Apalagi setelah akhirnya ditemukan beberapa puing dan perlengkapan pesawat dapat dipastikan bahwa pesawat telah jatuh dan masuk ke dalam laut. Tetapi mengapa tidak ada komunikasi, apakah begitu sibuknya Instruktur/siswa sehingga tidak ada waktu untuk melaporkan situasi pesawat kepada pihak menara pengawas? Â
Di suatu pagi, sebuah pesawat komersil akan mengadakan pendaratan pada sebuah bandara. Pada waktu berada di "final approach", co-pilot menyadari bahwa pesawat terlalu tinggi dengan kecepatan juga terlalu tinggi. Co-pilot menyarankan agar "go around", tetapi Captain pilot tidak menghiraukan saran dari co-pilot dan terus melanjutkan pendekatan/pendaratan. Â
Setelah berada dipertengahan landasan pacu dan pesawat belum "touch down" dengan kecepatan yang tinggi pula, sekali lagi co-pilot berteriak "go around", namun tetap tidak didengarkan oleh captain pilot, sehingga pesawat akhirnya "touch down hampir diujung landasan dan terus meluncur jauh keluar landasan dan baru berhenti dan terbakar sekitar 300 meter dari ujung landasan sehingga menewaskan ratusan penumpangnya. Â
Hasil penyelidikan suatu tim investigasi  menyimpulkan bahwa penerbang berada dibawah pengaruh obat berbahaya. Karenanya, dalam kasus ini penyebab terjadinya kecelakaan adalah "human factor", karena telah melanggar peraturan dari otoritas keselamatan penerbangan tentang larangan mengkonsumsi alkohol dan obat berbahaya sebelum melaksanakan tugas penerbangan.
Kasus yang ketiga adalah tentang "behavior" seorang Captain Pilot yang terkenal sombong, arogan dan "over confidence". Sebuah pesawat komersil jenis Airbus A-300 yang diterbangkan oleh Captain tersebut bersama dengan seorang co-pilotnya, diinstruksikan pihak ATC untuk membuat beberapa "holding pattern" pada "Initial Approach Fix" (IAF) dengan ketinggian 2500 feet karena padatnya "traffic".Â
Karena belum ada tanda-tanda akan mendapat "clearance" untuk mendarat dari ATC, sang Captain menyerahkan control pesawat terbang kepada co-pilot karena mau ke kamar mandi. Â Ternyata sementara sang captain di kamar mandi, A-300 diberi "clearance" untuk mendarat, sehingga semua "before landing Checklist" termasuk "landing gears down" sudah dikerjakan oleh co-pilot ketika pesawat sudah dalam posisi "inbound heading".Â
Ketika sang captain sudah kembali duduk dan mengambi alih kendali pesawat, melihat posisi "landing gear handle" sudah dalam posisi "down" padahal dia merasa belum memberi instruksi untuk menurunkan roda pesawat dengan penuh kesombongan tanpa sepengetahuan co-pilot, roda pesawat dinakkan kembali, lalu konsentrasi pada "ILS approach" saat melampaui IAF. Pesawat terus "descending" mengikuti "glide slope" sampai "touch down", saat mana sang captain baru menyadari bahwa pesawat mendarat tanpa "landing gears down".Â
Pesawat terus meluncur dan baru berhenti setelah menabrak tanggul sekitar 100 meter sebelah kiri ujung landasan pacu. Â Seluruh penumpang dalam keadaan selamat sementara pesawat mengalami rusak berat pada bagian perutnya.
Hampir dari ketiga kejadian tersebut diatas dapat dikatakan sebagai akibat dari kurangnya kualitas interaksi antara manusia, baik antara manusia yang berada di level management maupun diantara awak pesawat sendiri.Â
Pada penerbangan sipil sudah diciptakan sebuah metoda yang dikenal dengan CRM (Crew Resources Management) yang fungsinya adalah untuk meningkatkan kualitas interaksi diantara awak pesawat, dimana masing-masing awak pesawat haruslah menguasai fungsi dan tugasnya dengan baik, termasuk pengetahuan sistem pesawat terbang dan ketrampilannya.Â
Dalam hal ini peran dari Captain Pilot adalah sangat dominan untuk mengakomodir serta mengelola semua kemampuan awak pesawat agar dapat disinergikan menjadi sebuah kekuatan guna mencapai hasil penerbangan yang optimal serta tingkat keselamatan terbang yang tinggi. Konsep CRM haruslah dipahami dengan saksama oleh masing-masing individu.Â