Bejat! Seorang kakek berinisial S (64) di Kota Malang dilaporkan karena diduga mencabuli bocah perempuan berusia 8 tahun. Korban dicabuli pelaku saat berada di atas becak pada hari Minggu, 5 Mei 2024 lalu. (detik.com).Â
Di tempat lain, seorang kakek berusia 63 tahun di Jembrana, Bali, I Nyoman Suardana alias Nang Dompo, divonis hukuman 7 tahun penjara atas kasus pencabulan anak di bawah umur. Terdakwa yang terbukti mencabuli bocah SD berusia 10 tahun ini juga didenda Rp 10 juta dan 3 bulan kurungan.
Putusan yang dibacakan di Pengadilan Negeri (PN) Negara pada Selasa (14/5/2024) ini lebih ringan 3 tahun dari tuntutan jaksa penuntut umum.(detik.com).Â
Sementara itu, Polisi menetapkan seorang pria berinisial AFA (23), pelaku pencabulan terhadap lima anak laki-laki di wilayah Cengkareng, Jakarta Barat, sebagai tersangka. (antaranews.com).
Masih banyak kasus kekerasan seksual pada anak yang terjadi sepanjang 2024. Mirisnya setiap bulan selalu terjadi di berbagai tempat berbeda. Ini menunjukkan anak-anak, baik anak perempuan maupun laki-laki dalam ancaman. Tak ada jaminan keamanan bagi mereka karena predator anak mengintai dimanapun dan kapanpun tak terduga. Sungguh Mengerikan!
Fenomena gunung es yang tak kunjung beres
Kasus pencabulan anak bagai fenomena gunung es. Jumlah yang terlaporkan hanyalah secuil dari fakta sesungguhnya. Menurut data yang dirilis Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA), sejak Januari sampai dengan Februari 2024 jumlah kasus kekerasan terhadap anak telah mencapai 1.993.Â
Jumlah tersebut dapat terus meningkat, terutama jika dibandingkan dengan kasus kekerasan pada anak sepanjang tahun 2023 sebanyak 3.877 kasus yang diadukan ke KPAI.Â
Dari jumlah pengaduan tersebut, kekerasan pada lingkungan satuan pendidikan ada sebanyak 329 kasus, dengan tiga aduan tertinggi; korban kekerasan seksual, anak korban perundungan (tanpa laporan polisi), anak korban kekerasan fisik/psikis, anak korban kebijakan, serta anak korban pemenuhan hak fasilitas pendidikan. (antaranews.com)
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Hadi Tjahjanto menyebut Indonesia masuk peringkat keempat sebagai negara dengan kasus pornografi anak terbanyak. Data tersebut diungkap oleh National center for missing exploited children (NCMEC).
"Temuan konten kasus pornografi anak Indonesia selama 4 tahun sebanyak 5.566.015 kasus. Dan Indonesia masuk peringkat keempat secara internasional dan peringkat kedua dalam regional ASEAN," ujar Hadi dalam konferensi pers di Kemenko Polhukam, Kamis, 18 April 2024. (mediaindonesia.com)
Sungguh ngeri! Tidak ada lagi tempat aman bagi anak. Sosok yang semestinya menjadi pelindung mereka, bisa menjadi pelaku pelecehan seksual. Bukan hanya meninggalkan luka secara fisik, tetapi kasus pencabulan terhadap anak tentu menyisakan trauma yang mendalam bagi korban. Mental dan psikologisnya dirusak oleh para predator yang mengintai di mana pun dan kapan pun.
Sistem Kehidupan Sekulerisme Biang KeladiÂ
Tentu kondisi seperti ini tidak terjadi begitu saja. Banyak faktor yang mempengaruhi dan berkontribusi baik dari sisi kualitas individu, corak kehidupan masyarakat, hingga lemahnya negara dalam menjamin keamanan rakyatnya.Â
Namun, jika ditelusuri dengan seksama, semua penyebab maraknya predator anak  bermuara pada akar masalah yang satu yaitu diterapkannya sistem kehidupan sekulerisme liberal. Paham ini membuat agama dipisahkan dari kehidupan. Menempatkan agama hanya di ranah tempat ibadah.Â
Sedangkan dalam kehidupan sehari-hari menuhankan hawa nafsu, berbuat maksiat tanpa merasa berdosa.  Paham kebebasan yang dilahirkan dari asas sekulerisme telah melahirkan  individu-individu ynag lemah iman hingga tak bisa mengontrol dirinya.Â
Para pelaku kejahatan biasanya terpicu dari konten media porno yang terus dikonsumsi hingga nekad melakukan aksinya, yang terpenting hawa nafsunya terpuaskan sesaat.Â
Muncullah perilaku liberal yang mendorong seseorang bertindak cabul, tega menyodomi anak-anak. Pelaku berpikir pendek, tak ingat akan beratnya dosa dan hisab di akhirat kelak. Tak memiliki perisai takwa dalam diri yang mampu mencegah dari perbuatan dosa. Padahal, jika dia muslim seharusnya tahu akan perintah menjaga pandangan. Namun, karena godaan syahwat di media begitu dahsyat, akhirnya terjerumus dalam perbuatan laknat. Naudzubillahimindzalik.
Kehidupan sekuler mengagungkan kebebasan, baik kebebasan bertingkah laku juga kebebasan berbicara. Akhirnya masyarakat tidak menjadikan standar beramal sesuai syariat, melainkan hawa nafsu semata, tak peduli halal haram.Â
Masyarakat sekuler bersifat serba permisif (serba boleh) yang penting tak saling ganggu. Menormalisasi kemaksiatan seperti menganggap lumrah/wajar aktivitas pacaran, berdua-duaan (khalwat), pergaulan bebas, tak menutup aurat, campur baur laki-laki dan perempuan (ikhtilat), tidak mengajarkan batasan aurat pada anak, dsb.Â
Pemanfaatan teknologi pun justru disalahgunakan untuk kemaksiatan berbau syahwat dan kriminal, seperti  maraknya kasus cyber crime, perundungan (bullying) online, prostitusi online hingga tontonan porno yang merangsang syahwat bejat pelaku di media online.
 Akibatnya, banyak masyarakat yang berpikiran mesum karena derasnya konten yang berbau syahwat berseliweran di gadget. Produksi film beraroma liberal pun menjadi industri yang diminati dan tumbuh subur di negeri ini.
Sekularisme menjadikan pola dan gaya hidup masyarakat merasa bebas mengatur hidupnya sendiri juga individualis. Negara justru memberi pelonggaran dan permakluman terhadap perilaku maksiat dengan dalih kebebasan.Â
Peran negara sebagai pengontrol dan penyaring informasi melemah dan tidak berdaya. Negara seolah kalah dengan para pengusaha dan produsen film-film tersebut. Oleh karenanya, jangan heran apabila kejahatan seksual makin beranak pinak dengan berbagai motif dan cara.
Sejatinya, tak ada langkah preventif (pencegahan) yang sungguh-sungguh selama sistem kapitalisme sekuler yang diterapkan. Indonesia sebenarnya sudah memiliki regulasi dan payung hukum dalam upaya melindungi anak dari kejahatan seksual.Â
Di antaranya UU No. 35 Tahun 2014 perubahan dari UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dalam pasal 76E UU No. 35 Tahun 2014. Namun faktanya sangat miris! sekalipun ada sanksi hukum seperti hukuman penjara, kebiri hingga hukuman mati, nyatanya para predator anak terus bermunculan di berbagai tempat. Sanksi hukum tidak tegas dan  terlihat jelas tidak membuat jera pelaku kejahatan.
Sistem Islam Menjamin Keamanan
Sistem islam memiliki solusi komprehensif terhadap berbagai persoalan, baik di ranah individu, keluarga, masyarakat, hingga negara. Semua diberikan tanggung jawab untuk menjaga nilai-nilai islam tegak dalam kehidupan.Â
Secara individu, Al-Qur'an menegaskan kewajiban bagi laki-laki dan perempuan untuk menutup aurat, menjaga pandangan dan kemaluan, larangan tabarruj (dandan berlebihan yang bisa menarik perhatian lawan jenis), larangan berikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan), juga larangan khalwat (berdua-duaan dengan yang bukan mahram). Ini adalah benteng pertama yang harus ditegakkan.
Dalam kehidupan keluarga, anggota keluarga dididik dengan dasar agama yang baik, standar baik buruk menurut islam, terbiasa memperhatikan halal haram, saling mengingatkan ketika ada yang lalai dan melanggar aturan syariat.Â
Bersinergi dengan kehidupan masyarakat yang islami, dimana pemikiran, perasaan, standar kehidupan yang digunakan islami, aturan yang dijunjung tinggipun sesuai dengan tuntunan agama.Â
Budaya amr ma'ruf nahi munkar menjadi habits atau kebiasaan. Itulah bukti saling mencintai karena Allah. Kehidupan di masyarakat bercorak taawun ( saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa) bukan kebebasan yang menjerumuskan. Masyarakat yang berkepribadian Islam akan menjaga diri mereka dan orang-orang di sekelilingnya dari perbuatan nista seperti sodomi.
Diantara fungsi negara dalam sistem islam adalah menjaga akal, menjaga akidah, menjaga keturunan, menjaga harta, menjaga kehormatan, serta menjaga keamanan. Karenanya, pemimpin dalam islam akan bersungguh-sungguh melakukan penjagaan tersebut karena ingat akan pertanggungjawabannya di akhirat kelak.Â
Sistem kehidupan sosial diatur agar sesuai dengan pergaulan islam. Negara pun akan menerapkan sistem pendidikan Islam yang membuat masyarakat memiliki kepribadian islam. Departemen penerangan berkewajiban memfilterdan memblokir konten yang berbau pornografi.Â
Tidak ada ruang untuk tayangan-tayangan yang rusak dan merusak akal masyarakat. Sanksi yang tegas bagi pihak yang melanggar. Negara hanya menyediakan konten yang mengandung edukasi syariat islam, konten yang akan meningkatkan pemahaman politis masyarakat, sains dan teknologi juga ketakwaan.
Perlindungan anak tidak akan terwujud selama sistem sekulerisme yang diterapkan. Perlindungan akan terwujud manakala sistem kehidupan itu sahih sistem kehidupan sahih yang  akan melahirkan manusia yang bermindset bersih .dan suci, jauh dari pikiran dan imajinasi kotor. Sistem kehidupan sahih juga akan mendorong manusia untuk melakukan amal perbuatan yang baik. Sistem kehidupan yang mampu mewujudkan hal demikian hanyalah sistem Islam yang diterapkan secara kaffah di ranah individu, masyarakat hingga negara.
 Negara berkewajiban menerapkan sanksi Islam (uqubat). Uqubat Islam memiliki sanksi tegas yang pasti akan membuat jera pelaku. Syekh Abdurrahman al-Maliki dalam kitab Nidzhamul Uqubat menjelaskan bahwa sanksi pemerkosa mendapat 100 kali cambuk bila belum menikah dan hukuman rajam bila sudah menikah. Pelaku sodomi akan dibunuh jika melukai kemaluan anak kecil dengan persetubuhan. Selain hukuman zina, pelaku akan terkena denda sepertiga dari 100 ekor unta atau sekitar Rp 900 juta dengan asumsi harga seekor unta Rp 27 juta.
Sanksi yang tegas seperti ini tentu akan membuat jera pelaku sodomi dan membuat orang lain merasa ngeri sehingga tidak ingin melakukan kejahatan yang serupa. Inilah efek zawajir (pencegah) di tengah masyarakat. Selain itu, uqubat Islam memiliki efek jawabir yakni sebagai penebus dosa pelaku di akhirat.
Negara juga menerapkan sistem ekonomi Islam yang menjamin kesejahteraan individu per individu masyarakat. Jaminan tersebut diwujudkan melalui jaminan pekerjaan bagi setiap laki-laki. Kesejahteraan ekonomi dapat membantu seseorang untuk fokus beribadah.Â
Maka seorang ibu dan ayah akan fokus mendidik dan merawat anaknya. Masyarakat pun akan fokus melakukan amar makruf nahi mungkar. Perlindungan berlapis melalui penerapan sistem Islam Insyaallah akan menjaga anak-anak dari predator anak. Bahkan lebih dari itu, predator anak tidak akan muncul.Â
Bukankah kehidupan seperti ini yang didambakan oleh masyarakat khususnya anak-anak?. Untuk mewujudkannya adalah tanggung jawab bersama. Â Maka semua pihak jangan abai karena kejahatan terus mengintai selama aturan islam dicampakkan. Saatnya taubatan nasuha kembali pada aturanNya di semua aspek kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H