Halo kawan-kawan mahasiswa se-Nusantara utamanya yang berdomisili di luar Papua. Â Apa kabarnya kabar kalian? Saya berharap kalian dalam kondisi sehat walafiat. Kalian sibuk apa akhir-akhir ini? Sibuk dengan rutinitas perkuliahan dan organisasi? Pastinya ya! Saya kira begitu soalnya saya sudah melalui masa-masa itu kok kala masih berstatus mahasiswa dulu.
Saya mau cerita sedikit nih mengapa saya bisa "terdampar" di Papua. Ya, semangat idealismeku yang pada akhirnya membuat saya menetapkan diri memilih Papua sebagai bagian dari awal perjalanan saya selepas lulus kuliah.Â
Sebelum tamat, saya sempat berikrar saya ingin mengabdikan diri di tempat yang berada di luar Pulau Sulawesi dan jauh dari perusahaan yang didalamnya ada banyak teman kampus. Alasan saya yang terakhir bukan bermaksud untuk menjauhi teman dan alumni kampusku tapi ini sehubungan dengan jiwa saya yang suka tantangan.Â
Sebagai pemuda tipe petualang, Â saya ingin memanfaatkan masa muda saya untuk mengeksplore hal-hal baru yang belum pernah saya lakukan. Biar bisa menambah pengalaman sekaligus menempa mental. Soal rejeki biar Tuhan yang atur deh. Biarpun gajinya pas-pasan yang pasti saya senang menjalaninya. Daripada gaji tinggi tapi ujung-ujungnya makan hati yang pada akhirnya jadi penyakit. Â Â
Pengalaman di Papua
Dukanya yah itu, jauh dari sahabat dan keluarga saya di Sulawesi, biaya hidup yang lumayan gede ketimbang di Sulawesi dan tak kalah seru bahwa saya harus beradaptasi dari titik nol lagi karena ada beberapa model pergaulan yang cukup berbeda dengan lingkungan saya dahulu di Makassar.
Semenjak menimba pengalaman di Papua, pikiran saya tentang Papua mulai terbuka. Apa yang saya pikirkan selama ini tentang Bumi Cendrawasih ternyata sangat beda dengan apa yang saya rasakan, alami, dengar dan lihat dengan mata kepala sendiri. Saya sempat tertipu dengan narasi-narasi media tentang seramnya Papua. Pada kenyataannya orang-orang Papua humanis kok. Mereka tulus dalam menjalin pertemanan sekalipun orang tersebut seorang pendatang termasuk saya ini.
Proses Adaptasi di Papua yang Cukup Sulit
Beberapa teman saya memutuskan kembali ke daerah asalnya karena tidak tahan dengan kehidupan di daerah ini. Hal ini karena kebanyakan dari mereka merasa tidak betah akibat suasana lingkungan pergaulan. Mereka terjebak dengan mindset yang kerdil dimana mereka mengganggap orang Papua itu seram. Ada yang bilang dari tatapannya saja sudah ngeri, belum lagi  kadang mereka jumpai ada yang  suka suara-suara besar (gertakan).
Hal yang saya temukan malah berbanding terbalik. Teman-teman saya ini hanya beramsumsi saja dimana mereka melihat dari tampilan luar saja padahal sesungguhnya nyaman diajak berinteraksi. Saya punya teman yang tergolong suka mabuk atau suka suara-suara besar tapi tak pernah mengganggu sembarang orang kok. Ada kalanya mereka menawarkan minuman sekadar untuk menghargai keberadaan kita saat itu. Yah, kembali pada  dari diri masing-masing mau terima atau tidak.Â
Menolak pun tak apa-apa, mereka santai saja kok. Sepanjang saya di Papua, mereka tak pernah berlaku rese atau biacara dengan suara besar kepada saya. Intinya tergantung bagaimana kamu membawa diri dalam lingkungan pergaulan aja.
Curhatan Selama di Papua
Dalam hati sempat terbesit ingin seperti  teman-teman saya yang berkiprah di Pulau Jawa, Sumatera , Kalimantan, dan Sulawesi yang sudah menikmati penghasilan lebih, bisa masuk keluar hotel ternama, hangout di tempat yang berkelas, ikut pelatihan kerja dengan pemateri yang keren-keren, dapat gaji yang lumayan gede yang bisa digunakan modal usaha apalagi modal nikah. Tapi saya memutuskan tetap bertahan disini. Emang sih pas-pasan banget kehidupan saya di Papua, tapi yang menjadi kekuatan saya adalah pengalaman, inspirasi dan pengetahuan baru yang saya dapatkan di kawasan yang saat ini dipimpin oleh Bapak  Lukas Enembe.
Apalagi kalau mendapat jatah kunjungan ke daerah pedalaman, saya menemukan hal-hal baru yang saya tidak temui di daerah perkotaan diantaranya bagaimana semangat masyarakatnya menghadapi keterbatasan air bersih dan masih bergantung pada air hujan, terkendala komunikasi karena jaringan provider yang belum merata, kesulitan menemukan fasilitas transportasi dan masih banyak lagi.
Jika teman-teman adalah tipe yang orientasi materi lalu kamu memilih Papua kayaknya mindset tersebut perlu dikoreksi deh terkecuali jika memilih bekerja dibawah naungan perusahaan tambang Amerika itu. Â Â
Yang saya tangkap selama berada disini bahwa masyarakat Papua itu orangnya ramah-ramah, humanis dan cenderung polos tapi bagi saya itu sesuatu yang baik karena mereka menampilkan sesuatu yang naturan. Senyum orang-orang Papua itu tulus banget jadi tidak tega deh kalau sampai ada yang khianati kepercayaan mereka pada orang-orang yang didapuk bisa mewakili aspirasi mereka. Perlahan tapi pasti saya membangun jalinan pertemanan dengan mereka dan mereka senantiasa mendampingi saya dalam  mengarungi suatu pengalaman yang baru dalam menemukan hal-hal baru dan unik di Papua.
Demonstrasi Tanpa Kajian Mendalam
Bicara namun tak sesuai dengan keadaan yang benar-benar terjadi di Papua. Alangkah bijaknya jika sebelum mengkritis sesuatu, coba gali informasi dari media atau orang yang terpercaya. Jangan ngotot-ngototan katakan ini katakan itu ternyata sumber datanya dari media yang tidak kredibel. Sekedar referensi, teman-teman bisa menjadikan rujukan Tabloidjubi.com atau Tirto, Salampapua, harianpapua  atau kalau mau lebih dekat lagi yang dirasakan warganya, bisa membaca laporan jurnalisme warga yang ada di  media jurnalisme warga seperti Indonesiana atau Kompasiana.
Saya merasakan apa yang ada dalam benak kalian kok, toh saya juga  pernah rasakan yang namanya menjadi mahasiswa yang suka mengkritisi keputusan organisasi, kampus hingga pemerintah. Gini-gini, saya juga pernah duduk jadi  pengurus BEM di Organisasi Kemahasiswa loh sebagai pemegang pucuk  bidang Kewirausahaan. Walaupun bergerak di bidang finansial, pola pikir saya tak melulu tentang pengelolaan dana tapi juga hal-hal yang berkaitan dengan bidang lain.Â
Hal ini karena seringnya saya ngumpul ama teman-teman yang punya pola pikir sealiran dengan Sok Hok Gie, Che Guevara dan Soekarno. Saya sedikit cerita dikit tentang hal ini karena khawatir kalian nanti berpikir bahwa  saya hanyalah mahasiswa yang kerjanya mantengin buku terus dan menutup mata terhadap keeksistensian mahasiswa dan organisasi kampus.
Adapun manfaat yang saya dapatkan adalah  membentuk pikiran kritis dan idealisme kayak kalian-kalian. Dulunya kalau pikir campur tangan asing pasti langsung pikirannya negatif. Asal tahu saja ya, saking anti asing, saya baru menginjakkan kaki di salah satu restoran nirbala milik Amerika kala sudah 3 tahun berada di Makassar.Â
Saya juga dulu berpandangan bahwa apa yang dilakukan pemerintah semata-mata untuk kepentingan golongan dan partainya saja. Namun seiring waktu, paradigma saya berubah. Melihat permasalahan bukan dari satu sisi saja tapi dari sisi lain juga itu perlu sehingga kita bisa bijak menyikapinya.
Menatap Aksi Solidaritas Mahasiswa terhadap Presiden Jokowi
Gini aja deh, jika ingin tahu seberapa besar dedikasi beliau untuk Papua, minimal, kalian bisa cari referensi data mengenai siapa Presiden Indonesia yang paling banyak membawa kemajuan bagi Papua. Coba bandingkan satu persatu deh, pasti kalian akan tercengang setelah mendapat hasilnya.  Oh, masih kurang? Coba deh datang ke Papua dan tanya warganya  mengenai kepemimpinan presiden siapa yang membawa  perkembangan besar bagi  Papua.  Atau masih kurang lagi? Coba  buka referensi data Papua dalam angka yang dilansir  Badan Pusat Statistik (BPS) Papua lalu bandingkan kemajuan dari tahun ke tahun. Â
Sekadar informasi  tambahan lagi ya, dari sekian Presiden yang telah memimpin, Pakde Jokowi adalah presiden yang paling banyak bertandang ke Papua loh. Tercatat sudah lima kali sejak beliau memerintah. Sudah menjadi rahasia umum jika beliau itu dalam jiwanya sudah mendarah daging untuk melakukan blusukan yang tujuannya untuk memantau langsung perkembangan pembangunan di Papua. Beliau tak percaya laporan-laporan yang masuk ke mejanya tapi ingin langsung mengkrosceknya. Ini dilakukannya demi menjalankan kepercayaan masyarakat Papua  yang sudah memilihnya.
Kritisi Freeport Tanpa Ampun
Saya tak bermaksud bela perusahaan tambang emas terbesar ini, apalagi mau berharap imbalan. Saya hanya ingin mengajak para mahasiswa untuk menganalisis dengan bijak. Namanya korporate, pasti keberadaannya pro dan kontra dan ada plus minusnya. Tapi kalau kalian bilang PTFI itu sangat jahat, itu tidak sepenuhnya benar. Tak dipungkiri hasil limbahnya memang merusak lingkungan, tapi mereka mempertanggungjawabkan kok dalam bentuk CSR dengan menggelontorkan dana cukup besar. Â Â
Tak hanya itu, mereka membiayai fasilitas kesehatan secara gratis bagi masyarakat  Papua, gelontoran dana beasiswa bagi pelajar, memberi bantuan pembiayaan modal usaha, bermitra dengan pemerintah daerah melakukan  pembangunan instrastruktur dan pemukiman di berbagai wilayah seperti yang terlihat di daerah Otakwa. Belum lagi  mereka menerapkan standar keselamatan berstandar internasional yang sangat ketat bagi karyawannya.  Kalau soal divestasi saham itu, saya belum berani bicara hal itu karena masih simpang siur bagaimana bentuk implementasinya ke depan .Â
Kalau soal pembagian saham yang adil bagi Indonesia, Â saya sepakat dengan aksi mahasiswa untuk menuntut kejelasannya sehingga jelas bagaimana komitmen pemerintah pusat, pemerintah daerah dan perusahaan asing milik Amerika tersebut dalam memajukan Papua.
Mengurai Masalah Papua Secara Bijak
Ibarat dalam film animasi Dragon Ball, kita mesti mengumpulkan ketujuh bola Dragon Ball untuk menyelesaikan satu permasalahan. Begitu juga dalam menyelesaikan suatu permasalahan Papua, setidaknya ada tujuh elemen sosok yang diperlukan untuk mengurai jalan keluar. Ada perwakilan dari pemerintah setempat, tokoh adat, tokoh masyarakat (perwakilan pemuda dan wanita), kepala kampung, kepala suku, aparat keamanan, dan tokoh agama. Sinergi ketujuh elemen inilah yang mampu mengurai permasalahan yang melanda negeri di Bumi Cendrawasih ini.
Menyelesaikan permasalahan Papua bukan hanya dengan menggelontorkan dana sebanyak-banyaknya untuk pembangunan. Tak kalah penting adalah sumbangsih ilmu pengetahuan dan pengalaman yang bisa dibagikan kepada generasi mudanya. Dengan begitu, Â pola pikir mereka selangkah demi selangkah maju dan kelak bisa menjadi putra daerah yang membebaskan daerahnya dari jurang ketertinggalan dan keterpurukan.Â
Semua gudang masalah ini hanya bisa diselesaikan dengan kepala dingin, musyawarah dengan banyak pihak, melibatkan tatanan hukum, kearifan lokal, pertimbangan budaya dan lain sebagainya.
Penutup
Misalnya gini, sekalipun diberikan rumah yang bagus berupa perumahan tapi mereka tak bisa berkumpul dengan keluarga, tak bisa bercocok tanam atau melaut, yah mereka gak bakalan betah.
Hal ini karena jiwa mereka sebagai petani atau nelayan sudah mendarah daging dalam hidupnya. Belum lagi ada tanah ulayat yang merupakan warisan adat yang mesti mereka jaga karena merupakan titipan dari nenek moyang mereka. Bagi mereka, hidup itu simpel aja. Asal mereka hidup sehat, Â bisa berinteraksi dengan keluarga dan kerabatnya, itu sudah cukup.
Saya menunggu kedatangan teman-teman mahasiswa di Papua untuk menguji sebatas mana rasa idealisme, melihat dengan dekat segudang masalah yang membelit negeri ini, bagaimana semangat masyarakatnya bangkit dari keterpurukan. Mari ke Papua dan rasakan sensasinya. Ada banyak pengalaman-pengalaman baru dan cerita-cerita seru yang menunggu kalian di sini.
Penulis:
Heriyanto Rantelino, Anak Muda  Timika, Papua.
Facebook: Heriyanto Rantelino
Kontak HP/ Â Whatsapp: 085242441580
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H