"Hihihi... iya suamiku, maaf. Mungkin karena sekali waktu aku pernah merasa bosan menjadi seekor burung. Apalagi tinggal di sini, jauh dari tempat asal kita dahulu. Rasanya aku ingin kembali ke hutan Afrika, hidup bebas dari ancaman manusia yang menangkapi burung-burung untuk sekedar memuaskan kesenangan. "
"Haha.., istriku semakin mirip dengan manusia. Punya rasa bosan juga. " kata suamiku menggoda.
"Ih.. , suamiku. Sekali-kali boleh kan. " Â jawabku sambil sedikit kesal saat suamiku meledek. Tapi aku tetap tertawa gembira dan bulu-bulu warna-warniku sengaja kukibas-kibaskan dengan maksud memamerkannya. Biasanya dengan cara itu suamiku bangkit birahinya. Ahai... Aku meloncat-loncat ke sana ke mari di antara dahan-dahan mahoni tempat kami membuat sarang dan menetaskan bayi-bayi love bird.
**
"Krompyaaanngggg.. ...... gubbraaak.... " terdengar suara peralatan dapur jatuh ke lantai. Aku terkejut, suara itu dari rumah pasangan suami istri yang tinggal tak jauh dari rumah kami, mungkin sekita 50 meter jaraknya. Dan suara berisik dari rumah besar itu akhir-akhir ini sering terjadi.
"Papa... piring-piring itu tidak bersalah, mengapa harus dibanting?"
"Sekali lagi papa ingatkan, mama adalah istri. Dan seorang istri wajib taat pada suami karena suami adalah pemimpin rumah tangga. Papa tahu yang terbaik. Tapi kalau mama tetap melawan suami, Â artinya berpisah adalah jalan terbaik. "
"Astaghfirullah.. tega sekali papa katakan itu. Ingat pa, tak sempatkah kaupikirkan nasib anak-anak nantinya jika kita berpisah? Papa sudah sangat jauh berubah akhir-akhir ini. Papa egois, hanya memikirkan diri sendiri. Papa bukan lagi papa yang dulu kukenal, papa yang sering membuat hatiku berbunga-bunga saat bulan September tiba. Tapi, sekarang.... ?? Â hiks .. hiks..." derai tangis sang istri tak kuasa dibendung lagi. Dipeluknya si bungsu yang masih bayi. Terbayang ia hidup tanpa kasih sayang seorang papa lagi. Papanya ingin menikah lagi, dan itu seperti halilintar di siang bolong. Ia tak mau dimadu, karena itu menyakitkan. Setelah ia memberinya 4 buah hati selama 20 tahun perkawinannya, mengapa tiba-tiba kebahagiaan itu akan direnggut begitu saja? Tak berartikah waktu sepanjang itu?
Sang istri tetap tidak mengerti, mengapa ia harus menuruti apa mau suaminya? Padahal selama ini ia sudah berusaha melakukan hal terbaik untuk suaminya. Melayani kebutuhan setiap hari suami, memberinya anak. Dan ia merasa tak berwajah jelek, bahkan  bisa dikatakan di atas rata-rata kecantikan wanita pada umumnya. Lalu mengapa si papa tetap mau menikah lagi?
"Apa yang akan papa lakukan sudah dilakukan oleh banyak orang. Jadi bukan sesuatu yang dilarang. Bahkan disunnahkan oleh agama. Kalau mama tetap menentang rencana papa, itu artinya mama bukan istri yang taat pada suami. Paham?"
"Mudah sekali papa mengatakan itu. Tak perlu pemahaman untuk memahami ketidakadilan ini. Kalau mau jujur, sebenarnya tak ada wanita yang rela dimadu meskipun ada yang mengatakan ikhlas. Bisa jadi mereka ikhlas karena dibentuk oleh pemaksaan atau dogma yang sudah sekian lama dipropagandakan. Jika pun ada, tentunya papa juga bisa menenggang rasa betapa sakitnya menjadi orang yang dipaksa menerima. Apalagi papa tak punya alasan yang kuat sehingga papa merasa harus menikahi perempuan lain. Coba tunjukkan, apa alasan sesungguhnya papa mau menikah lagi?"