Mama dalam citraan syair lagunya digambarkan sebagai sosok yang telah uban rambutnya, keriput wajahnya, dan kurus raganya. Lalu, bagaimana dengan bait terakhir? Jika diperhatikan secara saksama, Sonlay menyimpan sebuah misteri di sana. Misteri apakah itu?
Unu sebagai anak sulung, anak yang dituakan, diharapkan mampu menjadi nakhoda dalam sebuah keluarga kecil. Tanggung jawabnya setara dengan status seorang kepala keluarga. Lantas, di manakah kepala keluarga yang sebenarnya (ayah)? Inilah misteri yang disembunyikan Sonlay. Sesungguhnya, kehilangan-perpisahan untuk selamanya bersama seorang ayah telah dialami penyair dalam posisinya sebagai the other. Mengapa demikian?
Yah, jika sosok ayah masih ada, Sonlay tidak seharusnya memanggil Unu-nya cepat pulang. Ketidakhadiran ayah tergambar dalam baris ke-4 bait terkahir, Siapa yang harus balik kita punya tanah? Pada kedua bait sebelumnya pun Sonlay tidak menghadirkan sosok ayah. Hanyalah seorang ibunda dalam Nyanyi Sioh Mama. Sehingga ketika menutup puisinya, Sonlay seakan menghendaki pembaca untuk malantunkan lagu Ayah (nyanyikanlah!). Kerinduan terhadap Unu adalah suara nostalgik akan potret wajah ayah.
Dengan demikian, ketika berhadapan dengan puisi Sonlay, pembaca hendaknya menempatkan posisinya sebagai ideal reader atau setidaknya the real reader, sehingga makna sebuah puisi dapat sampai dan bergeliat di dalam hati. Sebab terkadang, penyair dengan sengaja melupakan selembar potret agar pembaca tidak mengalami situasi intervensi. Pembaca diberi kebebasan untuk memaknai dan menemukan berbagai persembunyian dari citraan penyair.
Kupang, 2016/2019
Herman Efriyanto Tanouf
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H