Mohon tunggu...
Heri Purnomo
Heri Purnomo Mohon Tunggu... Administrasi - nothing

-

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[RoseRTC] Kisah Sepasang Love Bird

16 September 2016   15:52 Diperbarui: 16 September 2016   18:28 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ini bulan September, suamiku."

"Benar sayang, lalu kenapa?"

"Tidakkah, kau  ingin melakukan sesuatu? "

"Hmmm.. melakukan sesuatu. Seperti apa?"

"Ya.. mengucapkan kata-kata romantis misalnya. ?"

"Aku tak bisa merangkai kata-kata indah, istriku. Jangan menuntut suamimu ini menulis puisi seperti manusia."

"Kalau begitu bagaimana kalau kau belikan sesuatu untuk istrimu ini sebagai hadiah bulan September yang kata orang-orang bulan yang ceria dan penuh romansa?"

"Kita tak perlu membeli sesuatu, istriku. Aku bisa terbang tinggi dan mencari makanan apa saja yang kita mau lalu membawanya pulang ke sarang. Coba lihat ini. Semua yang kubawa ini adalah kesukaanmu, buah pir, apel dan anggur sebagai nafkah spesialku hari ini. Alam sudah menyediakan semuanya tanpa perlu menukar dengan uang. Dan di tembolokku sudah kupenuhi air yang siap kauminum lewat paruhku. Juga untuk anak-anak kita yang beberapa hari lalu menetas dari telur-telurmu."

Aku tersenyum sembari kugetarkan kepalaku hingga bulu-bulu di kepalaku mekar. Sesekali aku mengangguk-angguk dan suamiku tahu kalau aku menyambutnya dengan senang hati.

"Terima kasih, suamiku. Kau selalu melakukan hal terbaik untukku juga anak-anak. Maafkan, aku terkadang iri dengan manusia. Rumah mereka besar-besar, mobil mereka bagus-bagus dan sering gonta-ganti. Makanan mereka sangat bervariasi. Dan setiap datang bulan September mereka selalu merayakan romansa. Mereka seperti sengaja membuatku iri. "

"Hehe..sungguh aneh, baru kali ini ada seekor burung punya rasa iri. Apa yang kau rasakan itu kalau dalam bahasa manusia adalah seperti melihat rumput tetangga. Selalu lebih hijau dan lebat dibanding rumput sendiri, kelihatannya. Padahal, kenyataannya tak selalu demikian, istriku."

"Hihihi... iya suamiku, maaf. Mungkin karena sekali waktu aku pernah merasa bosan menjadi seekor burung. Apalagi tinggal di sini, jauh dari tempat asal kita dahulu. Rasanya aku ingin kembali ke hutan Afrika, hidup bebas dari ancaman manusia yang menangkapi burung-burung untuk sekedar memuaskan kesenangan. "

"Haha.., istriku semakin mirip dengan manusia. Punya rasa bosan juga. " kata suamiku menggoda.

"Ih.. , suamiku. Sekali-kali boleh kan. "  jawabku sambil sedikit kesal saat suamiku meledek. Tapi aku tetap tertawa gembira dan bulu-bulu warna-warniku sengaja kukibas-kibaskan dengan maksud memamerkannya. Biasanya dengan cara itu suamiku bangkit birahinya. Ahai... Aku meloncat-loncat ke sana ke mari di antara dahan-dahan mahoni tempat kami membuat sarang dan menetaskan bayi-bayi love bird.

**

"Krompyaaanngggg.. ...... gubbraaak.... " terdengar suara peralatan dapur jatuh ke lantai. Aku terkejut, suara itu dari rumah pasangan suami istri yang tinggal tak jauh dari rumah kami, mungkin sekita 50 meter jaraknya. Dan suara berisik dari rumah besar itu akhir-akhir ini sering terjadi.

"Papa... piring-piring itu tidak bersalah, mengapa harus dibanting?"

"Sekali lagi papa ingatkan, mama adalah istri. Dan seorang istri wajib taat pada suami karena suami adalah pemimpin rumah tangga. Papa tahu yang terbaik. Tapi kalau mama tetap melawan suami,  artinya berpisah adalah jalan terbaik. "

"Astaghfirullah.. tega sekali papa katakan itu. Ingat pa, tak sempatkah kaupikirkan nasib anak-anak nantinya jika kita berpisah? Papa sudah sangat jauh berubah akhir-akhir ini. Papa egois, hanya memikirkan diri sendiri. Papa bukan lagi papa yang dulu kukenal, papa yang sering membuat hatiku berbunga-bunga saat bulan September tiba. Tapi, sekarang.... ??  hiks .. hiks..." derai tangis sang istri tak kuasa dibendung lagi. Dipeluknya si bungsu yang masih bayi. Terbayang ia hidup tanpa kasih sayang seorang papa lagi. Papanya ingin menikah lagi, dan itu seperti halilintar di siang bolong. Ia tak mau dimadu, karena itu menyakitkan. Setelah ia memberinya 4 buah hati selama 20 tahun perkawinannya, mengapa tiba-tiba kebahagiaan itu akan direnggut begitu saja? Tak berartikah waktu sepanjang itu?

Sang istri tetap tidak mengerti, mengapa ia harus menuruti apa mau suaminya? Padahal selama ini ia sudah berusaha melakukan hal terbaik untuk suaminya. Melayani kebutuhan setiap hari suami, memberinya anak. Dan ia merasa tak berwajah jelek, bahkan  bisa dikatakan di atas rata-rata kecantikan wanita pada umumnya. Lalu mengapa si papa tetap mau menikah lagi?

"Apa yang akan papa lakukan sudah dilakukan oleh banyak orang. Jadi bukan sesuatu yang dilarang. Bahkan disunnahkan oleh agama. Kalau mama tetap menentang rencana papa, itu artinya mama bukan istri yang taat pada suami. Paham?"

"Mudah sekali papa mengatakan itu. Tak perlu pemahaman untuk memahami ketidakadilan ini. Kalau mau jujur, sebenarnya tak ada wanita yang rela dimadu meskipun ada yang mengatakan ikhlas. Bisa jadi mereka ikhlas karena dibentuk oleh pemaksaan atau dogma yang sudah sekian lama dipropagandakan. Jika pun ada, tentunya papa juga bisa menenggang rasa betapa sakitnya menjadi orang yang dipaksa menerima. Apalagi papa tak punya alasan yang kuat sehingga papa merasa harus menikahi perempuan lain. Coba tunjukkan, apa alasan sesungguhnya papa mau menikah lagi?"

"Bukankah sudah papa jelaskan berkali-kali? Tak ada yang salah dengan poligami. Lagi pula papa bisa mencukupi kebutuhan lebih dari satu istri. Bahkan empat istri sekali pun papa sanggup. Dan sekali lagi itu dibolehkan, bahkan dianjurkan jika mampu."

"Poligami bukanlah soal salah atau benar. Tapi tujuannya apa? Lagi pula apakah papa yakin bisa berbuat adil ? Apalagi jika tujuan papa hanyalah sebatas kenikmatan."

"Adil? Jangankan papa, nabi saja pun sempat membuat cemburu salah satu istrinya. Adil itu relatif.  Tapi yang jelas, poligami adalah sebuah jalan dan jalan ini yang akan papa tempuh apapun konsekwensinya."

"Hiks... mama tetap tidak rela!"

"Terserah. Rela atau tidak rela, yang jelas tanggungjawab papa sebagai suami yang wajib menafkahi istri sudah lebih dari cukup. Kalau mama merasa keberatan, tidak apa-apa."

"Egois.. "

"Itu menurut mama."

"Ingat, pa. Atas nama apapun apa yang akan papa lakukan, faktanya papa telah menyakiti mama. "

Keduanya sama-sama keras.  Tak ada yang mau mengalah. Lalu suasana senyap menghentikan pertengkarannya. Si suami keluar rumah malam itu dengan masih membawa sekeranjang emosi yang tersisa. Malam pun senyap.

**

Satu minggu setelah pertengkaran, rumah besar itu semakin sepi. Tak lagi ada romansa seperti bulan-bulan September sebelumnya. Si suami telah pindah ke lain hati. Hatinya sepenuhnya untuk istri muda yang usianya terpaut jauh dengan istri yang baru saja diceraikannya. Mantan istrinya tetap tinggal di rumah lama, tapi tetap saja ada yang hilang. Kasih sayang dan figur seorang papa telah tiada. Sesungguhnya bukan tentang ada dan tiada yang membuatnya menyakitkan, tapi tentang alasan ketiadaannya.

Kisah tentang suami istri di rumah besar itu sungguh membuat kami turut bersedih. Andaikan itu terjadi pada keluargaku, aku bisa merasakan bagaimana sakitnya menjadi seorang istri yang ditinggal suami karena orang ke tiga.

Benar kata suamiku, rumput tetangga tak selalu lebih hijau. Padahal rumput sendiri bila rajin disirami dan sekali waktu dipupuk tentu akan hijau  pula. Dan bisa jadi lebih hijau dari rumput tetangga yang paling hijau.

Dan aku tiba-tiba merasa menjadi burung yang paling beruntung di dunia. Meski kami hanyalah seekor burung, tapi suamiku tak pernah menggoda burung betina lain selain aku. Mungkin karena kami tak memiliki ego.

Suamiku setiap hari pergi jauh dan pulang ke sarang dengan tak lupa membawa makanan. Aku bahagia, setiap hari aku dan anak-anaknya disuapi olehnya. Makan dan minum lewat paruhnya. Dan makanan yang dibawa suamiku selalu makanan-makanan yang terbaik. Itulah mengapa bulu-buluku selalu terlihat sangat menarik. Penuh warna-warni yang harmonis dan sejuk dipandang. Paduan warnanya mampu membuat siapa saja terpesona , apalagi manusia. Tak heran banyak yang rela merogoh kocek lebih dalam untuk memiliki kami, pasangan-pasangan love bird untuk dijadikan hewan peliharaannya.

Tapi sejujurnya aku masih belum paham tentang romantisme. Tak seharusnya aku iri pada manusia apalagi tentang romantisme bulan September. Sebab bagi love bird, semua bulan adalah September.

#1609cerpen

Karya ini diikut sertakan dalam rangka mengikuti event Romansa September RCT

logo : RTC
logo : RTC

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun