Mohon tunggu...
Herini Ridianah
Herini Ridianah Mohon Tunggu... Guru - write with flavour

pemerhati sosial dan pendidikan, guru les MIPA

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Legalisasi Aborsi Bukan Solusi

24 September 2018   22:14 Diperbarui: 24 September 2018   22:47 801
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.gettyimages.com/photos/raggio

Sudah jatuh tertimpa tangga. Itulah ungkapan yang pas untuk korban perkosaan yang terancam penjara akibat aborsi yang terpaksa dilakukannya.

Sekitar 2 bulan lalu, tepatnya kamis 19 Juli 2018, publik dikejutkan dengan putusan Hakim Pengadilan Negeri Muara Bulian yang menjatuhkan hukuman enam bulan penjara kepada WA, seorang gadis usia 15 tahun asal Jambi lantaran menggugurkan kandungan hasil korban inses oleh kakak kandungnya sendiri.

Meski pada tanggal 31 Juli lalu, pada akhirnya korban AW mendapat penangguhan penahanan untuk sementara waktu. Tak terbayangkan goncangan jiwa yang dialami korban.

Mengerikan! Ternyata catatan yang diperoleh komnas perempuan, sebanyak 9.409 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang dilaporkan sepanjang 2017, di mana 1210 di antaranya merupakan kasus inses.

Dalam kasus-kasus inses, pelaku berdasarkan urutan terbanyak dilakukan ayah kandung (425 kasus), paman (322 kasus), ayah tiri (205 kasus), kakak kandung (89 kasus), dan kakek kandung (58 kasus).

Sementara jumlah terbanyak pelaku kekerasan seksual di ranah privat, paling banyak dilakukan oleh pacar (1.528 orang) dan suami (192).(www.bbc.com).

Bagai fenomena gunung es, sesungguhnya angka yang tertera hanya menunjukkan kenaikan data terlapor saja, sedangkan yang tidak melapor sangat banyak.

Mirisnya, keluarga sebagai benteng terakhir pelindung perempuan, justru tak lagi memberi keamanan. Bahkan dalam 15 tahun terakhir di Indonesia, menurut catatan komnas perempuan, setiap 2 jam terjadi kasus perkosaan.

 Akhirnya, sekitar 4 tahun yang lalu, pemerintah memberi ruang legalisasi aborsi yang tertuang pada Peraturan Pemerintah (PP) No 61 tahun 2014 yang ditandatangani Pak SBY tahun 21 Juli 2014.

Acuannya adalah UU No 36/2009 Pasal 75 ayat 1yang menyebutkan setiap orang dilarang melakukan aborsi terkecuali berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan yang dapat menimbulkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. (Republika.co.id, 09/08/2018).

Hingga hari ini, perdebatan tentang bagaimana mengatasi kasus aborsi akibat kehamilan tak diinginkan (AKTD) masih saja alot.

Persoalan aborsi ini tak bisa dianggap sepele. Mengingat Indonesia menjadi peringkat tertinggi Angka Kematian Ibu (AKI) tingkat ASEAN. Terlebih berdasarkan data Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) tahun 2015, sebanyak 11-30% kematian Ibu terjadi akibat aborsi tidak aman. (detikhealth.com).

Maka, sungguh malang nasib korban perkosaan. Sudah terguncang jiwanya akibat kehamilan yang harus ia tanggung, di sisi lain jika ia melakukan aborsi, maka bayang-bayang kematian dan hukuman penjara menghantui dirinya. Namun bagaimanapun upaya legalisasi aborsi tetap tidak bisa dibenarkan dan bukan solusi tuntas.

Pro Kontra Legalisasi aborsi bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di hampir semua negara di dunia. Setidaknya ada 27 negara di dunia yang melegalisasi aborsi, dan hanya 4 negara di dunia yang tidak melegalisasi aborsi untuk alasan apapun, yaitu Chili, El-Salvador, Malta, Vatikan.(Pregnantpause.org). Lantas Indonesia ?

Sebelum menjawab, alangkah baiknya kita telusuri akar masalah dari maraknya aborsi.

Menelusuri Penyebab Inses Berujung Aborsi

Berdasarkan pengakuan pelaku inses, pada umumnya mereka terdorong melakukan seks dengan saudara kandungnya atau anak kandungnya, karena sebelumnya menonton film porno.

Di zaman digital seperti saat ini, gempuran pornografi memang tak dapat dihindari. Terlebih negara yang berasas sekuler (memisahkan agama dari kehidupan) cenderung membuka keran kebebasan berekspresi dan bertingkahlaku sebagai perwujudan jaminan HAM sangat berpotensi mendorong banyaknya perilaku pornografi. 

Sistem pergaulan yang liberalistik dan permissive serta lemahnya sistem hukum yang ada terhadap pelaku maksiat atau kejahatan telah berhasil menumbuhsuburkan perilaku seks menyimpang. Ketakwaan individu sebagai benteng terakhir telah luntur karena minimnya pemahaman agama keluarga.

Maraknya kasus kehamilan tak diinginkan hingga berujung pada aborsi adalah buah dari penerapan sistem sekuler yang mengagungkan kebebasan.

Berbagai tayangan perilaku yang mengumbar aurat dan menimbulkan rangsangan seksual dengan mudah dijumpai dan diakses.

Negara tidak serius menjadi filter dan perisai yang melindungi masyarakatnya dari kehancuran moral. Karena halal haram tidak menjadi standarnya.

Alih-alih mencegah, yang terjadi justru negara ikut meraup keuntungan dari pajak bisnis hiburan malam yang rentan seks bebas.   

Kemiskinan sistematis yang ditimbulkan oleh penerapan sistem ekonomi kapitalispun  telah menyebabkan banyaknya warga miskin tinggal di tempat yang tak layak untuk sebuah keluarga.

Seringkali satu keluarga yang terdiri atas ibu, ayah, dan anak-anak yang sudah baligh terpaksa harus tidur tanpa kamar yang terpisah. Bahkan banyak kasus ibu yang menjadi TKW, sedangkan anak dan ayah harus tinggal di tanah air.

Akibatnya pintu masuk inses pun terbuka.Atas alasan kemiskinan pula, banyak ibu yang terpaksa memutuskan untuk aborsi janinnya . Bahkan tak sedikit akhirnya kemiskinan menjadi penyebab seseorang terjerumus pada dunia pelacuran. 

Maka, selain berdosa, legalisasi aborsi justru tak menyentuh akar pesoalan melainkan memperpanjang permasalahan.

Solusi Tuntas hanya dengan Islam

Islam memberi solusi tuntas terhadap maraknya pemerkosaan yang berujung pada KTD dan aborsi dengan 3 pilar, yaitu pilar individu, masyarakat dan negara.

Secara individu,  islam telah memerintahkan untuk senantiasa menjadi individu bertakwa dengan adanya perintah  menahan pandangan (gadhul bashar) dan memelihara kemaluan, larangan mendekati zina (aktivitas pacaran), larangan berkhalwat (berdua-duaan dengan yang bukan mahram), larangan berikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan).

Islam pun memerintahkan pada laki-laki maupun perempuan yang sudah baligh untuk menutup auratnya. Aurat wanita bagi non mahram adalah seluruh tubuh, kecuali muka dan telapak tangan.

Karenanya, ketika keluar rumah, wanita diperintahkan mengenakan jilbab dan kerudung. Sedangkan ketika di dalam rumah, ketika di hadapan mahram (misal: saudara laki-laki, ayah, paman), maka aurat yang boleh tampak adalah rambut dan betis, dengan mengenakan pakaian rumah yang sopan, tidak ketat.

Bahkan sesama laki-laki atau sesama perempuan, ada aurat yang tidak boleh tampak yaitu antara lutut sampai pusar.

Ada pula perintah untuk memisahkan tempat tidur anak laki-laki dan perempuan di usia 7 tahun. Bahkan sesama anak laki-laki atau sesama anak perempuan pun  ketika memasuki usia baligh tidak boleh tidur satu selimut.

Betapa islam tegas dalam masalah pergaulan, hingga Allah SWT memperingatkan dalam QS.At Tahrim ayat 6 : "Jagalah diri dan keluargamu dari api neraka".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun