Bagaimana mungkin bisa keluar kata-kata setenang itu dari orang yang baru saja kutindih dan hampir kupukuli mukanya? Bagaimana mungkin pada akhirnya orang itu mau meminjamiku Rp 100 juta dengan syarat yang sedemikian mudah: tinggal tiga hari di hotelnya, lalu menuliskannya dalam sebuah esai saja? Tiba-tiba ingat Edi Palmerah, teman lama yang sekarang jadi jurnalis di Suara Lutherian. Nanti malam atau besok akan kutanyakan pendapatnya. Pengalaman puluhan tahun menjadi jurnalis telah mengasah kemampuan analisisnya, terutama terkait motif-motif tersembunyi manusia.
Pelayan restoran membawakan 2 gelas es teh manis dan segelas jus alpukat dan meletakkannya di meja kami. Pelayan yang sama, yang tadi berkomentar tentang kursi kepiting. Papan namanya terbuat dari bahan mengkilat berwarna keemasan. Andre/Trainee.
"Apa yang dimaksud Mas Andre dengan semua kursi dipaku ke lantai?" tanyaku hati-hati.
"Oh, iya Pak Macan, semua kursi di restoran ini, termasuk mejanya dipaku ke lantai."
"Tetapi tadi pagi..." kataku sambil menunjuk kursi yang tadi pagi diduduki Arif, "aku yakin sekali, kursi itu sempat terguling."
Wajah Andre menyiratkan kebingungan. "Kursi itu juga dipaku, Pak..."
Kudatangi kursi itu dan kuteliti baik-baik. Sama seperti kursi di meja kami, kursi itu juga dipaku ke lantai. Keempat kakinya sangat kokoh. Pakunya pun tidak tampak baru, bahkan sudah berkarat. Benar-benar aneh. Tetapi pelayan itu sudah berlalu dari meja kami ketika aku bermaksud menanyainya lebih lanjut. Â Â
Nindy sudah berhenti dari kegiatannya mengamati mobil-mobil yang melintas. Sekarang ia sedang membantu si Lima Tahun yang lebih tertarik dengan jus alpukat ketimbang es teh manis miliknya. "Ada apa dengan kursinya, Can?"
Aku tertawa kecil sambil mengangkat bahu, "Hanya merasa aneh saja, Nin. Tadi pagi, kaki kursinya bisa terangkat, tapi sekarang sudah terpaku erat ke lantai."
"Pasti pakunya terlepas, dan kemudian dipasang lagi oleh mereka..."
Mungkin memang seperti itu, "Tapi kenapa harus dipaku, ya?" tanyaku retoris.