Kisah tragis mengguncang Demak. Lokasinya di Sekolah MA YASUA Ds. Pilangwetang, Kecamatan Kebonagung, Kabupaten Demak, seorang peserta didik melakukan pembacokan kepada guru yang mengakibatkan guru yang menjadi korban, menderita luka serius. Guru yang menjadi korban adalah Ali Fatkur Rohman, usia 41 tahun.
Namun, kurang dari 24 jam, polisi berhasil menangkap pelaku berinisial MAR. Pelaku ditangkap Senin (25/9) sekitar pukul 23.30 saat bersembunyi di sebuah rumah kosong di Desa Rowosari, Kecamatan Gubug, Grobogan, Jateng. Bersamaan dengan penangkapan pelaku, polisi juga menyita barang bukti berupa seragam sekolah warna putih dan celana panjang abu-abu yang dipakai membacok gurunya. Barang bukti lain, sepeda motor Supra X warna hitam nopol H 2241 BW dan arit yang dipakai pelaku untuk membacok.
MAR adalah peserta didik kelas X MA Yasua. Sebab tidak dapat mengikuti Ujian Tengah Semester (UTS) karena belum menyelesaikan tugas persyaratan kenaikan kelas, yang batas terakhir pengumpulannya Sabtu (23/9), tetapi korban menyatakan kepada pelaku sudah tidak dapat mengumpulkan tugas karena sudah terlambat masa waktunya. Akibat pernyataan itulah, korban melakukan balas dendam dengan membacok korban.
Selain itu, juga ada tambahan keterangan bahwa motif dari pembacokan guru ini, juga terjadi karena peserta didik dengan inisial MAR sering tidak masuk sekolah dan tidak mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh guru-guru. Karenanya, korban pun pernah memberikan nasihat dan teguran kepada pelaku terkait perilakunya. Atas teguran itu, pelaku sepertinya tidak terima. Bukannya teguran menyadari kesalahan dan mendengarkan nasihat dan teguran guru, MAR justru menaruh dendam, lalu mengambil tindakan yang sangat ekstrem.
Kapolsek Kebonagung mengungkapkan bahwa selama proses penanganan kasus pembacokan ini, situasi di sekitar sekolah dan TKP tetap aman dan tertib. Dan kasus ini segera diproses secara hukum.
Rendahnya pemahaman tentang sebab/masalah, konflik, akibat
Peristiwa pembacokan oleh peserta didik kepada gurunya, bila saya analisis berdasarkan pengalaman saya menjadi guru puluhan tahun, dapat disimpulkan bahwa baik guru mau pun peserta didik, belum cukup memahami tentang apa itu sebab/masalah, konflik, dan akibat. Lebih dari itu, sepertinya guru yang menjadi korban juga belum memahami betul tabiat peserta didik yang menjadi pelaku pembacokan. Bila guru memahami betul tabiat peserta didik yang menjadi pelaku pembacokan, bisa jadi kisah pembacokan tidak akan pernah ada.
Seburuk apa pun, senakal-nakalnya, sebandel-bandelnya, dan se-se yang lain, yang melekat pada peserta didik, sejatinya menjadi tugas guru untuk membuat perilaku peserta didik yang sikapnya buruk, dapat berubah menjadi baik. Peserta didik yang nakal, menjadi insyaf dan tidak nakal lagi. Peserta didik yang bandel, bertobat tidak bandel lagi. Peserta didik yang belum pintar, belum cerdas, berubah menjadi pintar, menjadi cerdas, menjadi kreatif, menjadi inovatif.
Berdasarkan pengalaman saya, menangani peserta didik yang perilakunya "tidak biasa, tidak wajar", harus disentuh hatinya. Harus didekati, dicari tahu apa sebabnya peserta didik menjadi berperilaku "tidak biasa, tidak wajar?"
Dengan demikian, masalah yang mendera peserta didik, bisa jadi karena pengaruh dari masalah di dalam keluarganya atau karena pengaruh di kalangan peserta didik lainnya atau pengaruh dari para gurunya atau pengaruh dari masyarakat sekitar peserta didik tinggal, dapat diidentifikasi oleh guru, lalu guru justru dapat membantu menyelesaikan masalah rumit yang dihadapi peserta didik.
Masalah rumit yang dihadapi peserta didik, tetapi guru tidak mau tahu atau tidak mencari tahu, sehingga peserta didik justru malah semakin bermasalah. Di antara masalahnya, semisal tidak dapat mengerjakan tugas sesuai waktu yang ditentukan, maka bila guru malah menambah beban masalah pada peserta didik, tentu ujungnya akan terjadi hal yang fatal, seperti kisah pembacokan itu.
Mengapa MAR sering tidak mengerjakan tugas? Mengapa MAR perilakunya tidak seperti peserta didik yang lain? Apakah bila MAR ditegur atau dinasihati dengan cara yang keras, akan membuat MAR sadar diri?
Nasi sudah menjadi bubur. Kini, MAR sudah menjadi pelaku pembacokan. Dan, gurunya yang menjadi korban pembacokan karena kurangnya memahami paket sebab/masalah-konflik-akibat. Mungkin juga, gurunya belum lulus dalam kompetensi menjadi guru, yaitu pedagogis, kepribadian, sosial dan profesional.
1. Guru dibacok, adalah sebuah akibat
2. Tugas pelajaran, adalah sebab/masalah
3. Dilarang mengumpulkan tugas karena waktu sudah lewat
Dari analisis sebab/masalah, konflik, dan akibat, dapat ditelusuri dan diidentifikasi mengapa kisah pembacokan terjadi. Dari kisah peserta didik yang menjadi pelaku pembacokan, sudah diindentifikasi bahwa pelaku adalah peserta didik yang bermasalah dalam mengumpulkan tugas tepat waktu. Dari masalah ini, seharusnya di sekolah ada yang membantu, seperti guru Bimbingan Konseling (BK) misalnya. Mencari tahu akar masalah atau sebabnya peserta didik ini sebenarnya apa? Sehingga dalam hal mengumpulkan tugas sering tidak tepat waktu. Untuk masalah ini, kompetensi kepribadian dan sosial guru menjadi pertaruhan.
Bila pihak sekolah melalui guru dan BK saling bekerjasama, dapat menemukan akar masalah/sebab mengapa peserta didik memiliki tabiat atau hobi terlambat mengumpukan tugas, maka tidak akan pernah terjadi konflik. Tidak harus gurunya kukuh pendirian dengan batas waktu pengumpulan tugas, sementara di depan mata, ada peserta didik yang memang memiliki masalah yang justru pihak sekolah juga wajib membantu mengentaskan masalah peserta didik bersangkutan.Guru yang kompeten dalam penguasaan kepribadian dan sosial, tentu akan tahu latar belakang setiap peserta didiknya. Kemudian bila sudah tahu kepribadian dan kehidupan sosial peserta didiknya, maka secara profesional, seorang guru juga akan mampu menerapkan pedagogi kepada peserta didik berdasarkan kondisi nyata kepribadian dan kondisi sosial peserta didiknya.
Bila pihak sekolah melakukan pendidikan yang benar, tahu masalah peserta didik secara detail dari kehidupan pribadi dan sosialnya, maka sekolah melalui guru dan BK, tentu dapat membantu peserta didik yang bermasalah, menjadi tidak bermasalah. Peserta didik yang suka terlambat mengumpukan tugas, menjadi peserta didik yang selalu tepat waktu mengumpulkan tugas.
Artinya, masalah atau sebab yang sudah mendera siswa, yang memang seharusnya ditangani oleh sekolah, guru, dan BK, tidak akan meruncing menjadi konflik, karena sekolah, guru, BK tidak menangani dan melakukan pendekatan kepada peserta didik yang bermasalah tersebut.
Kompetensi guru, mutlak
Kisah pembacokan terjadi, karena sebab/masalahnya peserta didik belum mengumpulkan tugas sampai batas akhir waktu yang ditentukan guru. Bila, peserta didik ini sudah diidentifikasi sebagai peserta didik yang bermasalah dalam penyelesaian tugas, pasti ada sebab/masalahnya dalam kepribadian dan sosial. Nah, apa sebab/masalahnya itu, bila guru tahu dan membantu peserta didik jangan sampai tugasnya dikumpukan terlambat, tentu peserta didik akan tersentuh hatinya, senang karena gurunya perhatian terhadap masalah yang dihadapi, tidak sekadar menyoal tugas pelajaran. Tetapi bila peserta didik yang bermasalah ini justru tidak pernah dibantu masalahnya, tetapi guru tetap melakukan pola yang sama dalam program pengumpulan tugas, itu artinya guru sedang menciptakan konflik dengan peserta didik yang memang sudah bermasalah kepribadian dan sosialnya. Guru tidak kompeten dalam pedagogi, pun tidak profesional.
Ujungnya, pembacokan adalah ending dari kisah yang sudah dapat ditebak arahnya. Karena kisah serupa sudah banyak terjadi sebelumnya, peserta didik menganiaya guru, dan lainnya. Bila ditelusuri dan diidentifikasi, maaf, hal itu terjadi karena kompetensi guru yang lemah.
Bila analisis saya salah, saya mohon maaf. Tetapi, harus disadari bahwa tugas sekolah melalui guru-gurunya adalah mendidik. Guru yang mendidik, seharunya juga wajib memiliki kualifikasi minimal pendidikannya sarjana, mengantongi sertifikasi guru, dan juga wajib memiliki 4 kompetensi menjadi guru. Bukan hanya kompeten dalam mata pelajaran yang diampu, lalu membuat program tanpa memperhatikan aspek kepribadian dan sosial peserta didik.Mendidik itu, hasilnya membuat peserta didik menjadi berbudi perkerti luhur, santun, dan rendah hati. Kompetensi guru menjadi mutlak.
Jadi, peserta didik yang bermasalah dalam hal kepribadian dan sosial seburuk apa pun, tentu bila pendidikan dilakukan dengan persyaratan dan cara yang sesuai kualifikasi serta kompetensi, yakin, kisah pembacokan tidak akan pernah terjadi. Sepanjang analisis saya, saya melihat bahwa peseerta didik yang membacok, sejatinya adalah peserta didik yang memang wajib dibantu hal kepribadian dan sosialnya.
Betapa sejuk, aman, dan nyamannya kehidupan dan pendidikan di sekolah, bila sekolah dan para gurunya benar-benar memiliki kualifikasi kompetensi guru dan mempraktikkan kompetensi tersebut dalam pendidikan yang penuh humanisme, yaitu selalu menghidupkan rasa perikemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H