"Bukankah sudah papa jelaskan berkali-kali? Tak ada yang salah dengan poligami. Lagi pula papa bisa mencukupi kebutuhan lebih dari satu istri. Bahkan empat istri sekali pun papa sanggup. Dan sekali lagi itu dibolehkan, bahkan dianjurkan jika mampu."
"Poligami bukanlah soal salah atau benar. Tapi tujuannya apa? Lagi pula apakah papa yakin bisa berbuat adil ? Apalagi jika tujuan papa hanyalah sebatas kenikmatan."
"Adil? Jangankan papa, nabi saja pun sempat membuat cemburu salah satu istrinya. Adil itu relatif. Â Tapi yang jelas, poligami adalah sebuah jalan dan jalan ini yang akan papa tempuh apapun konsekwensinya."
"Hiks... mama tetap tidak rela!"
"Terserah. Rela atau tidak rela, yang jelas tanggungjawab papa sebagai suami yang wajib menafkahi istri sudah lebih dari cukup. Kalau mama merasa keberatan, tidak apa-apa."
"Egois.. "
"Itu menurut mama."
"Ingat, pa. Atas nama apapun apa yang akan papa lakukan, faktanya papa telah menyakiti mama. "
Keduanya sama-sama keras. Â Tak ada yang mau mengalah. Lalu suasana senyap menghentikan pertengkarannya. Si suami keluar rumah malam itu dengan masih membawa sekeranjang emosi yang tersisa. Malam pun senyap.
**
Satu minggu setelah pertengkaran, rumah besar itu semakin sepi. Tak lagi ada romansa seperti bulan-bulan September sebelumnya. Si suami telah pindah ke lain hati. Hatinya sepenuhnya untuk istri muda yang usianya terpaut jauh dengan istri yang baru saja diceraikannya. Mantan istrinya tetap tinggal di rumah lama, tapi tetap saja ada yang hilang. Kasih sayang dan figur seorang papa telah tiada. Sesungguhnya bukan tentang ada dan tiada yang membuatnya menyakitkan, tapi tentang alasan ketiadaannya.