Mohon tunggu...
Herman Efriyanto Tanouf
Herman Efriyanto Tanouf Mohon Tunggu... Penulis - Menulis puisi, esai, artikel lepas

Founder dan Koordinator Komunitas LEKO Kupang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Memaknai Helketa, Ritual Pranikah Bagi Masyarakat Adat Timor

14 Februari 2022   08:23 Diperbarui: 15 Februari 2022   22:16 2161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Persiapan Helketa (Foto: HET)

Helketa, kata dalam Uab Meto (bahasa Dawan) terdiri dari dua kata: hel artinya tarik, sedangkan keta artinya lidi. 

Dari akar katanya dapat diartikan (actus) menarik lidi. Intensi dari menarik lidi adalah melepas atau membebaskan kotoran-kotoran yang telah menumpuk akibat dihalangi lidi-lidi. 

Kotoran yang dimaksud yaitu segala jenis sumpah adat yang terjadi di masa lampau. Sedangkan lidi adalah penghambat yang membuat sumpah adat itu tidak atau belum hilang.

Kotoran atau sumpah adat dimaksud berupa peperangan antar suku, baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan. 

Sebagaimana kita ketahui bahwa dahulu, ketika kerajaan-kerajaan belum bersatu, terjadi peperangan dalam segala bentuk. 

Beberapa di antaranya adalah merebut batas wilayah suku atau kerajaan, suku yang satu 'mencuri' hasil kebun atau ternak milik suku lain, bahkan ada kisah-kisah tentang penculikan para perempuan muda di masa lalu.

Itu sebabnya, dalam perjalanan waktu ketika seorang laki-laki (Atoin Meto) dari suku tertentu yang ingin menikahi perempuan dari suku lain yang saling berkonflik (lasi bata), ada ritual yang harus dijalankan, yaitu Helketa.

Proses Ritual

Adanya Helketa, mengandaikan adanya calon pasangan istri-suami yang akan segera menikah, ialah seorang laki-laki dan perempuan. 

Sebelum melakukan ritual ini, ada perencanaan dari para tetua dari suku-suku terkait. Umumnya di Timor, khususnya di Timor Tengah Utara, pernikahan tidak hanya melibatkan dua suku, tetapi lebih (rumpun yang saling berhubungan atau kekerabatan).

Setelah ada perencanaan melalui bua/'tbua/tabua (berkumpul), ditentukanlah tempat untuk melakukan ritual dimaksud. 

Helketa biasanya dilakukan di sungai atau 'kali hidup' (airnya tetap mengalir) dengan filosofi air yang membersihkan, membasuh, menyucikan.

Sebelum turun atau masuk ke sungai, para Atoin Amaf (om atau paman) dan tetua adat lain serta rumpun keluarga akan berkumpul di tepi sungai, melakukan ritual tertentu (persiapan). 

Sebelum dilaksanakan, kedua belah pihak tidak diperkenankan untuk saling berkunjung. Pihak laki-laki menempati pinggir atau tepian sungai yang satu dan pihak perempuan menempati tepi lainnya (bersebrangan).

Kedua belah pihak diarahkan untuk bertemu di tengah sungai dan memulai ritual. Tutur adat (takanab atau natoni) dari Malasi atau Mafefa (penutur adat) akan saling bertukar tutur. 

Takanab biasanya berisikan harapan ataupun doa agar ritual, terlebih hubungan antara laki-laki dan perempuan yang akan menikah dapat berlangsung dengan baik.

Berikut adalah salah satu contoh tutur adat yang sering saya dengar ketika mengikuti ritual Helketa:

Uisneno Apakaet, Aneset-Afinit, Apinat-Aklahat, Atukus-Anonot, nasaunton neu pah nifu ma be'e na'i, he maputu malala miloebe natuin suma mata i, he nloe nekje neo tais ametak nifu ametak. 'Tfelaha ao mina ma ao leko, manikin ma oetene, neo an feto ma an mone he nait nao neu bale es ma bale esa, kaisa nastun kaisa nmof, kaisa nmui Ho se ma Ho bah.

Terjemahan bebas:

Tuhan Maha Pencipta, Maha Tinggi, Maha Cahaya, Maha Penuntun, yang menjelma melalui samudera-semesta dan para leluhur, kiranya semua masalah masa lalu dapat kami alirkan melalui sumber dan mata air ini, dibawanya serta ke samudera maha luas. Berilah kesehatan dan kebaikan pada jiwa-raga, juga kesejukan (berkat-Mu) bagi perempuan dan laki-laki yang akan hidup bersama agar perjalanan mereka dari tempat yang satu ke tempat yang lain, tidak terantuk, tidak jatuh, tanpa teguran dan kutukan-Mu.

Tutur di atas adalah salah satu dari sekian banyak tutur yang biasanya dipantunkan. Perlu diketahui bahwa tutur tersebut tidak menjadi rumusan yang tetap. Tutur pada suku atau daerah yang satu belum tentu sama dengan yang lainnya, terutama pada penggunaan kata. 

Atau juga pada suku yang sama, bisa saja ada perbedaan, tergantung Malasi/Mafefa. Namun demikian, selalu memuat intensi yang sama dan beberapa pilihan kata adalah kewajiban.

Setelah semua tutur sebagai bagian penting dari ritual itu diutarakan, akan dilanjutkan dengan penarikan lidi dari dua arah berbeda (kiri-kanan atau atas-bawah) dan penyembelihan hewan kurban. 

Semua dilakukan di tengah sungai, selain lidi yang ditarik, tetes darah pertama dari hewan yang disembelih ditetes-alirkan ke air dan sebuah batu sebagai meja sembah.

Actus tersebut adalah simbol bahwa semua penghalang/penghambat/sekat telah ditarik, dibuka, dialirkan, dan disucikan. Semua masalah selesai!

Puncak dari ritual ini adalah tiun ma tah tabua tekes (sajen dimakan secara bersama-sama), akan didahului oleh kedua calon mempelai, menyusul tetua adat dan perwakilan rumpun keluarga. 

Setiap actus dalam ritual ini selalu disertai tutur adat. Pada tahapan makan bersama, ada pantangan: semua makanan yang disajikan harus 'dihabiskan' (tidak boleh ada sisa), dan tidak bisa dibawa pulang.

Selain itu, peralatan atau perlengkapan yang dibawa dari rumah harus dibawa pulang, tidak boleh ada yang tertinggal di lokasi Helket. 

Diyakini bahwa 'sesuatu' yang tertinggal bisa saja mendatangkan kutuk; yang telah bersih tidak boleh dikotori lagi.

Beda Sebutan, Sama Esensi: Jalan Damai

Sebagaimana peperangan identik dengan senjata, maka ada sebutan lain untuk ritual Helketa yakni Bus Ken Nafu, ialah serbuk atau bubuk mesiu yang digunakan Atoin Meto sebagai peluru untuk Ken Meto (senjata tradisional). 

Umumnya bubuk mesiu (bahan peledak) terbuat dari belerang, arang dan kalium nitrat, kalau pada ken meto biasanya dipakai juga bus (serbuk halus, hasil olahan dari serabut kelapa).

Salah satu bagian dalam Helketa. (Foto: HET)
Salah satu bagian dalam Helketa. (Foto: HET)
Dengan demikian, Helketa atau Bus Ken Nafu merujuk pada usaha untuk menghapus segala bentuk peperangan atau permusuhan di masa lampau. 

Perlu dipahami juga bahwa permusuhan dimaksud tidak hanya berupa kontak senjata secara langsung di masa lampau, tapi bisa juga berupa sumpah atau kutukan yang datang dari pertengkaran (tutur kata). 

Kata-kata berisikan kutukan sering dilontarkan ketika adanya konflik, baik sesama rumpun suku dalam satu daerah ataupun suku berlainan dari daerah lain.

Di Timor Tengah Utara terdapat beberapa sebutan untuk ritual ini yaitu Helketa, Bus Ken Nafu (Insana), Laep Kisan Tunbubun (Biboki), dan Taloeb Hanaf (Miomaffo). Sedangkan di Belu dan Malaka disebut Saki Inuk atau Saki Dalan. 

Ritual semacam ini, memiliki motivasi yang sama sebagaimana beberapa ritual pranikah bagi suku-suku lain di Indonesia. 

Sebagai contoh, ritual Siraman (Jawa), Ngebakan (Sunda), Ngekeb (Bali), Mappaci (Bugis-Makassar), Mandi-mandi (Minang), Sesimburan (Lampung), dan lain-lain. 

Tentu proses ataupun tata cara sangat jauh berbeda, tetapi memiliki makna yang sama; lebih kepada pembersihan diri bagi pasangan yang akan menikah.

Di Timor sendiri, terkait Helketa ada sebagian orang yang masih salah kaprah. Mereka menganggap bahwa Tason Eno Lalan adalah sebutan lain untuk ritual tersebut. 

Sesungguhnya, Tasoen Eno Lalan merupakan bagian dari Helketa. Artinya, ia tidak berdiri sendiri (keterwakilan). Sebagai bagian dari ritual dimaksud, Tasoen Eno Lalan tidak menjadi suatu kewajiban.

Ia baru akan menjadi ritual wajib ketika suku-suku terkait yang akan melakukan pernikahan, di generasi sebelumnya tidak atau belum pernah melakukan pernikahan adat.

Tasoen Eno Lalan. (Foto: HET)
Tasoen Eno Lalan. (Foto: HET)

Jika dalam Helketa, kedua pasangan adalah 'generasi pertama' dari rumpun suku terkait yang akan menikah, maka Tasoen Eno Lalan wajib dijalankan. 

Bagian ini biasanya ditandai dengan pemotongan daun pandan atau ranting bambu yang sebelumnya dibuat seperti gapura dengan daun tersebut sebagai 'penghalang'. 

Pemotongan itu adalah isyarat bahwa pintu atau jalan telah dibuka, kedua calon mempelai secara adat telah sah untuk hidup bersama, dan ada keyakinan: bebas dari segala kutuk.

Perlu diketahui, Helketa hanya dilakukan oleh suku-suku yang memiliki sejarah konflik di masa lalu atau masa kini (lasi bata). Sederhananya, jika suku pihak laki-laki dan perempuan tidak memiliki sejarah lasi bata, maka Helketa tidak perlu dilakukan.

Ritual ini masif dilaksanakan oleh suku-suku di Biboki, Insana, dan Miomaffo. Namun akhir-akhir ini, hampir kebanyakan suku di Timor Barat melangsungkan Helketa. 

Tentu dengan intensi utama yaitu pembersihan dari segala (rekonsiliasi) sebelum sepasang anak manusia sah sebagai istri-suami di hadapan agama, pemerintah, dan tentu adat itu sendiri. rumpun keluarga turut mempererat tali persaudaraan, memupuk kerukunan, penuh cinta, penuh damai. ***

Insaka-Timor, 2018/2022

Herman Efriyanto Tanouf

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun