"Saya sudah merepotkan bapak-bapak datang jauh dari Berlin utk membuatkan paspor saya, "tambah Fauqia dengan air muka sumringah. "Gak apa-apa Fauqia, itu sudah tugas kami kok, " jawabku.
Dari namanya, kalian tentu sudah tahu kalau Fauqia ini adalah cewek beretnis batak dengan marga Tambunan dan tentunya tidak sulit bagiku berbasa-basi karena sama2 berasal dari Sumatera Utara. Tetapi logat bicara dan raut wajahnya tidak seperti umumnya cewek halak hita. Tutur katanya halus dan beraksen seperti orang sunda dan cukup ramah.
Rekanku pak Syarif, langsung menebak, "asalnya dari Jawa Barat ya Fauqia." Dengan tersenyum Fauqia menjawab, " iya pak, saya dari Bandung. Lahir di Merauke Papua dan sejak umur 5 tahun pindah dan besar di Bandung. Papa saya orang batak tapi ibu orang sunda. Sampai sekarang papa masih sering bolak balik Bandung-Bintuni (Papua). Papa bekerja sebagai kontraktor sedangkan ibu sebagai ibu rumah tangga."
Pak Syarif yang juga berasal dari Bandung sangat senang mendengarnya dan segera akrab dengan Fauqia, bertanya lebih jauh tempat tinggalnya di Bandung. Aku hanya tersenyum mendengar obrolan sundanese mereka berdua, sambil membantu menata perlengkapan pengambilan data biometrik dan layar infocus buat pengambilan foto paspor. Suasana cukup cair dan hangat. Sesekali tanpa sadar aku melihat kedua kaki Fauqia yg lemah menyangga tubuhnya. Tampak seperti tak berdaya dan akan menjadi beban sulit menghadapi hidup.
Namun saat melihat wajah dan air mukanya serta antusiasmenya saat berbicara, aku melihat pemandangan yg sangat kontras. Sedikitpun tidak menampakkan bahwa dia bukanlah tipikal wanita yang lemah dan tak berdaya. Bukan wanita yang dengan segala keterbatasan fisiknya akan memasrahkan hidup dan masa depannya kepada roda nasib yg berputar seperti roda dikursinya.
Tapi dia adalah seorang wanita yg tangguh dan penuh dengan optimisme hidup. Aku melihat ada determinasi dan kekerasan tekad didalam sikap, bahasa tubuh dan tutur katanya.
Aku berani menyimpulkan demikian karena tidaklah mudah bagi seorang student asing untuk bisa kuliah di Jerman. Walaupun kuliah di negeri frau Merkel ini sangat menyenangkan karena relatif biayanya sangat murah (tidak dipungut uang kuliah utk kampus negeri) namun banyak calon mahasiswa Indonesia yg gugur ditengah jalan bahkan pd tahap persiapan studi (pre university) atau biasa disebut studienkolleg (studkol).
Selain karena faktor bahasa Deutsch yang cukup sulit juga kesiapan dan kedisiplinan diri calon/mahasiswa itu sendiri. Belajar secara mandiri dan mampu bekerjasama sbg teammwork utk mengerjakan projek merupakan lifeskill yg sangat tinggi dituntut utk kuliah di Jerman.
Model belajar mandiri dan teamwork belum terbiasa diajarkan dan dilakoni para pelajar kita di Indonesia sehingga membuat mereka harus bisa cepat beradaptasi ketika akan kuliah di Jerman.
Belum lagi rayuan utk bekerja sampingan dgn upah yg lumayan besar yg sangat menggiurkan, fasilitas ini bisa menjadi penyemangat namun juga bisa membuat student menjadi disorientasi bila tidak hati-hati.
Aku tidak bisa membayangkan dengan keterbatasan fisiknya, Fauqia mampu bertahan studi hingga bisa tinggal di apartment kampus. Pasti utk mendapatkan kesempatan dan berbagai fasilitas itu bukanlah suatu perjuangan yg mudah. Semua harus dilakukan sendiri karena tidak ada sanak saudara yg menemani dan teman-temannya pun sama sibuknya dalam menjalankan aktivitas masing-masing.