Nasi sudah menjadi bubur. Kini, MAR sudah menjadi pelaku pembacokan. Dan, gurunya yang menjadi korban pembacokan karena kurangnya memahami paket sebab/masalah-konflik-akibat. Mungkin juga, gurunya belum lulus dalam kompetensi menjadi guru, yaitu pedagogis, kepribadian, sosial dan profesional.
1. Guru dibacok, adalah sebuah akibat
2. Tugas pelajaran, adalah sebab/masalah
3. Dilarang mengumpulkan tugas karena waktu sudah lewat
Dari analisis sebab/masalah, konflik, dan akibat, dapat ditelusuri dan diidentifikasi mengapa kisah pembacokan terjadi. Dari kisah peserta didik yang menjadi pelaku pembacokan, sudah diindentifikasi bahwa pelaku adalah peserta didik yang bermasalah dalam mengumpulkan tugas tepat waktu. Dari masalah ini, seharusnya di sekolah ada yang membantu, seperti guru Bimbingan Konseling (BK) misalnya. Mencari tahu akar masalah atau sebabnya peserta didik ini sebenarnya apa? Sehingga dalam hal mengumpulkan tugas sering tidak tepat waktu. Untuk masalah ini, kompetensi kepribadian dan sosial guru menjadi pertaruhan.
Bila pihak sekolah melalui guru dan BK saling bekerjasama, dapat menemukan akar masalah/sebab mengapa peserta didik memiliki tabiat atau hobi terlambat mengumpukan tugas, maka tidak akan pernah terjadi konflik. Tidak harus gurunya kukuh pendirian dengan batas waktu pengumpulan tugas, sementara di depan mata, ada peserta didik yang memang memiliki masalah yang justru pihak sekolah juga wajib membantu mengentaskan masalah peserta didik bersangkutan.Guru yang kompeten dalam penguasaan kepribadian dan sosial, tentu akan tahu latar belakang setiap peserta didiknya. Kemudian bila sudah tahu kepribadian dan kehidupan sosial peserta didiknya, maka secara profesional, seorang guru juga akan mampu menerapkan pedagogi kepada peserta didik berdasarkan kondisi nyata kepribadian dan kondisi sosial peserta didiknya.
Bila pihak sekolah melakukan pendidikan yang benar, tahu masalah peserta didik secara detail dari kehidupan pribadi dan sosialnya, maka sekolah melalui guru dan BK, tentu dapat membantu peserta didik yang bermasalah, menjadi tidak bermasalah. Peserta didik yang suka terlambat mengumpukan tugas, menjadi peserta didik yang selalu tepat waktu mengumpulkan tugas.
Artinya, masalah atau sebab yang sudah mendera siswa, yang memang seharusnya ditangani oleh sekolah, guru, dan BK, tidak akan meruncing menjadi konflik, karena sekolah, guru, BK tidak menangani dan melakukan pendekatan kepada peserta didik yang bermasalah tersebut.
Kompetensi guru, mutlak
Kisah pembacokan terjadi, karena sebab/masalahnya peserta didik belum mengumpulkan tugas sampai batas akhir waktu yang ditentukan guru. Bila, peserta didik ini sudah diidentifikasi sebagai peserta didik yang bermasalah dalam penyelesaian tugas, pasti ada sebab/masalahnya dalam kepribadian dan sosial. Nah, apa sebab/masalahnya itu, bila guru tahu dan membantu peserta didik jangan sampai tugasnya dikumpukan terlambat, tentu peserta didik akan tersentuh hatinya, senang karena gurunya perhatian terhadap masalah yang dihadapi, tidak sekadar menyoal tugas pelajaran. Tetapi bila peserta didik yang bermasalah ini justru tidak pernah dibantu masalahnya, tetapi guru tetap melakukan pola yang sama dalam program pengumpulan tugas, itu artinya guru sedang menciptakan konflik dengan peserta didik yang memang sudah bermasalah kepribadian dan sosialnya. Guru tidak kompeten dalam pedagogi, pun tidak profesional.
Ujungnya, pembacokan adalah ending dari kisah yang sudah dapat ditebak arahnya. Karena kisah serupa sudah banyak terjadi sebelumnya, peserta didik menganiaya guru, dan lainnya. Bila ditelusuri dan diidentifikasi, maaf, hal itu terjadi karena kompetensi guru yang lemah.