Mohon tunggu...
HERI HALILING
HERI HALILING Mohon Tunggu... Guru - Guru

Heri Haliling nama pena dari Heri Surahman. Kunjungi link karyanya di GWP https://gwp.id/story/139921/perempuan-penjemput-subuh https://gwp.id/story/139925/rumah-remah-remang https://gwp.id/story/139926/sekuntum-mawar-dengan-tangkai-yang-patah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pion Langit

11 Agustus 2024   21:29 Diperbarui: 11 Agustus 2024   21:30 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Amang catur! Di situ sudah ada orangnya?” katanya sambil melotot.

Bidin terkejut. Mengapa harus melotot pikirnya. Pedagang bakso itu bernama Junay. Dia kemarin yang sok mewakili pedagang. Dia berjualan belum lama. Jauh Lebih senior Bidin. Badannya hitam, bertato dan wajahnya garang.

“Junay, aku jualan juga tahu situasinya. Kau lihat sendiri bukan? Ini sudah jam setengah 5. Yang tempatnya aku pakai ini, tentu orangnya tidak datang. Jadi biarlah aku yang tempati”

 “Sudahlah Junay” tegur pedagang lain. “Biarkan beliau berjualan di situ. Beliau lebih senior dari kita. Paman Bidin telah berjualan di Pasar Tungging sejak baru diresmikan. Jauh sebelum kita.”

“Hei kau diam aja” pelotot Junay. “Pokoknya kita harus ikut aturan. Repot aku nanti jika ketahuan Parawisata”

 “Hei Paman!?” kata isteri Junay. “Kami berjualan banyak, juga sesuai dengan sewa yang kami bayar!”

“Sudahlah Mang!? Mundur saja. Kau yang seusia ini tak mungkin paham walau ku jelaskan. Cari tempat lain. Jangan di sekitar sini?” Junay mencoba mengusir.

“Kurang sopan kau Junay. Rezeki bukan kau yang atur.”

Junay berkacak pinggang. Pedagang di sekitar hanya diam. Mereka pun kasihan melihat Bidin. Tapi juga mereka tahu siapa Junay. Rumahnya dekat dengan Taman Seroja. Junay juga banyak akrab dengan kelompok parkir taman yang diketahui juga merangkap sebagai preman. Bagi Bidin yang kalah segalanya. Tentu ia pun merelakan sore itu. Bidin pulang setelah sebelumnya berusaha mencari tempat namun telah penuh sesak oleh pedagang lainnya.

*

Bidin mengulum lelah di teras rumahnya. Ia tak habis pikir sore itu. Sedemikian jadi rakusnya hingga tak peduli bahwa sesama pedagang seharusnya ada solidaritas. Menurut beberapa sumber dari pedagang lainnya. Banyak juga pedagang yang kesal dengan ulah Junay. Dia itu pedagang dan tidak seharusnya berlagak demikian. Isu merebak yang sampai di telinga Bidin adalah bahwa ia sudah ada kerjasama dengan dinas untuk menertibkan pedagang. Bidin menggeleng heran. Bagaimana ia mau dijunjung ketika perangainya sendiri kurang patut untuk ditiru. Wataknya yang emosional dan caranya berdagang yang seolah sebagai penguasa itu tentu berdampak buruk pada suatu hari nanti. Bidin memikir. Junay berdagang bersama keluarga dan lapaknya lebih dari satu, apa itu yang namanya tertib. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun