Mohon tunggu...
Herman Efriyanto Tanouf
Herman Efriyanto Tanouf Mohon Tunggu... Penulis - Menulis puisi, esai, artikel lepas

Founder dan Koordinator Komunitas LEKO Kupang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Rindu: Suara yang Memanggil Datangnya Luka Lama

4 Juli 2019   14:04 Diperbarui: 4 Juli 2019   23:20 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Erlangga

Penfui, 30 November 2011

Adanya keserasian dan pertalian makna dari baris yang satu terhadap baris lainnya dalam setiap bait. Demikian pun dengan pertalian makna antar bait. Tendensi puitik yang ditimbulkan oleh Sonlay didukung dengan sarana bahasa, sensitivitas permenungan dan penghayatan akan makna (Esten, 2013).

Setiap kali membaca puisi tersebut, saya seperti sedang mendengar percakapan dalam Telepon Tengah Malam-nya Joko Pinurbo. Berikut penggalan puisi dimaksud:

Ada dering telepon, panjang dan keras,
Dalam rongga dadaku
"Ini siapa, tengah malam telepon?
Mengganggu saja."
"Ini Ibu, Nak. Apa kabar?"
"Ibu! Ibu di mana?"
"Di dalam"                                                                      
"Di dalam telepon?"
"Di dalam sakitmu."

Tampak sederhana, tetapi menyiratkan keistimewaan makna. Perbedaannya, Sonlay menampilkan monolog, sedangkan dalam puisinya Jokpin terdapat dialog antara seorang ibu dan anak.

Oleh karenanya, puisi Cepat Pulang Unu senantiasa menjadi langganan dalam setiap ajang apresiasi sastra di dalam dan luar Kota Kupang. Yah, seberapa banyak hadirin yang terpaku tatapannya, tergetar sukmanya, hingga merinding kuduknya kala mendengar musikalisasi puisi ini yang dibawakan sendiri oleh penyairnya. Mengapa bukan puisi lainnya? Kita telusuri lebih dalam liarnya imajinasi Sonlay.

Dalam ulasannya terhadap puisi Cepat Pulang Unu, Afrizal menguak lokalitas (kosmologi masyarakat lokal) yang dihayati Sonlay. Pada tahapan tersebut sangat dibutuhkan penelusuran biografis penyair yang tidak terbatas pada mengulum ice cream, tetapi lebih kepada mencabik serat daging tulang.

Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa kritik yang demikian dilatarbelakangi oleh positivisme abad ke-19 (bukan intervensi). Sonlay sendiri dalam gubahan puisinya seolah melakukan pemberontakan terhadap struktur perpuisian zaman dahulu (quasi-epigon) dan lebih mengarah kepada menjanjikan kepuitisan masa depan (quasi-eksponen).

Di sini, saya berusaha untuk masuk melalui pintu lain, selain pintu yang telah dilewati Afrizal. Ini bukan sebuah pertentangan antara formalisme dan positivisme, tetapi tentang bagaimana menyelami misteri yang telah dibuka oleh Afrizal.

Sense dalam puisi ini menyiratkan kerinduan yang amat mendalam. Perhatikan costume keseluruhan tubuh puisi, jika ditelanjangi (puisi) di sana Sonlay seolah meratap tangis sembari memanggil pulang Unu (sebutan orang Dawan-Timor untuk orang yang dituakan/ kakak/ anak sulung). Sonlay membuka gerbang puisinya dengan nostalgia tentang kebersamaan yang dirajut bersama Unu sebelum pergi ke tanah rantau. Perhatikan bait pertama:

Lampara di pantai Timor
Tempat kita gantung kaki
Nyanyi Sioh Mama
Sambil hitung ikan dan lontar
Untuk cukup hidup sehari                             

Citraannya menghantar pembaca pada kehidupan masyarakat di pinggir pantai yang bukan nelayan. Pilihan kata Lampara pada baris ke-1 merujuk pada alat penangkapan ikan yang mirip dengan payang, terbuat dari jaring yang berbentuk persegi empat, bagian tengah lebar, terdiri dari sayap dan kantong (Subani, 1989). Lampara menunjukkan pola kehidupan masyarakat pinggir pantai yang bukan nelayan. Kebutuhan akan hasil laut (ikan) sebatas pada usaha untuk memenuhi tuntutan lambung. Perihal ini didukung oleh pilihan diksi "lontar".

Demikian gambaran akan situasi dimana buah lontar menjadi sasaran pengganti jagung dan umbian lainnya (ubi) ketika kemarau panjang menjelmakan kelaparan. Secara eksplisit, kemarau tidak ditampilkan Sonlay, tetapi tersirat jelas di dalam puisinya melalui pilihan diksi dan kata konkret seperti "ikan dan lontar".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun