Mohon tunggu...
Herini Ridianah
Herini Ridianah Mohon Tunggu... Guru - write with flavour

pemerhati sosial dan pendidikan, guru les MIPA

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Indeks Pembangunan Gender Meningkat, Masalah Perempuan dan Generasi Kok Melesat?

18 Januari 2024   13:55 Diperbarui: 18 Januari 2024   13:59 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak atau Kemen PPPA menyatakan bahwa selama 2023 perempuan semakin berdaya yang ditunjukkan dengan meningkatnya Indeks Pembangunan Gender (IPG) Perempuan. Sedangkan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) yang merupakan ukuran keberhasilan pembangunan kesetaraan gender dalam sumbangan pendapatan perempuan, keterlibatan perempuan di parlemen, dan perempuan sebagai tenaga profesional berhasil mencapai target sebesar 76,26. (https://lestari.kompas.com/)

"Perempuan juga semakin berdaya, mampu memberikan sumbangan pendapatan signifikan bagi keluarga, menduduki posisi strategis di tempat kerja, dan terlibat dalam politik pembangunan dengan meningkatnya keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Ini ditunjukkan dengan meningkatnya Indeks Pemberdayaan Gender. Semakin banyak perempuan menjadi pemimpin baik di desa, sebagai kepala desa atau kepala daerah hingga pimpinan di Kementerian atau Lembaga. Tentunya yang ingin dicapai di 2024 adalah peningkatan kualitas dan peran perempuan dalam pembangunan," ujar Deputi Bidang Kesetaraan Gender KemenPPPA, Lenny N Rosalin dalam keterangan di Jakarta, Sabtu (6/ 01/ 2024). (https://www.kemenpppa.go.id/)

Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Woro Srihastuti Sulistyaningrum mendukung dan menyampaikan apresiasi atas rancangan Strategi Gender 2024-2030 yang dibuat oleh World Bank atau Bank Dunia.

"Saya menyampaikam apresiasi terhadap strategi yang sudah disiapkan. Sangat sepakat sekali kita mendorong kesetaraan gender karena sesuai dengan amanat UUD 1945 dan komitmen tingkat global," ujar Deputi Lisa saat menyampaikan tanggapan dalam forum konsultasi Strategi Gender World Bank, di Kantor World Bank Indonesia, pada Senin (20/11/2023).

Diketahui, Grup Bank Dunia saat ini tengah mempersiapkan Strategi Gender Grup Bank Dunia 2024-2030, dengan judul "Akselerasi Kesetaraan Untuk Menghilangkan Kemiskinan Di Bumi Yang Layak Huni". Strategi ini mengedepankan ambisi besar terjadinya akselerasi kesetaraan gender demi dunia yang lebih damai, makmur dan layak huni selaras dengan Peta Jalan Evolusi Bank Dunia. (https://www.kemenkopmk.go.id/)

Narasi positif dari pemerintah ini tentu perlu dikritisi mengingat agenda pembangunan menuju Indonesia emas 2045 adalah proyek pembangunan ekonomi kapitalistik yang berpihak pada kepentingan hegemoni kapitalisme. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional atau RPJMN 2020 hingga 2024 disebutkan bahwa Indonesia harus melakukan transformasi ekonomi industrialisasi untuk meraih pertumbuhan ekonomi. Karenanya, diperlukan Sumber Daya Manusia (SDM) yang produktif dan berdaya saing. Potensi SDM perempuan Indonesia sendiri cukup besar yakni sebesar 49,4% atau 133,54 juta jiwa. Dalam logika kapitalis, tentu ini tidak boleh disia-siakan. Sehingga perempuan harus berdaya secara ekonomi untuk mewujudkan pemberdayaan Perempuan. Menurut kapitalisme, kesetaraan gender menjadi kuncinya. Maka perempuan berdaya dalam narasi gender sudah semestinya dihadapkan dengan paradigma Islam.

Sebab Islam memuliakan perempuan sebagai ibu bagi generasi. Posisi yang akan menjaga keberlangsungan Islam dengan lahirnya generasi Islam yang unggul. Jika kaum perempu'an dituntut berperan ganda sebagai ibu sekaligus penanggung jawab nafkah keluarga, maka masa depan generasi akan semakin terancam. Persoalan generasi seperti pergaulan bebas, bullying, sikap amoral dan sebagainya yang kita saksikan hari ini menjadi pertanda semakin menurunnya kualitas generasi. Apa dampak lain yang terjadi pada perempuan yang menjadi alarm kehancuran generasi? Bagaimana semestinya seorang muslim melihat esensi IPG dari seluruh aspek? dan Seperti apa konstruksi Islam membangun generasi unggul dan tangguh?

Kapitalisme Sekuler : Akar Masalah Derita Perempuan

Saat ini arus kesetaraan gender dengan berbagai derifat kebijakannya dipandang sebagai solusi atas permasalahan perempuan. Namun di saat yang sama, perempuan semakin banyak mendapatkan masalah dan penderitaan dalam hidupnya. Seperti tingginya angka perceraian, KDRT, kekerasan seksual dan lainnya. Belum lagi, persoalan generasi yang makin amoral, liberal, keji, hingga menjadi pelaku kriminal dan berani berbuat dosa besar di usia sekolah. 

 Jika permasalahan tersebut diselesaikan dengan pemberdayaan perempuan melalui tolak ukur Indeks Pembangunan Gender, tidaklah tepat dan tak menyentuh akar masalah. Pasalnya, penderitaan yang dialami perempuan saat ini adalah buah dari diterapkannya sistem sekulerisme kapitalisme. Akibatnya syariat-syariat agama terkait perempuan tidak dijalankan oleh pemangku kebijakan, seperti syariat penafkahan, kewajiban belajar,  berdakwah, syariat suami istri dan sejenisnya. Padahal Allah telah mengancam bahwa : "Siapa saja yang berpaling dari aturannya maka Allah akan memberinya kehidupan yang sempit."  (TQS.Thaha : 124)

Hanya Sistem Islam yang Memuliakan Perempuan

Perempuan haruslah menyadari bahwa jalan kemuliaan mereka bukanlah didapat dengan terwujudnya kesetaraan gender. Sistem sekulerisme demokrasi menjadikan lembaga-lembaga pemerintahan saat ini mengabaikan hukum Allah. Mereka bersepakat membuat aturan sendiri dan menjalankannya. Padahal Allah tegas mengatakan : "Hukum itu hanyalah milik Allah." ( TQS.Al-An'am ayat 57).

 Dengan kata lain, sistem saat ini telah memaksa kita berbuat syirik kepada Allah. Padahal syirik adalah dosa besar. Jika umat, khususnya perempuan menginginkan kemuliaan, maka kemuliaan harus dikembalikan kepada standar mulia yang telah Allah tetapkan. Karena Dia-lah pencipta alam semesta, langit bumi, beserta isinya. Dialah Maha Pengatur semua makhluknya.

Allah Swt telah memuliakan wanita dengan memberikan peran sebagai ibu dan pengatur rumah tangga (al umm wa rabbatul bait), yang bertanggung jawab mengatur rumah tangganya di bawah kepemimpinan suami sebagai pemimpin rumah tangga. Suami wajib memimpin, melindungi dan memberi nafkah kepada anggota keluarganya berdasarkan QS. Annisa ayat 34.

 Rasulullah Saw juga bersabda : "wanita atau istri adalah penanggung jawab dalam rumah tangga suaminya dan anak-anaknya." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

 Allah juga memberkahi perempuan dengan peran sebagai madrasatul Ula, pendidik pertama dan utama anak-anaknya. Kedua peran ini adalah peran strategis yang akan menjadi pondasi pembangun sebuah peradaban. Kedua peran tersebut tidak mudah dijalankan sehingga agar perempuan bisa menjalankan amanah tersebut dengan optimal, Allah menetapkan sejumlah syariat yang hanya berlaku pada perempuan. Salah satu di antaranya adalah masalah penafkahan. Perempuan tidak wajib mencari nafkah baik untuknya sendiri dan keluarga.  

Nafkah Perempuan ditanggung walinya, seperti ayahnya, suaminya, saudara laki-lakinya, kakeknya, pamannya, dst. Perempuan juga dilarang terlibat dalam kepemimpinan yang mengharuskannya mengambil kebijakan, seperti menjadi pemimpin negara. Islam mensyariatkan kepemimpinan berada di tangan laki-laki. Sebagaimana terdapat dalam QS.An-Nisa : 34. Dengan pendekatan kaidah min baabi al awla (keharusan yang lebih utama). Kaidah tersebut mengisyaratkan pemimpin rumah tangga saja harus laki-laki, apalagi pemimpin negara yang jauh lebih besar kekuasaannya.

Rasulullah saw juga bersabda : " Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan kekuasaannya kepada perempuan." (HR.Al-Bukhari)

Seandainya  ada yang merujuk kebolehan perempuan sebagai pemimpin atau kepala negara, keterlibatan ummul mukminin 'Aisyah dalam perang Jamal, pendapat ini langsung terbantahkan dengan penyesalan beliau ketika diingatkan oleh sahabat. Beliau mengatakan : Laytanii mittu qobla yaumil jamal bi'isyriina sanaatan (Andaikan / laytanii, nada penyesalan) aku mati dua puluh tahun sebelum Perang Jamal. (HR.Al-Bukhari)

Hanya saja, meski diharamkan dalam jabatan kekuasaan, bukan berarti perempuan tidak memiliki kesempatan di ranah publik. Islam mengatur ada aktivitas publik yang boleh diikuti bahkan wajib dilakukan Perempuan.  Adapun aktivitas wajib di ranah publik bagi seorang perempuan adalah menuntut ilmu, melakukan amar makruf nahi mungkar di tengah masyarakat dan muhasabah atau menashati penguasa. Kewajiban tersebut berlaku atas laki-laki dan perempuan.

 Sedangkan aktivitas yang boleh dilakukan adalah menjadi anggota Majelis umat menjadi Qadhi, baik itu Qadhi hisbah atau Qadhi biasa. Namun tidak boleh menjadi qadhi madzhalim  karena qadhi ini berkaitan dengan mengambil keputusan di pengadilan.  Kemudian perempuan juga boleh bekerja dengan syarat pekerjaan itu tidak menghinakan fitrahnya sebagai perempuan, mengeksploitasi kecantikannya, menghalanginya melakukan kewajibannya dan bukan untuk ekonomi. Namun pekerjaan yang dilakukan semata-mata untuk memberikan kontribusi keilmuannya untuk umat dan kemuliaan Islam.

 Dengan demikian, kemuliaan perempuan di dalam Islam akan dilihat dari keberhasilan dia menjalankan peran domestiknya sebagai al-um warabatul bait dan madrasah utama. Serta peran publiknya sebagai entitas masyarakat yang melakukan amar makruf nahi mungkar. Sejarah sudah membuktikan, penerapan syariat terkait perempuan ini ketika dijalankan oleh individu, masyarakat bahkan negara yakni  selama 1300 tahun,  perempuan hidup dalam kemuliaan. Tidak seperti perempuan yang hidup dalam sistem kapitalisme saat ini. Mereka dinistakan, dilecehkan, dihinakan  direndahkan .

Sayangnya, apa yang terjadi hari ini, kita sebagai negeri mayoritas muslim justru  mengambil standar, ukuran-ukuran yang digunakan oleh peradaban barat yaitu  kapitalisme. Termasuk dalam mengukur kesuksesan pembangunan  dengan menggunakan ukuran-ukuran standarnya  IPG yang didapatkan dari UNDP. Paradigma pemberdayaan ekonomi pun terjebak pada konsep yang ditawarkan barat melalui World Bank salah satunya.  Padahal berbagai standar tersebut tentu erat kaitannya dengan kepentingan kapitalisme dibandingkan kepentingan hakiki bangsa ini. Saat IPG meningkat, justru bertolak belakang dengan kondisi masalah perempuan dan generasi yang makin miris dan melesat. Bukankah ini nilai kesuksesan yang semu?

Bukankah sudah selayaknya kita sebagai muslim mencukupkan diri pada berbagai aturan dan standar yang ditetapkan syariat?. Sejarah kegemilangan islam telah mencontohkan, bagaimana penerapan islam kaffah telah memberikan kemuliaan bagi umat dan bangsanya. Islam memiliki seperangkat sistem konstruksi yang telah terbukti mampu membangun generasi tangguh dan unggul. Tidakkah kita menginginkannya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun