Mohon tunggu...
Herman Efriyanto Tanouf
Herman Efriyanto Tanouf Mohon Tunggu... Penulis - Menulis puisi, esai, artikel lepas

Founder dan Koordinator Komunitas LEKO Kupang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Rindu: Suara yang Memanggil Datangnya Luka Lama

4 Juli 2019   14:04 Diperbarui: 4 Juli 2019   23:20 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Erlangga

Mama dalam citraan syair lagunya digambarkan sebagai sosok yang telah uban rambutnya, keriput wajahnya, dan kurus raganya. Lalu, bagaimana dengan bait terakhir? Jika diperhatikan secara saksama, Sonlay menyimpan sebuah misteri di sana. Misteri apakah itu?

Unu sebagai anak sulung, anak yang dituakan, diharapkan mampu menjadi nakhoda dalam sebuah keluarga kecil. Tanggung jawabnya setara dengan status seorang kepala keluarga. Lantas, di manakah kepala keluarga yang sebenarnya (ayah)? Inilah misteri yang disembunyikan Sonlay. Sesungguhnya, kehilangan-perpisahan untuk selamanya bersama seorang ayah telah dialami penyair dalam posisinya sebagai the other. Mengapa demikian?

Yah, jika sosok ayah masih ada, Sonlay tidak seharusnya memanggil Unu-nya cepat pulang. Ketidakhadiran ayah tergambar dalam baris ke-4 bait terkahir, Siapa yang harus balik kita punya tanah? Pada kedua bait sebelumnya pun Sonlay tidak menghadirkan sosok ayah. Hanyalah seorang ibunda dalam Nyanyi Sioh Mama. Sehingga ketika menutup puisinya, Sonlay seakan menghendaki pembaca untuk malantunkan lagu Ayah (nyanyikanlah!). Kerinduan terhadap Unu adalah suara nostalgik akan potret wajah ayah.

Dengan demikian, ketika berhadapan dengan puisi Sonlay, pembaca hendaknya menempatkan posisinya sebagai ideal reader atau setidaknya the real reader, sehingga makna sebuah puisi dapat sampai dan bergeliat di dalam hati. Sebab terkadang, penyair dengan sengaja melupakan selembar potret agar pembaca tidak mengalami situasi intervensi. Pembaca diberi kebebasan untuk memaknai dan menemukan berbagai persembunyian dari citraan penyair.

Kupang, 2016/2019
Herman Efriyanto Tanouf

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun