Dari sumber yang dapat dipercaya mengatakan bahwa 70% kecelakaan pesawat terbang disebabkan oleh faktor manusia (human factor).Â
Tetapi apabila faktor manusia yang dimaksud adalah manusia sebagai individu, tentu kurang tepat karena kesalahan individu dapat disebabkan atau dipicu karena kesalahan individu lainnya.
Dapat dikatakan bahwa human error merupakan ujung tombak penyebab terjadinya kecelakaan, sementara ada human factor sebagai pendorong terjadinya human error.Â
Definisi "Human Factor" seperti tersebut di dalam lancangkuning.com, yang menyatakan " Human Factor adalah tinjauan dari berbagai sudut pandang tentang bagaimana mengoptimalkan kualitas interaksi antara manusia dalam mengoperasikan perangkat peralatan mesin dan sistem yang kompleks dan mengandung banyak bahaya agar tercapai hasil sesuai harapan dengan tingkat keselamatan kerja yang standar".
Sementara human error terjadi karena keterbatasan individu dalam mengakomodasi dan beradaptasi dengan segala peraturan, ketentuan perusahaan, dan prosedur penerbangan serta keterbatasan dalam mengendalikan berbagai gejala mental, seperti mudah lupa, mudah bingung, gampang mengalami kelelahan, sifat yang sering lalai, pemarah, ataupun sifat-sifat sombong.Â
Semua gejala tersebut disebabkan karena menurunnya kualitas interaksi antara manusia. Â Oleh sebab itu kualitas interaksi antara manusia, dalam hal ini antara management perusahaan dengan personil pelaksana operasional hendaknya dapat terpelihara dengan baik, konsisten dan harmonis, antara lain:
1. Menerapkan peraturan, regulasi serta prosedur secara tegas melalui briefing-briefing mingguan dalam rangka memasyarakatkan semua peraturan/regulasi dan ketentuan-ketentuan lainnya kepada seluruh personil pelaksana operasional
2. Meningkatkan fungsi pengawasan dan pengendalian serta pelatihan
3. Memperhatikan situasi lingkungan kerja personil pelaksana operasional (worki environment)
4. Memenuhui segala bentuk kebutuhan dasar bagi personil pelaksana operasional, seperti uang gaji dan tunjangan-tunjangan lain
5. Memahami kemampuan serta keterbatasan-keterbatasan personil pelaksana operasional
6. Perhatikan, diteliti dan dipelajari sekecil apapun informasi yang masuk tentang "behavior" personil dilapangan yang diluar kebiasaan. Ingat, sekecil apapun kalau api sudah menyala akan cepat menjadi besar kalau tidak segera dipadamkan.
Semua faktor-faktor tersebut diatas merupaka fungsi dari "human factor", yang bila tidak dikelola dengan saksama akan dapat memicu terjadinya "human error".
Di sebuah Sekolah Penerbang, pada saat istirahat makan siang terdengan sekitar obrolan sesama siswa, obrolan apalagi kalau bukan tentang pengalaman masing-masing sewaktu latihan terbang.Â
Salah seorang siswa bercerita tentang galaknya instruktur "A", selalu marah-marah kalau kita berbuat kesalahan, bahkan kadang-kadang bisa memukul siswa. Â "Iya, saya juga pernah kena pukul". Â "Iya, saya juga pernah dipukul"celetuk siswa lainnya. Â
Wika (bukan nama sebenarnya) yang dari tadi diam saja, tiba-tiba nyeletuk "saya juga pernah dipukul, hampir saja saya balas pukul, karena saya pikir uang gajinya kan dari uang orang tua kita".
Untung saya masih sabar, karena saya berpikir kita masih membutuhkan ilmunya. Â Seorang senior staff yang juga sedang makan bersama siswa disitu mendengar obrolan tersebut, namun karena dianggap hal yang biasa sehingga merasa tidak perlu disampaikan kepada pimpinan perusahaan.
Tibalah saatnya Wika bersama 9 siswa seangkatannyan untuk mengikuti pelatihan "checkride" dalam rangka mengakhiri masa pendidikan di Sekolah Penerbang tersebut. "Checkride" akan dilakukan oleh penerbang "checker" yang didatangkan dari kantor otoritas penerbangan negara setempat.
Sebagai persiapan seluruh siswa melaksanakan latihan terbang terakhir dengan Instruktur Sekolah Penerbang dengan mengulangi semua gerakan-gerakan penerbangan, penerapan SOP, dan prosedur penerbangan. Dijadwalkan Wika akan terbang dengan instruktur "A" bersama dua siswa lainnya, Wika mendapat giliran ketiga (terakhir).
Setelah dua siswa selesai, Wika memasuki kokpit pesawat latih dan terbang menuju sebuah "training area"yang agak jauh dari "home base". Â Mendekati 1 jam penerbangan, kantor Sekolah Penerbang menerima telepon dari menara pengawas lalu lintas penerbangan bahwa sebuah pesawat latih telah hilang kontak dengan menara pengawas lalu lintas penerbangan.Â
Melalui layar pada "spider track" di kantor Sekolah Penerbang dapat diketahui posisi terakhir ketika pesawat latih hilang dari layar monitor, dari mana dapat diketahui situasi terakhir pesawat, berapa ketinggiannya, kecepatan serta heading nya. Â
Dari perubahan-perubahan yang terjadi secara mendadak, pada ketinggian, arah , dan kecepatan diperkirakan bahwa pesawat sedang mengadakan latihan "unusual position", tetapi mengapa tiba-tiba bisa kehilangan kontak dengan menara pengawas?.Â
Apalagi setelah akhirnya ditemukan beberapa puing dan perlengkapan pesawat dapat dipastikan bahwa pesawat telah jatuh dan masuk ke dalam laut. Tetapi mengapa tidak ada komunikasi, apakah begitu sibuknya Instruktur/siswa sehingga tidak ada waktu untuk melaporkan situasi pesawat kepada pihak menara pengawas? Â
Di suatu pagi, sebuah pesawat komersil akan mengadakan pendaratan pada sebuah bandara. Pada waktu berada di "final approach", co-pilot menyadari bahwa pesawat terlalu tinggi dengan kecepatan juga terlalu tinggi. Co-pilot menyarankan agar "go around", tetapi Captain pilot tidak menghiraukan saran dari co-pilot dan terus melanjutkan pendekatan/pendaratan. Â
Setelah berada dipertengahan landasan pacu dan pesawat belum "touch down" dengan kecepatan yang tinggi pula, sekali lagi co-pilot berteriak "go around", namun tetap tidak didengarkan oleh captain pilot, sehingga pesawat akhirnya "touch down hampir diujung landasan dan terus meluncur jauh keluar landasan dan baru berhenti dan terbakar sekitar 300 meter dari ujung landasan sehingga menewaskan ratusan penumpangnya. Â
Hasil penyelidikan suatu tim investigasi  menyimpulkan bahwa penerbang berada dibawah pengaruh obat berbahaya. Karenanya, dalam kasus ini penyebab terjadinya kecelakaan adalah "human factor", karena telah melanggar peraturan dari otoritas keselamatan penerbangan tentang larangan mengkonsumsi alkohol dan obat berbahaya sebelum melaksanakan tugas penerbangan.
Kasus yang ketiga adalah tentang "behavior" seorang Captain Pilot yang terkenal sombong, arogan dan "over confidence". Sebuah pesawat komersil jenis Airbus A-300 yang diterbangkan oleh Captain tersebut bersama dengan seorang co-pilotnya, diinstruksikan pihak ATC untuk membuat beberapa "holding pattern" pada "Initial Approach Fix" (IAF) dengan ketinggian 2500 feet karena padatnya "traffic".Â
Karena belum ada tanda-tanda akan mendapat "clearance" untuk mendarat dari ATC, sang Captain menyerahkan control pesawat terbang kepada co-pilot karena mau ke kamar mandi. Â Ternyata sementara sang captain di kamar mandi, A-300 diberi "clearance" untuk mendarat, sehingga semua "before landing Checklist" termasuk "landing gears down" sudah dikerjakan oleh co-pilot ketika pesawat sudah dalam posisi "inbound heading".Â
Ketika sang captain sudah kembali duduk dan mengambi alih kendali pesawat, melihat posisi "landing gear handle" sudah dalam posisi "down" padahal dia merasa belum memberi instruksi untuk menurunkan roda pesawat dengan penuh kesombongan tanpa sepengetahuan co-pilot, roda pesawat dinakkan kembali, lalu konsentrasi pada "ILS approach" saat melampaui IAF. Pesawat terus "descending" mengikuti "glide slope" sampai "touch down", saat mana sang captain baru menyadari bahwa pesawat mendarat tanpa "landing gears down".Â
Pesawat terus meluncur dan baru berhenti setelah menabrak tanggul sekitar 100 meter sebelah kiri ujung landasan pacu. Â Seluruh penumpang dalam keadaan selamat sementara pesawat mengalami rusak berat pada bagian perutnya.
Hampir dari ketiga kejadian tersebut diatas dapat dikatakan sebagai akibat dari kurangnya kualitas interaksi antara manusia, baik antara manusia yang berada di level management maupun diantara awak pesawat sendiri.Â
Pada penerbangan sipil sudah diciptakan sebuah metoda yang dikenal dengan CRM (Crew Resources Management) yang fungsinya adalah untuk meningkatkan kualitas interaksi diantara awak pesawat, dimana masing-masing awak pesawat haruslah menguasai fungsi dan tugasnya dengan baik, termasuk pengetahuan sistem pesawat terbang dan ketrampilannya.Â
Dalam hal ini peran dari Captain Pilot adalah sangat dominan untuk mengakomodir serta mengelola semua kemampuan awak pesawat agar dapat disinergikan menjadi sebuah kekuatan guna mencapai hasil penerbangan yang optimal serta tingkat keselamatan terbang yang tinggi. Konsep CRM haruslah dipahami dengan saksama oleh masing-masing individu.Â
Latihan teratur secara group harus sering dilakukan, SOP harus diciptakan, dan dimengerti oleh semua individu. Seorang Captain Pilot harus mampu menjembatani antara kultur perusahaan yang selalu ingin mendapatkan profit setinggi-tingginya dengan kepentingan untuk menciptakan tingkat keselamatan terbang yang  diharapkan.
Captain Pilot, jangan suka marah-marah dan jangan sombong, terapkan konsep CRM dengan sebaik-baiknya. Instruktur Penerbang, jangan galak-galak, jangan main pukul, ingat selalu konsep "Instructor & Student Relationship". Â You have authority, but you have also ability to influence student, ability to give motivation, to give examples to student and to have active intervention, specially to student who has character, passive (no initiative), lazy, uncoorporative, indifferent and antagonistic. Â Make smooth approach to each student, and don't make quick assumption to your student ability.
Lombok, 28 Maret 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H