Ketika aparat tak kunjung menemukan sepeda motornya yang hilang, Arya sangat geram. Dadanya bergemuruh, seperti gunung yang ingin memuntahkan lahar panas. Ia sangat marah. Ini kali ke dua sepeda motornya raib digasak pencuri. Dan, dua kali pula usaha pencariannya tak membuahkan hasil.
"Bedebah!. Pencuri itu harus diberi pelajaran!" Â batinnya dengan raut muka memerah.
Di sebuah warung kopi tempat Arya biasa berkumpul, ia berkata pada teman-temannya.
"Kawan-kawan, sudah banyak korban pencurian di kampung kita. Kita tak boleh tinggal diam. Kita harus buat pencuri itu jera. Jika nanti ada yang memergoki dia kembali beraksi, kita semua harus bergerak. Siaap?"
"Siaap!", teman-temannya menyambut dengan pekikan dan kepalan tangan ke atas.
"Kita harus tangkap pencuri itu dan jangan dulu dilaporkan ke aparat."
 "Lalu apa  rencanamu, Arya?" tanya Wawan yang juga pernah kehilangan ayam jago peliharaannya.
"Memberinya pelajaran. Kalau perlu kita  kirim pencuri itu ke neraka."
"Jangan gegabah, Arya. Itu namanya main hakim sendiri. Serahkan saja pada yang berwajib." timpal Sandi, mengingatkan.
"Persetan! Apa kita akan terus membiarkan dan menunggu barang-barang milik kita  disikat habis? Jangan berharap banyak pada aparat, karena untuk itu juga perlu uang. Kalau perlu kita selesaikan semua ini dengan tangan kita sendir."
"Betul.. setuju.. " sahut beberapa orang hampir serempak.
"Tidak semua aparat seperti itu. " Sandi berkata lagi.
"Itu kenyataan, bro. Dua motorku hilang, sampai sekarang tak terdengar kabarnya. Aku harus puas ditukar dengan selembar surat kehilangan."
"Ya, aku hanya mengingatkan saja." Sandi menutup pembicaraan.
*
Di suatu sore selepas ashar, terdengar suara ribut  di sebuah kelokan jalan menuju kampung sebelah.
"Saya bukan maling, pak. Saya tidak mencuri." seorang pemuda usia duapuluhan tahun dengan suara panik memohon sampai bersujud tengah dikerumuni banyak orang.
"Bohong. Mana ada maling ngaku?" salah satu orang di kerumunan itu berteriak keras.
"Hajaar..!!!"
"Ampun pak. Kasihani saya pak. Istri saya sedang hamil. Anak saya masih kecil pak. Tolong, saya bukan maling."
Orang-orang tak percaya. Bahkan suasana semakin panas. mencekam. Muka orang-orang seperti serigala lapar yang ingin menerkam dan memakan mangsanya. Â Teriakan orang-orang semakin memprovokasi. Pemuda itu ketakutan bukan kepalang, lalu mencoba kabur dengan berlari secepatnya. Tapi apa daya, massa makin beringas dan merangsek beramai-ramai. Mereka mengejar pemuda hingga terjatuh. Saat terjatuh itulah, ia dihujani amukan bertubi-tubi.
"Ampun pak. Aduuhh. Ampuuuun." teriak anak muda yang disangka maling itu. Orang-orang sudah kalap, seperti dirasuki setan mereka berebut menendang, memukul, membanting. Yang paling sadis, ketika ada yang membawa batu bata lalu dikeprukkan ke kepala pemuda itu.
Seketika ia tersungkur, darah bercucuran dari kepala mengalir membasahi tubuhnya dan sebagian menetes di jalanan.
Tak puas dengan itu, seseorang menyelinap masuk dalam kerumunan, membawa sebuah jerigen ukuran 5 liter. Dia menyiramkan isinya ke seluruh tubuh pemuda yang sudah tak berdaya namun masih dalam keadaan sekarat. Sesaat kemudian terdengar letupan korek api, dan... wusss, api menyambar tubuh pemuda yang sudah disiram bensin. Terjadilah pemandangan yang sangat mengerikan. Sekujur tubuh pemuda itu dilalap api, makin lama makin besar dan berkibar-kibar. Nampak tubuhnya menggeliat lemah, kesakitan. Erangannya masih terdengar lirih dan makin lama makin hilang. Â Diam. Pemuda itu mati dengan tubuh menjadi arang. Orang-orang sekitar seperti makhluk-makhluk zombie. Seperti monster-monster yang sengaja diciptakan untuk membunuh. Monster-monster yang hatinya sudah diganti dengan chip yang ditanam dalam jantungnya, lalu sang profesor tinggal mengeksekusi dengan tombol enter. Jadilah mereka mesin pembunuh.
Tamatlah hidup seorang pemuda yang dituduh mencuri itu, tapi tidak dengan keluarga yang ditinggalkannya.
*
Esoknya beredar kabar di media, bahwa pemuda itu bukan pencuri di mushola. Barang yang dia bawa adalah miliknya sendiri, dan barang yang disangka hilang masih utuh di tempatnya.
Orang-orang gemas dan geregetan mendengar berita ini. Ungkapan kemarahan, kekesalan dan umpatan tumpah di media sosial. Ada sumpah serapah, kutukan, dan bullyan terhadap para pelaku pembakaran. Ada yang membuat petisi, ada yang menggalang dana dan berbagai macam cara orang menunjukkan empati.
Keesokan harinya, polisi mendatangi rumah Arya. Ia digiring ke kantor polisi. Dari hasil penyelidikan didapatkan bahwa Aryalah saksi kunci satu-satunya. Tapi ia tetap berkilah, bahwa apa yang terjadi adalah kewajaran yang patut didapatkan dari seorang pencuri. Ia tak ikut memukuli dan tangannya bersih dari noda pembunuhan itu. Dendam dan kekesalannya sudah terbayar lunas. Tapi semua alibi dan alasan yang disampaikannya pada aparat, tak bisa melunakkan atau membatalkan proses hukum. Bahkan, ia harus siap jika statusnya naik menjadi tersangka.
Arya hanya bisa pasrah. Terlampiaskan sudah semuanya, walau nyawa dan kemanusiaan harus turut terbakar. Marah yang memerah membuat semuanya gelap. Marahnya telah menjadi api yang memantik daun-daun dan ranting-ranting  kering di musim kemarau yang terik. Hanya cukup satu kata untuk membuatnya menjadi arang dan abu, sebuah kata yang mungkin akan dikenangnya di dalam terali besi.
"Maliiiiiiiiiiiiingg ...."
**
Jakarta, 11 Agustus 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H