Seketika ia tersungkur, darah bercucuran dari kepala mengalir membasahi tubuhnya dan sebagian menetes di jalanan.
Tak puas dengan itu, seseorang menyelinap masuk dalam kerumunan, membawa sebuah jerigen ukuran 5 liter. Dia menyiramkan isinya ke seluruh tubuh pemuda yang sudah tak berdaya namun masih dalam keadaan sekarat. Sesaat kemudian terdengar letupan korek api, dan... wusss, api menyambar tubuh pemuda yang sudah disiram bensin. Terjadilah pemandangan yang sangat mengerikan. Sekujur tubuh pemuda itu dilalap api, makin lama makin besar dan berkibar-kibar. Nampak tubuhnya menggeliat lemah, kesakitan. Erangannya masih terdengar lirih dan makin lama makin hilang. Â Diam. Pemuda itu mati dengan tubuh menjadi arang. Orang-orang sekitar seperti makhluk-makhluk zombie. Seperti monster-monster yang sengaja diciptakan untuk membunuh. Monster-monster yang hatinya sudah diganti dengan chip yang ditanam dalam jantungnya, lalu sang profesor tinggal mengeksekusi dengan tombol enter. Jadilah mereka mesin pembunuh.
Tamatlah hidup seorang pemuda yang dituduh mencuri itu, tapi tidak dengan keluarga yang ditinggalkannya.
*
Esoknya beredar kabar di media, bahwa pemuda itu bukan pencuri di mushola. Barang yang dia bawa adalah miliknya sendiri, dan barang yang disangka hilang masih utuh di tempatnya.
Orang-orang gemas dan geregetan mendengar berita ini. Ungkapan kemarahan, kekesalan dan umpatan tumpah di media sosial. Ada sumpah serapah, kutukan, dan bullyan terhadap para pelaku pembakaran. Ada yang membuat petisi, ada yang menggalang dana dan berbagai macam cara orang menunjukkan empati.
Keesokan harinya, polisi mendatangi rumah Arya. Ia digiring ke kantor polisi. Dari hasil penyelidikan didapatkan bahwa Aryalah saksi kunci satu-satunya. Tapi ia tetap berkilah, bahwa apa yang terjadi adalah kewajaran yang patut didapatkan dari seorang pencuri. Ia tak ikut memukuli dan tangannya bersih dari noda pembunuhan itu. Dendam dan kekesalannya sudah terbayar lunas. Tapi semua alibi dan alasan yang disampaikannya pada aparat, tak bisa melunakkan atau membatalkan proses hukum. Bahkan, ia harus siap jika statusnya naik menjadi tersangka.
Arya hanya bisa pasrah. Terlampiaskan sudah semuanya, walau nyawa dan kemanusiaan harus turut terbakar. Marah yang memerah membuat semuanya gelap. Marahnya telah menjadi api yang memantik daun-daun dan ranting-ranting  kering di musim kemarau yang terik. Hanya cukup satu kata untuk membuatnya menjadi arang dan abu, sebuah kata yang mungkin akan dikenangnya di dalam terali besi.
"Maliiiiiiiiiiiiingg ...."
**
Jakarta, 11 Agustus 2017