“Biar ku buat mati kau.!!” teriak Basran sembari lari kedapur. Di dapur bunyi berhamburan terdengar. Tampaknya Basran sedang mencari sesuatu.
Rini bangkit dan memburunya. Sambil menangis terisak-isak ia memohon kepada suaminya untuk menyudahi pertengkarannya. Kasihan anak-anak yang ketakutan, seru Rini.
Basran tak menggubrisnya. Ia keluar dari dapur. Tangan kananya menghunuskan parang Lais khas daerah Kandangan. Parang yang biasanya digunakan untuk memotong kayu. Rini merenggut kaki suaminya. Menangis menggelijang. Terseret-seret.
“Sini…!!! Biar ku belah kau punya wajah. Dasar Sial!! Orang tua tak tahu diri! Ikut campur!! Setan, mati saja kau ini!!”
Basran terus mendekat namun secepat kilat tetangga yang mendengar keributan itu segera masuk kedalam. Para pria segera menangkap Basran. Menenangkannya. Sementara tetangga perempuan mendekap Rini dan ketiga putrinya yang shok karena keributan itu.
Bidin sendiri dilindungi salah seorang tetangga. Dengan masih memegang bagian perutnya yang sesak, ia mencoba bangkit.
Basran berkoar-koar seperti seorang kesurupan.
“Sial!!! Pergi kau!! Awas kau kesini lagi!!! Dasar setan!!!”
Pada sebuah gang kumuh itu akhirnya malam kian mengeruh.
*
Seminggu berlalu, sambil menguap Bidin melangkahkan kakinya menuju keramaian untuk mencari ruang kosong di Taman Seroja. Belakangan tidurnya tak enak karena harus pindah dari satu masjid ke masjid lainnya.