Mohon tunggu...
Hermansyah Siregar
Hermansyah Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - ASN

Menguak fakta, menyuguh inspirasi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Keterbatasan Bukanlah Penghalang (Tribute buat Adinda Fauqia Tambunan)

18 Mei 2018   23:23 Diperbarui: 23 Mei 2018   23:19 1296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Apakah orang tuanya pernah datang ke Jerman menemui Fauqia?" tanyaku. "Belum pernah pak. Saya datang ke Jerman sendirian dan dijemput oleh teman kursus bahasa Jerman di Bandung yang telah berangkat duluan, " jawab Fauqia.

Selain kursi roda yg sedang dipakainya, terdapat 1 kursi roda lain di kamar yg bentuknya lebih besar dilengkapi dengan tuas penggerak dan kotak mesin di bawah tempat duduknya.

"Kursi roda elektrik ini pemberian asuransi dan kini menjadi milik saya. Selama tinggal di Jerman, saya bisa menggunakannya. Harganya sangat mahal sekitar 3000 euro, " jelas Fauqia.

"Dulu di Indonesia kemana-mana saya memakai tongkat utk beraktivitas pak, lebih nyaman dibanding menggunakan kursi roda karena fasilitas utk disabilitas masih sangat kurang memadai. Sebelum berangkat ke Jerman, orang tua membeli kursi roda elektrik untukku agar mudah nantinya beraktivitas pak. Harganya sekitar Rp 15 juta.

Tapi saat mau naik pesawat, petugas check in tidak memperkenankan kursi roda elektrik  masuk bagasi karena ukurannya sangat besar sehingga  harus membayar biaya tambahan overweight setara dengan harga 1 buah kursi penumpang. Karena sangat mahal, akhirnya kursi roda elektrik tsb ditinggal dan dikembalikan kepada penjual dengan denda yg cukup besar, " jelas Fauqia.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Melihat bagaimana Fauqia menjelaskan dan menjawab berbagai pertanyaanku tentang kondisinya yg secara tidak sadar sudah di luar konteks pembuatan paspor, akhirnya membuatku memberanikan diri bertanya lebih jauh mengenai kehidupan pribadinya. Aku terdorong melakukannya karena menurutku kisah hidupnya cukup unik dan sangat perlu digali lebih jauh utk nantinya diceritakan kepada anak-anakku setibanya di rumah.

Aku perlu menceritakan kepada kedua gadis kecilku di rumah, lihatlah bagaimana seorang gadis yg kelihatannya sangat rentan tapi mampu menaklukkan segala keterbatasannya dan kini tengah berjuang menggapai impiannya di Jerman. Kalian anak-anakku yg diberikan kesehatan jasmani dan rohani oleh yang maha kuasa harus bersyukur dgn belajar lebih bersungguh-sungguh. Tidak ada alasan tidak bisa karena keterbatasan itu bukanlah sebagai penghalang utk maju.

Fauqia juga tidak keberatan utk bercerita tentang situasi kehidupan dan studinya di Jerman, pikirku. Semakin penasaran dan banyak bertanya semakin antusias Fauqia menjawab. Dia bukan tipe gadis yang introvert yg menutupi profile dirinya dan menganggap tidak perlu diceritakan kepada orang lain.

Setelah proses pembuatan paspor selesai, kamipun pamit dan beranjak pulang. Sebelum pergi sebagai kenang-kenangan kami berfoto bersama. Saat bersalaman, aku melihat pak Syarif sangat terharu dan memeluk Fauqia. Tiba-tiba air mataku tergenang dan lidahkupun tercekat. Kami pulang di dalam suasana keheningan malam.

Pak Syarif yg usianya cukup jauh diatasku merasa terharu mungkin terkenang kisah perjalanan dan perjuangan hidupnya 35 tahun yg lalu meninggalkan kota Bandung merantau ke Jerman atau teringat dengan anak-anaknya di rumah. Aku gak tau dan tidak mau bertanya. Biarlah itu menjadi keharuan yg didekap masing-masing kami di atas mobil van yg sedang melaju kencang di Autobahn (jalan tol).

Kedua kepala anakku mengangguk manthuk-manthuk ketika nasihat meluncur dari mulutku sambil menunjukkan fotoku dengan Fauqia. "Lihatlah wanita ini walaupun dengan segala keterbatasannya tapi dia tidak mau kalah dan menyerah dengan nasib. Kalian harus bersyukur, jangan malas belajar, " petuahku. Aku gak ngerti arti manthuk-manthuk anakku. Apakah yg ada dibenak pikiran mereka setelah melihat foto dan mendengar kata-kata bapaknya. Mudah-mudahan kabar tsb akan menginspirasi mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun