Menginginkan maqam selain ini, berarti tidak bersyukur atas Anugrah-Nya, padahal ini pastilah yang terbaik bagi kita sendiri. Menginginkan lepas dari Urusan Duniawi ini, dan menginginkan sepenuhnya Beribadah; bisa saja sekedar angan-angan kosong, tidak realistis, dan lebih ke sekedar keinginan untuk melarikan diri, ntah dari kemalasan bekerja, atau dari tekanan-tekanan tertentu di tempat kerja. Atau, bahkan boleh jadi sekedar berasal dari dorongan Syahwat Yang Samar, seperti misalnya menginginkan keharuman nama, atau setidaknya menginginkan diri seperti orang lain, dan mungkin sekedar karena iri dan cemburu.
Sedangkan, bila Allah telah melepaskanmu dari keharusan untuk mencari nafkah, meski aku sendiri tidak tahu seperti apa maqam itu, lalu engkau masih juga menginginkan urusan duniawi itu; maka itu adalah tanda-tanda kemunduranmu dari harkat-martabatmu yang Luhur.
***
Mungkin maqam kita memang masih pada maqam untuk bersibuk dengan Urusan Duniawi ini, mencari Nafkah untuk diri dan keluarga; tapi meski tidak mutlak, sedikit banyak, menurutku, bisa juga kita mencoba mencicipi kenikmatan ber-khalwat, beribadah secara intensif ini, disana-sini. Kita dapat mencoba memaknai maqam tidak harus sebagai maqam permanen, jangka panjang, melainkan dapat saja sekedar maqam sementara, kesempatan-kesempatan pendek.
Misalkan saja, engkau saat ini tengah dianugrahi keringanan hati, tidak disibukkan hatimu oleh urusan-urusan duniawi, mungkin saja saat itu engkau tengah dianugrahi Allah kesempatan mencicipi maqam "sementara" Keterlepasan dari Urusan Duniawi. Maka mungkin saat itulah engkau dapat meningkatkan ibadah-ibadahmu secara lebih intensif, dapat lebih fokus mengurusi hal-hal ukhrawimu, akhiratmu dan batiniahmu; tanpa terjebak kategori Syahwat Yang Samar. Meski mungkin itu hanya dalam satu dua hari. Atau satu dua minggu. Yang jika sebaliknya, dalam kondisi itu; engkau masih juga tetap menyibukkan diri dengan hal-hal duniawi-mu, seolah engkau akan hidup selamanya, maka mungkin engkau memang tengah terjebak dalam Kemunduran Batiniah. Ke-Alpa-an Batin.
Disela-sela jadwal Kerja harian, mingguan dan tahunan; engkau juga memiliki weekend rutin, kadang long weekend, Liburan Hari Besar Nasional atau Agama Tertentu, Cuti Tahunan, dan bahkan ada kalanya Cuti Besar dalam 3 Tahunan, misalnya. Semua ini tentulah Anugrah-Nya juga; dan tentu dapat dimanfaatkan sebagai kesempatan-kesempatan pendek untuk meng-khusus-kan diri ber-ibadah, membenahi hal-hal batiniah dan menyiapkan ukhrawimu, akhiratmu.
Dan last but not least; engkau akan pensiun pada saatnya, dengan kecukupan bekal yang pantas untuk tahun-tahun mendatangmu, tidak-kah itu berarti Allah telah melepaskanmu dari Urusan Duniawi-mu.
Kalau bukan itu saat-mu; lalu kapan lagi?
***
Sepertinya cukup pelik untuk mengetahui kita berada di maqam apa sebenarnya. Mungkin itu rahasia Allah juga. Maka, menurutku, yang penting bagi kita saat ini adalah bagaimana caranya kita terhindar dari Syahwat Yang Samar ini, atau sebaliknya, terhindar dari Jebakan Kemunduran Batin ini, pada maqam apa pun kita mungkin berada saat ini.
Dan satu-satunya cara, atau cara sederhana, meski aku yakin tidak mudah, yang aku pikirkan saat ini adalah dengan Rela, Ridha dan Ikhlas Menerima Apapun anugerah-Nya. Untuk apapun yang engkau miliki, untuk apapun yang engkau hadapi, untuk apapun yang sedang engkau kerjakan, untuk di Level Spiritual dan/atau Duniawi manapun engkau mungkin berada saat ini, Pertama-tama dan yang Utama, engkau hanya perlu Rela, Ridha, Ikhlas dan ber-Syukur. Allah Maha Tahu dengan apa yang Terbaik untukmu, dan yang Terbaik untuk Kemanusiaan secara Keseluruhan.