Mohon tunggu...
Tarigan Sibero
Tarigan Sibero Mohon Tunggu... Pilot - Pensiunan yang masih gemar menulis

Lulusan AAU-64 | Pecinta Berat C130 Hercules | Penulis Buku 50Tahun Hercules | Pernah bekerja sebagai Quality Control and Assurance di sebuah Sekolah Penerbang

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Mencetak Pilot Profesional yang Siap Guna

1 Januari 2021   07:38 Diperbarui: 1 Januari 2021   07:55 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari sumber yang layak dipercaya di bidang penerbangan menyatakan bahwa Indonesia membutuhkan sekitar 500 penerbang setiap tahunnya, sementara dari sumber yang sama diperoleh informasi tentang adanya sekitar 2000 lulusan Sekolah Penerbang masih dalam status menganggur karena belum diterima bekerja di perusahaan-perusahaan Angkutan Udara komersial di Indonesia. 

Situasi yang kontradiktif seperti ini, tentu menimbulkan pertanyaan besar bagi setiap orang terutama bagi masyarakat penerbangan.  "Apa yang salah dengan lulusan Sekolah Penerbang kita?"

Sebagaimana kita ketahui bahwa dasar penyelenggaraan Sekolah Penerbang di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 1/Tahun 2009 tentang Penerbangan, sementara acuan pelaksanaan teknisnya adalah Civil Aviation Safety Regulation (CASR-141) tentang persyaratan mendirikan Sekolah Penerbang serta persyaratan bagi calon Siswa Penerbang itu sendiri.

Adapun persyaratan menjadi Calon Siswa Penerbang, secara umum adalah :

  • Lulus Pendidikam SMA
  • Umur minimum 17 tahun pada saat pendaftaran
  • Tinggi badan 165 CM untuk calon pria, dan 155 CM untuk calon Wanita
  • Berbadan sehat (phisik & psikis)
  • Kemampuan Bahasa Inggris, dengan hasil TOEIC minimum 500
  • Aptitude test (test bakat)

Setelah memenuhi persyaratan tersebut dan telah membayar sebagian beaya pendidikan sesuai perjanjian, maka kepada setiap calon siswa penerbang, diberikan berkas Student Enrollment  berisikan:

  • Certificate of Enrollment antara lain mencantumkan tanggal terdaftar sebagai siswa penerbang
  • Copy of Training Syllabus
  • Copy of General Safety Procedures
  • Copy of School Facilities
  • Copy of Aircraft Operation
  • Student Handbook, berisikan antara lain hak dan kewajiban setiap siswa

Sebelum pelatihan terbang dimulai, para siswa terlebih dahulu harus menguasai berbagai pengetahuan umum tentang kedirgantaraan (Aeronautical Knowledge).  

Pengetahuan kedirgantaraan mempunyai spektrum yang luas, namun dapat dipersingkat menjadi dua bagian besar, pertama pengetahuan teori yang berhubungan dengan lingkungan penerbangan umum, seperti Meteorology, Peraturan Lalu lintas Udara (Airlaw), Navigasi Udara, dan komunikasi penerbangan. 

Kedua adalah pengetahuan tentang pesawat terbang secara umum, Aicraft System, Aerdynamic, Theory of Flight, Aircraft Instrument dan Type Rating khusus pada jenis pesawat yang dipergunakan oleh Sekolah Penerbang tersebut.

Ukuran kelulusan dalam teori pengetahuan kedirgantaraan bagi para siswa apabila hasil ujian tertulis yang diselenggarakan oleh otoritas Direktorat Jenderal Perhubungan Udara mencapai minimum 75% untuk setiap mata pelajaran.

Tahap Pelatihan Dan Pencapaian Kualifikasi

Setelah penguasaan pengetahuan Kedirgantaraan (Aeronautical Knowledge) tahap awal dipenuhi, para siswa akan mengawali pengalaman terbang dengan pesawat sesungguhnya dengan didampingi seorang Instruktur penerbang, biasanya menggunakan jenis pesawat "single piston engine". Sebelumnya, setiap siswa terlebih dahulu dilatih dalam Simulator selama 5 sampai 10 jam tergantung silabi yang diterapkan pada Sekolah Penerbang tersebut.

  • Initial Qualification.
    Sasaran pelatihan terbang tahap awal adalah sebagai persyaratan untuk mendapatkan kualifikasi sebagai "Private Pilot" dengan memperoleh "Private Pilot License" (PPL).  PPL diperoleh setelah siswa mampu melakukan Take Off & Landing serta gerakan-gerakan dasar pesawat terbang secara mandiri (solo) dengan baik dan aman.  Adapun garis besar silabi latihan pada tahap awal ini antara lain  :

  • Pre Solo Stage.  
    Rata-rata setiap siswa telah mampu melakukan terbang "solo" setelah mengantongi jam terbang sebanyak 12 sampai 15 jam tergantung perjanjian perusahaan dengan pihak Asuransi.

  • Post Solo Stage.
    Perkenalan kepada "basic instrument flight" dan memperbanyak terbang "solo"  untuk meningkatkan rasa percaya diri siswa.

  • Night Flight (option).
    Jika siswa penerbang hanya ingin untuk mendapatkan PPL, akan diberikan pelatihan terbang malam sebanyak 4 jam, akan tetapi bila siswa ingin melanjutkan sampai CPL/IR (Commercial Pilot /Instrument Rating License), maka pelatihan terbang malam akan diberikan sekaligus pada saat pelatihan tahap lanjut.
  • Visual
    Navigation (Cross Country).

Total jam terbang untuk memperoleh PPL sekitar 50 jam terbang, dengan perincian 20 jam terbang "solo", 20 jam terbang "dual", dan 10 jam dengan simulator.

Instrument Qualification 

Sebelum mulai dengan pelatihan terbang pada tahap ini, para siswa harus mengulangi pelajaran teori kedirgantaraan dengan materi yang sama namun dengan lebih memperdalam dan memperluas cakupan masing-masing materi.

Pada tahap ini para siswa penerbang diberi pelatihan tentang "basic Instrument Flight" (full panel & partial panel) serta pelatihan tentang penggunaan semua alat bantu navigasi seperti ADF, VOR/DME,  baik sebagai referensi posisi maupun sebagai referensi navigasi dari satu airport ke airport tujuan.  

Disamping itu, para siswa penerbang juga diberi pelatihan tentang teknik-teknik pendekatan dan pendaratan di sebuah airport dengan menggunakan instrument approache, baik non precision approaches ( ADF/VOR), maupun dengan precision approaches (PAR dan ILS).  

Sasaran akhir dari pelatihan terbang tahap ini adalah untuk mendapatkan kualifikasi sebagai Commercial Pilot License/Instrument Rating (CPL/IR qualification) dan dapat dikatakan sebagai bagian akhir dari seluruh rangkaian pelatihan dalam proses pembentukan Penerbang Profesional.  

Total jam terbang untuk menyelesaikan tahap CPL/IR adalah sekitar 120 jam, dengan perincian, 35 jam, terbang "dual", 65 jam terbang "solo/mutual", dan Simulator sebanyak 20 jam, terdiri dari pelatihan  "General Flight", "Basic Instrument", Radio Aids/Navigation Instrument, "Night Flight" dan "Cross Country".  

Dengan demikian, maka total seluruh jam terbang untuk mencetak seorang penerbang pada Sekolah Penerbang rata-rata 50 jam PPL ditambah 120 jam CPL/IR, seluruhnya 170 jam.

Tingkat kelulusan pada kedua tahap pelatihan tersebut diatas (PPL dan CPL/IR) dinyatakan oleh hasil "checkride" yang dilaksanakan oleh Check pilot dari Direktorat Jenderal Perhubungan Udara dan atau check pilot dari Sekolah Penerbang yang telah diakui oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara.

Dengan selesainya seluruh kurikulum/Silabus pendidikan dan pelatihan dan dinyatakan lulus dalam "checkride", apakah seorang lulusan Sekolah Penerbang tersebut sudah dapat disebutkan sebagai seorang penerbang professional?

Untuk menjadi seorang penebng professional, sebuah Sekolah Penerbang yang berlokasi di pulau Lombok, menetapkan 3 (tiga) faktor utama yang harus dipenuhi, dengan bobot masing-masing faktor, sebagai berikut  :

  1. Aeronautical Knowledge (pengetahuan kedirgantaraan), bobotnya 20%
  2. Skill To Fly ( Ketrampilan Terbang), bobotnya 20%, dan
  3. Attitude (Code of Behavior), bobotnya 60%.

Sekolah Penerbang telah menyelenggarakan Pendidikan dan Pelatihan bagi siswa-siswa calon Penerbang sesuai dengan ketentuan dan persyaratan yang tertera di dalam CASR-141, dan seluruh lulusannya telah memegang sertifikat CPL/IR yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. 

Lalu mengapa lulusan Sekolah Penerbang kita sangat susah diterima pada perusahaan-perusahaan penerbangan komersial? Dari sumber yang layak dipercaya, diperoleh informasi yang barangkali merupakan sebagian dari faktor penyebabnya, antara lain  :

Biaya untuk latihan transisi dari "single piston engine" ke pesawat "Multi Jet Engine" dengan peralatan electrnic yang canggih.  
Tidak semua lulusan Sekolah Penerbang yang mampu untuk membayar biaya pelatihan transisi tersebut karena untuk dapat lulus dari Sekolah Penerbang saja telah mengeluarkan beaya Pendidikan dan Pelatihan yang cukup besar.  

Sementara sebagian besar pihak perusahaan penerbangan komersial merasa keberatan untuk menanggung beaya dimaksud.  CASR-141 Amendment 4 telah mempersyaratkan bagi setiap Sekolah Penerbang untuk melengkapi armada pesawat latihnya dengan minimum 1 (satu) unit pesawat latih Multi Engine, sehingga diharapkan setiap lulusan Sekolah Penerbang telah mempunyai pengalaman menerbangkan pesawat Multi Engine.

  • Kemampuan Bahasa Inggris.  
    Seperti diketahui bahwa komunikasi penerbangan seluruh dunia menggnakan bahasa Inggris.  Dari banyaknya perusahaan penerbangan komersial untuk memenuhi kekurangan tenaga penerbang mengambil jalan pintas dengan mengikat perjanjian kontrak dengan penerbang-penerbang dari Luar Negeri, diduga karena kemampuan berbahasa Inggris para penerbang lulusan Sekolah Penerbang kita dianggap kurang memadai.

  • Attitude.  
    Seperti telah diungkap diatas bahwa bobot attitude (code of behavior) sangat tinggi dalam hal pembentukan seorang penerbang professional.  Attitude adalah suatu sikap, karakter atau tata laku sebagai cerminan dari hasil daya pikir atau perasaan  seseorang terhadap keadaan dilingkungannya. Attitude bersifat abstrak, "existing in thought only", tidak ada "bench mark", dalam artian tidak dapat diukur dengan angka seperti halnya dengan pengetahuan teori.  Semua output attitude bersumber dari disiplin yang merupakan sikap dasar seseorang untuk taat dan patuh kepada berbagai peraturan perundangan, ketentuan dan prosedur serta norma-norma agama dan adat istiadat.  

Karenanya, disiplin haruslah dijadikan sebagai kebutuhan hidup sehingga dia akan tetap melekat dalam diri seseorang tanpa perlu diawasi.

Dengan uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa para penerbang muda lulusan Sekolah Penerbang yang ada di Indonesia adalah Penerbang Profesional, namun belum siap guna. Untuk menjadi Penerbang Profesional siap guna masih diperlukan adanya beberapa pembenahan, antara lain:

  • Perlu diadakan satu badan institusi semacam Jakarta Training Center, yang menyediakan berbagai fasilitas pelatihan seperti Simulator jenis pesawat yang umumnya digunakan oleh sebagian besar perusahaan penerbangan komersial, sebagai jembatan bagi penerbang-penerbang muda lulusan Sekolah Penerbang menuju Penerbang professional siap guna pada perusahaan-perusahaan pernebangn komersial.  Tambahan pelatihan dengan pesawat Multi Engine di Sekolah Penerbang hanya sekedar memberi pengalaman menerbangkan pesawat multi engine.

  • Penguasaan bahasa Inggris.  
    Penguasaan bahasa Inggris merupakan hal yang mutlak dikuasai oleh setiap penerbang mengingat bahasa Inggris adalah bahasa komunikasi penerbangan di seluruh dunia.
    Untuk itu disarankan agar setiap Sekolah Penerbang menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar sehari-hari, termasuk dalam masalah surat menyurat keperluan staff works.

  • Pembinaan disiplin siswa selama mengikuti pendidikan dan pelatihan perlu lebih ditingkatkan.  
    Disini  peran orang tua siswa sangat penting untuk bekerja sama dengan pihak Sekolah Penerbang memupuk dan menumbuh kembangkan disiplin anak didik sehingga masalah attitude tidak menjadi factor penghambat dalam menjalankan karirnya sebagai penerbang professional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun