“Maksud kau, aku ini pilih-pilih!”
Sejurus kemudian…
Plakkkk!!!!
Terdengar keras sebuah tamparan yang sebelumnya didahului oleh bunyi gelas pecah.
Bidin kaget bukan main. Ia berdiri. Dengan masih lelah dan berjalan kurang tegak ia menghampiri asal suara itu. Di ruang tengah yang terbatas ukurannya itu, Bidin melihat Rini tersungkur menangis sembari merangkul ketiga anaknya. Pipinya merah, bahkan ada darah di sudut bibirnya.
“Kau selalu saja membantahku. Isteri sialan! Nggak tahu diuntung!” teriak Basran sembari kacak pinggang.
“Cukup Basran! Cukup!” Bidin menengahi.
“Sudah kelewatan perangaimu! Kau kira aku tak tahu. Aku percaya kau adalah kepala rumah tangga yang baik. Mampu ayomi adikku. Tapi…” Bidin menunjuk wajah Basran yang nyalang. “Perangaimu itu masih jua tak ubah. Apa yang kau buat di Kampung Pisang tempo kemarin. Apa Hah! Apa! Kau untal jennet lagi bukan!! Itu kan kerjaanmu.. sudah kawin kau masih dungu seperti dulu! Ingat anak-anakmu itu perlu makan!”
“Nggak usah ngajari aku!” balik membentak. “Kau sebagai abang sama sekali juga tak paham. Sudah hancur kau punya bini masih tak punya malu kau numpang adikmu! Cihh…Keparat!! ini keluargaku. Sebebas aku mendidiknya. Kau nggak usah ikut campur. Urus dirimu! Bekerja haram saja kau banggakan!”
“Ditata kau punya mulut!”
Rini teriak minta berhenti sambil menangis sejadi-jadinya. Bidin berkelahi dengan Basran. Mereka saling pukul, saling tendang. Namun karena beda fisik. Bidin akhirnya tersungkur. Ia meringis menahan sesak bagian perut sebelah kanan karena kena tendangan.