Semua dilakukan di tengah sungai, selain lidi yang ditarik, tetes darah pertama dari hewan yang disembelih ditetes-alirkan ke air dan sebuah batu sebagai meja sembah.
Actus tersebut adalah simbol bahwa semua penghalang/penghambat/sekat telah ditarik, dibuka, dialirkan, dan disucikan. Semua masalah selesai!
Puncak dari ritual ini adalah tiun ma tah tabua tekes (sajen dimakan secara bersama-sama), akan didahului oleh kedua calon mempelai, menyusul tetua adat dan perwakilan rumpun keluarga.Â
Setiap actus dalam ritual ini selalu disertai tutur adat. Pada tahapan makan bersama, ada pantangan: semua makanan yang disajikan harus 'dihabiskan' (tidak boleh ada sisa), dan tidak bisa dibawa pulang.
Selain itu, peralatan atau perlengkapan yang dibawa dari rumah harus dibawa pulang, tidak boleh ada yang tertinggal di lokasi Helket.Â
Diyakini bahwa 'sesuatu' yang tertinggal bisa saja mendatangkan kutuk; yang telah bersih tidak boleh dikotori lagi.
Beda Sebutan, Sama Esensi: Jalan Damai
Sebagaimana peperangan identik dengan senjata, maka ada sebutan lain untuk ritual Helketa yakni Bus Ken Nafu, ialah serbuk atau bubuk mesiu yang digunakan Atoin Meto sebagai peluru untuk Ken Meto (senjata tradisional).Â
Umumnya bubuk mesiu (bahan peledak) terbuat dari belerang, arang dan kalium nitrat, kalau pada ken meto biasanya dipakai juga bus (serbuk halus, hasil olahan dari serabut kelapa).
Dengan demikian, Helketa atau Bus Ken Nafu merujuk pada usaha untuk menghapus segala bentuk peperangan atau permusuhan di masa lampau.Â
Perlu dipahami juga bahwa permusuhan dimaksud tidak hanya berupa kontak senjata secara langsung di masa lampau, tapi bisa juga berupa sumpah atau kutukan yang datang dari pertengkaran (tutur kata).Â