tidak memperkenankan kursi roda elektrik  masuk bagasi karena ukurannya sangat besar sehingga harus membayar biaya tambahan overweight setara dengan harga 1 buah kursi penumpang. Karena sangat mahal, akhirnya kursi roda elektrik tsb ditinggal dan dikembalikan kepada penjual dengan denda yg cukup besar, " jelas Fauqia.
Aku perlu menceritakan kepada kedua gadis kecilku di rumah, lihatlah bagaimana seorang gadis yg kelihatannya sangat rentan tapi mampu menaklukkan segala keterbatasannya dan kini tengah berjuang menggapai impiannya di Jerman. Kalian anak-anakku yg diberikan kesehatan jasmani dan rohani oleh yang maha kuasa harus bersyukur dgn belajar lebih bersungguh-sungguh. Tidak ada alasan tidak bisa karena keterbatasan itu bukanlah sebagai penghalang utk maju.
Fauqia juga tidak keberatan utk bercerita tentang situasi kehidupan dan studinya di Jerman, pikirku. Semakin penasaran dan banyak bertanya semakin antusias Fauqia menjawab. Dia bukan tipe gadis yang introvert yg menutupi profile dirinya dan menganggap tidak perlu diceritakan kepada orang lain.
Setelah proses pembuatan paspor selesai, kamipun pamit dan beranjak pulang. Sebelum pergi sebagai kenang-kenangan kami berfoto bersama. Saat bersalaman, aku melihat pak Syarif sangat terharu dan memeluk Fauqia. Tiba-tiba air mataku tergenang dan lidahkupun tercekat. Kami pulang di dalam suasana keheningan malam.
Pak Syarif yg usianya cukup jauh diatasku merasa terharu mungkin terkenang kisah perjalanan dan perjuangan hidupnya 35 tahun yg lalu meninggalkan kota Bandung merantau ke Jerman atau teringat dengan anak-anaknya di rumah. Aku gak tau dan tidak mau bertanya. Biarlah itu menjadi keharuan yg didekap masing-masing kami di atas mobil van yg sedang melaju kencang di Autobahn (jalan tol).
Kedua kepala anakku mengangguk manthuk-manthuk ketika nasihat meluncur dari mulutku sambil menunjukkan fotoku dengan Fauqia. "Lihatlah wanita ini walaupun dengan segala keterbatasannya tapi dia tidak mau kalah dan menyerah dengan nasib. Kalian harus bersyukur, jangan malas belajar, " petuahku. Aku gak ngerti arti manthuk-manthuk anakku. Apakah yg ada dibenak pikiran mereka setelah melihat foto dan mendengar kata-kata bapaknya. Mudah-mudahan kabar tsb akan menginspirasi mereka.