"Tidaaakkk..."Jawaban ini mendominasi. Hingga suara beberapa siswa yang memberi jawaban sebaliknya tak terdengar.
"Oke. Sekarang ekspresikan ketidaksukaan kalian padanya sembari meneriakkan kalahkan, taklukkan. Aku bisa." Suara sang guru kembali menggelegar.
Suasana kelas kembali riuh. Bola-bola kertas berterbangan bak muntahan peluru mendarat dengan pasti mengenai huruf-huruf yang memenuhi papan tulis.
"Kalahkan dia. Taklukkan dia." Teriak si guru menyemangati para siswa yang sedang meluapkan kemarahan mereka.
Dalam hitungan detik, tulisan MATEMATIKA super besar di papan tulis sudah tak berbentuk. Sampah berserakan tak karuan. Peluru kertas habis, siswa kembali diminta duduk tenang.
Siswa diinstruksikan menarik nafas perlahan. Terlihat wajah mereka begitu ceria dan sumringah. Setelah suasana tenang kembali, dengan kompak warga kelas membersihkan kelas yang berantakan.Begitu pun dengan gurunya. Karena bu guru juga ikut berkonstribusi melempari tulisannya sendiri.
Pemandangan yang sungguh terlihat konyol. Aktivitas pembelajaran tak biasa itu mengundang kehadiran kepala sekolah. Beliau tertawa terkekeh menyaksikan ulah guru muda di sekolah yang dipimpinnya.
Namun itu baru awalnya saja. Pada pertemuan berikutnya tebangun sebuah komitmen, setiap kali tiba jam pelajaran matematika, seluruh warga kelas meneriakkan kata "keciiilll..."
Sang guru juga memberi izin pada siswa untuk tidak menyukai matematika. Tapi tak boleh menakuti.
Karena manusia makhluk terbaik yang Allah ciptakan. Mereka pemimpin. Bukan makhluk yang layak dijajah oleh rasa takut. Apalagi hanya ketakutan pada hal kecil serupa matematika.
Siswa diizinkan untuk tak ahli matematika. Tak mesti meraih nilai seratus. Sebatas KKM cukuplah. Agar nanti bisa lulus dan bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya.