Mohon tunggu...
Herlin Variani
Herlin Variani Mohon Tunggu... Guru - Penulis Parents Smart untuk Ananda Hebat, Motivator generasi milenial, Guru

Penulis Parents Smart untuk Ananda Hebat, Motivator generasi milenial, Guru

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Matematika? Keciiiilllll.....

16 Agustus 2021   06:13 Diperbarui: 16 Agustus 2021   06:18 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masih sering dikunjungi oleh siswa walau sekarang  mereka sudah duduk di bangku SMP (Dokpri)

"Assalamualaikum. Pagi semua." Sapa seorang guru muda memasuki lokal kelas VI di sebuah sekolah dasar."Waalaikumussalam. Pagi Buuu..." Warga kelas memberi jawaban serempak bak paduan suara upacara bendera di hari Senin.

Tanpa berbicara sepatah kata pun, guru muda ini segera menuju papan tulis setelah meletakkan tas serta pernak pernik peralatan mengajar di meja guru.

Semua pandangan mata tertuju dengan mulut terkunci pada guru berkerudung standar itu. Ya standar. Tak terlalu panjang. Namun juga tak pendek. Syar'i namun tetap gaul dan modis. Begitu celotehnya murid-murid terkait kerudungnya itu.

Masih tanpa suara, sang guru menulis dengan lihai di papan tulis. Entah apa yang ada dalam pikiran guru muda itu.

Dihari pertama masuk ke kelas, bukannya memperkenalkan diri pada siswa, ia malahan membuat papan tulis di kelas ini penuh dengan tulisan "MATEMATIKA" berukuran besar.

Tulisan diarsir dan dihias sedemikian rupa. Nyaris tak ada bagian papan tulis yang tersisa. Penuh coretan Bu Guru bak seniman yang sedang melahirkan sebuah karya istimewa.

"Semuanya, dalam hitungan ke-3, bagaimana pun caranya, di atas meja kalian telah tersedia bola-bola dari kertas yang tak terpakai." Suara super bas milik sang guru menggema memecah keheningan.

"Satu,..." Hitungan pun dimulai. Dapat dibayangkan apa yang terjadi. Suasana kelas yang awalnya begitu tenang tanpa suara tiba-tiba gaduh. Warga kelas grasak-grusuk mencari kertas bekas dan segera meremas tak beraturan.

Bola-bola kertas pun mulai menumpuk di atas meja siswa. Bu guru baru ini segera mengangkat tangannya ke atas. Pertanda waktu menciptakan bola-bola kertas telah berkahir. Terlihat siswa siswinya mulai tersengal.

"Apa lagi yang akan dilakukan oleh ibu ini?" Mungkin itu yang terpikir oleh para siswa kala itu.

"Kalian suka dengan dia." Tanya Bu Guru lagi sembari menunjuk papan tulis.

"Tidaaakkk..."Jawaban ini mendominasi. Hingga suara beberapa siswa yang memberi jawaban sebaliknya tak terdengar.

"Oke. Sekarang ekspresikan ketidaksukaan kalian padanya sembari meneriakkan kalahkan, taklukkan. Aku bisa." Suara sang guru kembali menggelegar.

Suasana kelas kembali riuh. Bola-bola kertas berterbangan bak muntahan peluru mendarat dengan pasti mengenai huruf-huruf yang memenuhi papan tulis.

"Kalahkan dia. Taklukkan dia." Teriak si guru menyemangati para siswa yang sedang meluapkan kemarahan mereka.

Dalam hitungan detik, tulisan MATEMATIKA super besar di papan tulis sudah tak berbentuk. Sampah berserakan tak karuan. Peluru kertas habis, siswa kembali diminta duduk tenang.

Dokpri. Penulis Parents Smart untuk Ananda Hebat
Dokpri. Penulis Parents Smart untuk Ananda Hebat
Siswa diinstruksikan menarik nafas perlahan. Terlihat wajah mereka begitu ceria dan sumringah. Setelah suasana tenang kembali, dengan kompak warga kelas membersihkan kelas yang berantakan.Begitu pun dengan gurunya. Karena bu guru juga ikut berkonstribusi melempari tulisannya sendiri.

Pemandangan yang sungguh terlihat konyol. Aktivitas pembelajaran tak biasa itu mengundang kehadiran kepala sekolah. Beliau tertawa terkekeh menyaksikan ulah guru muda di sekolah yang dipimpinnya.

Namun itu baru awalnya saja. Pada pertemuan berikutnya tebangun sebuah komitmen, setiap kali tiba jam pelajaran matematika, seluruh warga kelas meneriakkan kata "keciiilll..."

Sang guru juga memberi izin pada siswa untuk tidak menyukai matematika. Tapi tak boleh menakuti.

Karena manusia makhluk terbaik yang Allah ciptakan. Mereka pemimpin. Bukan makhluk yang layak dijajah oleh rasa takut. Apalagi hanya ketakutan pada hal kecil serupa matematika.

Siswa diizinkan untuk tak ahli matematika. Tak mesti meraih nilai seratus. Sebatas KKM cukuplah. Agar nanti bisa lulus dan bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya.

Toh nanti mereka bisa menekuni karir sebagai seorang public speaking yang tak mesti paham rumus-rumus diferensial dan integral. Atau mereka bisa saja jadi seorang pelukis tanpa perlu ahli logaritma dan sejenisnya.

Sekilas mungkin memang ini terlihat janggal. Namun dari waktu ke waktu, wajah siswa mulai ceria setiap kali jam pelajaran hitung-hitungan menghampiri. Jumlah kerutan dikening siswa perlahan berkurang bahkan sirna menghadapi deretan angka-angka.

Karena mereka merasa tidak terancam walau mungkin nanti akan gagal paham terhadap materi yang disampaikan oleh guru.

Dan yang membuat senyum guru mulai mengembang, nilai-nilai matematika siswa yang diampunya perlahan meningkat dari biasanya. Bahkan siswa yang acapkali mendapat nilai paling buruk kini mulai menyentuh KKM.

Tanpa sadar siswa digiring untuk menyukai matematika. Tanpa sadar mereka diajak lihai dengan materi hitung-hitungan. Nilai yang diperoleh memang belum terbaik jika dibanding sekolah-sekolah lainnya.

Tapi itu bukan masalah. Yang terpenting, mereka berhasil menakhlukkan rasa takut. Memperoleh nilai lebih baik dari hasil kerja keras sendiri. Tanpa perlu celingak-celinguk mencari bahan contekan.

***

Kisah di atas pengalaman pribadi saya sahabat pembaca. Saya sangat menyesali sebuah kekhilafan di masa lalu. Marah besar ketika nilai-nilai siswa tak sesuai harapan. Memaksa siswa menjadi yang terbaik di semua bidang.

Perlahan, saya menyadari itu keliru dan tindakan bulying pada siswa. Menyadari ini salah, perlahan saya mulai merubah teknik mengajar.

Walau kadang ada yang menertawai dengan gaya mengajar yang sedikit unik. Tapi cuek saja. Asal siswa bahagia dan nyaman serta berani menemukan jalan terbaik dalam meraih cita mereka. Dan selagi itu tak melanggar norma-norma yang ada, lanjut saja

Wallahualam

Ruang Mimpi, Jum'at, 27 November 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun