Mohon tunggu...
Heri Purwoko
Heri Purwoko Mohon Tunggu... Dosen - Words & Images

Dosen penulisan skenario, editor-in-chief beberapa media internal, dan chief creative officer sebuah perusahaan desain kecil di Jakarta. Suka jalan-jalan, sambil bersepeda. :)\r\n\r\ne: heriko.media@gmail.com\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Weekend di Bukit Barisan Selatan

8 Juni 2014   22:00 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:41 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya diberi kesempatan langka dan pertama kali oleh WWF Indonesia untuk mengunjungi Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, 29 Mei – 1 Juni kemarin. Kenapa saya? Sederhana, saya membuat video pendek di Vine untuk tema 'go green' yang akhirnya dipilih oleh @atamerica dan WWF_ID. Bersama dengan @ester_oi, saya adalah orang yang beruntung dengan reward berupa trip tersebut, which is ini priceless buat saya.

Pertama Kali Menginjakkan Kaki di Lampung

Hari pertama, saya berangkat pukul 02.00 dari rumah. Mencari taksi, lalu bersambung dengan bus Damri dari Pasar Minggu. Sesampainya di bandara, pukul 04.10, Mas Irza (Oi) dari WWF Jakarta sudah menunggu di depan terminal 2D. Di sana, saya pertama kali dengannya, juga Mbak Nefa, Vira, Iqbal dari WWF, pasangan Pak Chairil dan Ibu Lutfia dari Bandung-supporter, Ibu Dian dari Kalimantan-supporter, Mbak Hera dari Media Indonesia, Mbak Nuri dari Femina, dan tentu saja Ester, perupa grafis yang kini berbisnis cake.

Setelah berkenalan singkat, kami pun bertolak menuju Bandar Lampung dengan GA 070 pukul 05.40 (on-ticket-schedule). Berangkat dengan perasaan penasaran dan riang segera membuncah ketika tiba di Bandara Raden Inten II Bandar Lampung. Di sana, telah menunggu Pak Klass, Mbak Liza, dan Mbak Susi dari WWF; Mbak Putri, Uni Pipie, Mas Agus, Mas Ali dan Mas Tarno dari WWF Lampung; Mbak Maria dari Bali-supporter; dan Mbak Nova dari WWF Surabaya-fundraiser.

Dengan menu makanan di Rumah Makan Padang 'Begadang' yang menurut saya terlalu 'berat' untuk sarapan sepertinya segera disambut baik oleh yang lainnya. Sambil bercerita tentang program dan agenda acara, Mbak Susi dan Mas Ali juga mempersilahkan peserta yang lain untuk memperkenalkan diri. Dengan segera, kekakuan kami ketika bersalaman di awal segera cair. Mbak Hera yang saya kira pendiam, segera memecahkan suasana dengan joke-joke pendeknya ketika menimpali orang lain yang bicara serius. Begitu pula dengan Mbak Maria yang paling lepas tawanya, seakan pekerjaannya sebagai air-traffic controller begitu menuntut keseriusan. :D

Usai sarapan, kami segera meluncur dengan empat buah mobil Innova menuju Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Saya satu mobil dengan Pak Klass, Mas Iqbal, Mas Agus, dan tentu saja supir cekatan kami, Mas Kelik. Pak Klass yang sudah 17 tahun di Indonesia dan beristerikan perempuan Tulungagung itu banyak bertanya tentang saya; tentang apa film yang saya buat sehingga bisa ikut trip ini, tentang pekerjaan, hingga tentang pilihan siapa yang pantas jadi RI1. :D

Jalan Bukan Tempat Sampah

Saya bercerita pada Pak Klass tentang film pendek 6 detik saya yang diunggah ke Vine, tentang sampah tisu yang banyak digunakan orang untuk sesaat, lalu beberapa saat kemudian dibuang karena usang, jadi sampah. Padahal dengan banyaknya tisu yang berumur pendek itu, dari yang bahan bakunya adalah batang pohon itu, kita bisa membuat hal lain seperti kertas atau paper-notes yang jauh lebih berguna.

Pak Klass menangkap sisi lain tentang terminologi 'sampah' yang saya sebut. Betapa dia sangat membenci orang-orang yang membuang sampah di jalan, khususnya di jalan raya. Dari mobil angkot hingga mobil-mobil mahal, sering dijumpai orang di dalamnya membuang sampah begitu saja keluar jendela, entah itu sampah kemasan makanan atau buah. Padahal, mobil-mobil mewah tentu punya tempat sampah di dalamnya, kenapa tidak dibuang di situ? Atau setidaknya, jika tidak ada, bisa ditaruh di banyak bagian di dalam mobilnya, jika tidak mau menaruhnya di saku pakaian, untuk kemudian dibuang ke tempat sampah.

"Saya seperti mau turun dan melemparkan kembali sampah ke wajahnya," ujar Pak Klass kesal. "Untungnya istri saya selalu menahan saya, khawatir malah saya bisa dipukuli orang-orang," sambungnya.

Yeah, keinginan 'melemparkan kembali sampah ke pembuangnya' itu juga selalu muncul di benak saya. Tapi saya belum siap untuk mendapat pukulan balik. Ironi, bukan?

Tingkat kesadaran orang untuk membuang sampah di tempatnya masih sangat minim di masyarakat kita. Jika Anda, dengan keluarga Anda, atau dengan teman-teman Anda punya kesadaran itu, jumlahnya masih tetap minim dibandingkan jumlah mereka yang tidak peduli. Buang sampah sembarangan, motor naik trotoar, dan merokok di area tertutup bukan perokok adalah tiga hal yang paling memprihatinkan. Tiga hal itu bukan saja mengganggu hak orang lain, tapi juga menunjukkan betapa rendahnya kesadaran diri dan edukasi yang mereka dapatkan.

Buang sampah sembarangan tentu menyebabkan buruknya pemandangan hingga yang lebih serius seperti banjir. Kendaraan bermotor naik trotoar mungkin yang paling membahayakan dan menimbulkan efek-benci-langsung dari para pejalan kaki yang merasa trotoar adalah jalurnya. Sementara merokok di area tertutup bukan perokok seperti dalam angkot, ruang tunggu, atau ruang publik lain tentu saja menambah sumpeknya udara, oksigen yang dihirup oleh bukan perokok pun jadi makin menipis karena bersaing dengan polusi udara lainnya. Untuk hal terakhir, polusi udara, tahukah kalian bahwa salah satu penyebab menurunnya daya tahan tubuh adalah dari polusi udara? Udara yang tercemar mengandung material yang juga bisa mengendap di perairan untuk kemudian menempel di makanan ikan. Udara jauh lebih serius untuk dijaga dibanding elemen vital lain.

Robusta dari Sedayu

Oke, kembali ke cerita perjalanan saya. Sebelum memasuki area Taman Nasional Bukit Barisan (TNBBS), kami singgah di Sedayu, sebuah daerah di tepi TNBBS.  Sekar Sedayu adalah nama sebuah kelompok kecil yang di-support oleh WWF dan memproduksi olahan kopi. Dengan brand Kuyungarang, mereka mengolah kopi robusta menjadi biji kopi, kopi bubuk, dan kopi luwak. Merasakan langsung rasa kopi robusta hasil tanam masyarakat Sedayu dan sekitar, tentu beda di lidah. Kopi hitam pekat tanpa gula yang bukan sekedar beraroma 'gosong' segera menyongsong lidah, menaikkan perasaan suka cita.

Saya penyuka kopi. Tapi tidak selalu memperhatikan perbedaan tiap jenis kopi yang melintasi mulut. Kopi Mandailing, Sulawesi, Aceh, Papua, Robusta, Arabica, Robusta Arabica, Lampung, hingga Pacitan rasanya kurang lebih sama. Tapi setelah disadarkan teman-teman pecinta kopi di sana, rasanya tentu saja berbeda, masing-masing punya ciri rasa. Ya-ya, saya baru menyadari Robusta itu lebih pahit dan Arabica itu lebih asam. Baiklah, lain kali lidah saya harus dipacu supaya lebih peka rasa.

Bagaimana dengan kopi luwak? Well, saya tidak terlalu tertarik untuk mencicipi. Apalagi setelah melihat langsung bentuk awalnya, untungnya kemarin yang saya pegang sudah kering, walau bentuknya masih seperti feses. Dari rumah kopi Sedayu itu pula, saya membawa sample biji kopi yang telah disangrai dan juga kopi bubuknya. Siapa tahu setelah ini, niat saya kesampean untuk jadi penjual kopi di Jakarta. Amiin... :)

Sekar Sedayu tidak hanya memproduksi kopi, ada madu, cokelat, dan juga lada. Kebun-kebun di sana menggunakan sistem tumpang sari, beberapa tanaman tumbuh berdampingan dan diatur dalam satu area, biasanya ada kopi, lada, dan cokelat. Saya dan teman-teman juga sempat merasakan buah kakao/cokelat yang sudah matang, walau di samping rumah saya juga ada pohonnya. Buat yang belum tahu, rasa daging buahnya seperti kecapi, namun tidak terlalu masam. Biasanya, biji cokelat dijemur hingga kering, dikupas kulitnya, hingga didapatkan isinya yang kemudian diolah menjadi cokelat bubuk, rasanya pahit.

Malam Dingin Berangin di Rhino Camp

Selepas Sedayu, maka kami menyusuri jalan berkelok menanjak menuju Rhino Camp. Walaupun menyandang nama 'rhino', bukan berarti di sana ada badaknya. Tapi at least, pernah menjadi camp sementara bagi Rossa, nama seekor badak yang diselamatkan.

Rhino Camp terdiri dari empat bangunan utama; satu dapur umum, satu rumah singgah dengan kamar dan kamar mandi di dalam, satu bangunan bertingkat yang sepertinya ini merupakan bangunan utama dengan ruang kerja dan dua kamar di lantai atas, serta pendopo untuk makan atau berdiskusi. Toilet individu terletak beberapa meter dari rangkaian kuartet bangunan tersebut, sementara tempat untuk mandi berada lebih jauh lagi ke arah bawah dengan mata air yang terus mengalir.

Ada juga area tanah yang permukaannya dibuat datar dengan beberapa potong tubuh pohon mengelilingi sebuah pohon besar untuk tempat duduk, agaknya ini adalah area untuk duduk-duduk santai atau untuk acara malam hari seperti api unggun dan lokasi tenda.

Di Rhino Camp, Mas Tarno banyak bercerita tentang gajah, tentang bagaimana kita peka terhadap perubahan fisik gajah ketika berhadapan. Mas Charlie dan beberapa rekannya sebagai orang lapangan juga bercerita tentang suka duka menjaga kawasan TNBBS, khususnya dari titik Rhino Camp hingga ke dalam. Beberapa hewan seperti gajah, badak, dan harimau sering terpantau melintasi wilayah tersebut, walau fakta pertemuan langsung secara fisik sangat kecil. Mas Charlie, yang dulunya pernah juga bekerja di Riau, menjelaskan bagaimana konflik dengan para pembalak dan pemburu menjadi kendala utama. Itu pula yang menyebabkannya terpaksa harus 'berganti identitas' tiap kali pindah lokasi kerja.

Setelah bicara tentang camp dan hewan-hewan di sana, tiba giliran kami diajak masuk ke hutan dan dipaparkan simulasi camera-trap. Ya, ini adalah kamera yang diletakkan di batang-batang pohon dengan lokasi strategis di tepi atau tengah hutan. Tujuannya untuk menangkap satwa yang melintas di depannya. Bagaimana bisa? Sensor yang ada di kamera akan menangkap suhu tubuh tertentu dan kamera akan meng-capture dengan pilihan foto atau video yang telah di setting sebelumnya. Dengan dua belas baterai ukuran AA, kamera merek Bushnell itu bisa bertahan sekitar tiga bulan. Biasanya tim akan melakukan preview atau copy data dari kamera untuk selanjutnya diputuskan apakah perekaman berlanjut atau berganti lokasi.

Malam harinya, kami dibagi dua kelompok untuk menyusuri tepian hutan yang bersinggungan dengan jalan raya. Berbeda dengan kelompok pertama yang sempat menemui tarsisius, saya yang berada di kelompok dua mendapati iguana dan kelinci Sumatera. Malam itu pula saya melihat lautan gemintang yang berpendar di langit malam. Belum pernah saya melihat sebanyak itu, bahkan di beberapa perjalanan saya ke gunung lain sebelumnya. Di atas jalanan berumput, saya sempat merebahkan tubuh,  menikmati apa yang mata saya lihat. Ya, speechless itu sederhana.

Persahabatan Sungai dan Lima Gajah

Hari berikutnya, kami berkemas melanjutkan perjalanan dan singgah di pos gajah Pemerihan. Di sana, sudah menunggu para pawang gajah yang biasa disebut mahout dan tentu saja dengan gajahnya. Ada lima gajah pintar yang kemudian menyapa kami; Karnangin (yang paling besar), Renggo, Arni, Yongki, dan Tommy.

Tommy mempunyai tubuh paling kecil, berusia 4 tahun, dan sudah punya gading. Ia adalah gajah yang paling banyak dibicarakan di antara kami. Selain karena postur tubuhnya yang kecil (tingginya tidak lebih dari saya), juga karena cerita dibaliknya. Kabarnya, Tommy menyaksikan bagaimana ibunya dibunuh warga. Hidup sendiri dan tidak diterima oleh kelompoknya membuat Tommy harus berjalan jauh dari hutan, hingga akhirnya bertemu salah satu pawang yang kemudian membawanya ke area ini. Saat kami datang, Tommy tampak sedang mengikuti Arni, satu-satunya gajah betina yang tampaknya telah menjadi ibu angkat Tommy.

Kami diberi penjelasan dan bekal singkat mengenai apa yang harus dan jangan dilakukan antara manusia dan gajah ketika berinteraksi. Salah satunya adalah 'jangan mengagetkan'. Biarkan gajah tahu kita sedang atau hendak mendekati mereka. Jangan coba mengejutkan dengan kemunculan kita yang tiba-tiba, atau gajah bisa munculkan hal yang tak terduga seperti berlari menjauh atau malah menghampiri.

Gajah yang terus diburu karena mengganggu perkampungan atau karena alasan gadingnya yang bernilai mahal adalah kendala utama yang harus dihadapi oleh para penjaga dan pekerja TNBBS. Walaupun patroli kerap dilakukan, tapi kenyataannya perkembangan populasi tidak terlalu signifikan. Gajah liar yang lapar seringkali masuk dan memakan hasil kebun milik warga di sekitar TNBBS. Kalau sudah begitu, kenyataannya antara diusir, atau malah dikejar dan diburu.

Adegan berikutnya yang menjadi scene favorit saya selama perjalanan ini adalah memandikan gajah di sungai. Sungai dangkal sebatas dengkul itu begitu jernih dengan bebatuan koral di dasarnya. Gajah-gajah bertubuh besar itu turun ke sungai dengan biasa, tanpa kesulitan. Mahout yang menunggangi tengkuknya menggeliat mengikuti gerakan perlahan gajah yang anggun.

Gajah-gajah merebahkan diri di bebatuan dasar sungai, membiarkan kami satu persatu membasuhnya dengan air dan pasir basah. Gading yang berwarna kekuningan itu juga tak luput dari usapan tangan saya, rambut-rambut tajam dan panjang yang mencuat di beberapa bagian tubuh terlihat asyik untuk diraba, hingga ujung belalai yang berfungsi juga sebagai jari dan selalu bergerak-gerak yang menarik perhatian saya.

Saya diperbolehkan naik ke mamalia darat terbesar itu. Bersama Mbak Nuri, saya menaiki Renggo, gajah terpintar di kelompoknya. Rasanya menakjubkan berada di atas Renggo, kulitnya yang keras seakan kontras dengan gerakan tulang di tengkuk dan punggungnya yang perlahan, membuat area tulang ekor dan bokong saya terpijat. Beberapa saat kemudian, kami harus turun lantaran Mbak Vira dan Mas Edi hendak memotret para gajah beserta pawangnya, dengan berbagai pose; belalai terjulur, hingga kaki depan terangkat.

Para gajah kemudian berjalan di sungai dangkal, menimbulkan suara kecipak air yang indah. Ah, betapa saya yang kecil ini membayangkan sedang berada di Taman Jurassic. Mungkin satu dua ekor pteranodon terbang melintasi kami, lalu keluarga kecil triceratops mengambil buah dari sisi sungai, sementara para brontosaurus yang baru datang segera menyusul kami meneguk air sungai.

Berkendara Gajah Masuk Hutan

Usai dari sungai, kami kembali ke pos. Saya sempat memberi makan Tommy dengan buah pisang. Pintarnya, ketika Ester coba memberi kulit pisang, Tommy menolaknya mentah-mentah. Bahkan ketika kulit pisang ia beri bersamaan dengan pisang yang masih utuh pun ditolaknya. Ibu Lutfia mungkin adalah yang paling takjub dengan sosok Tommy. Berkali-kali ia foto dengannya, mengelus tubuhnya, memberinya pisang, juga berkata, "Tommy, kapan ya kita ketemu lagi?"

Gajah tidak mengenal rasa kenyang, demikian tukas pawang yang memperhatikan saya sedang memperhatikan gajah-gajah yang selalu makan pisang tanpa henti. Diberi makan sebanyak apapun, gajah sanggup menghabiskan. Sementara kalau lapar ia bisa mencuri kesempatan sekecil apapun. Mungkin itu sebabnya sering diberitakan tentang kawanan gajah yang masuk area perkebunan warga.

Satu persatu dari kami diberi kesempatan untuk mencoba rasanya 'berpatroli' dengan gajah. Saya kembali menaiki Renggo, entah kebetulan atau Renggo yang memilih saya. Namun, kali ini, selain dengan pawangnya, juga dengan Mas Edi. So, kami bertiga berada di punggung gajah, memasuki area hutan, turun, dan menyusuri sungai.

Usai patroli gajah, kami menanam bibit pohon, masih di area yang sama. Setelah sebagian lelaki pergi ke masjid untuk sholat Jumat, kami makan siang dan bergegas menuju micro-hydro, sekitar 30 km dari Pos Pemerihan. Namun sebelumnya, kami sempat mampir menemui warga tak jauh dari pos yang tergabung dalam forum sahabat gajah. Hebatnya, kelompok yang terdiri hingga 20 orang ini secara bergantian melakukan patroli malam. Siang patroli dari sekitar Maghrib dan baru pulang ke rumah setelah lewat Subuh. Siangnya mereka berkebun, ke sawah atau berdagang. Hebat!

Hujan Turun

Perjalanan panjang menuju lokasi micro-hydro disambut dengan hujan yang turun konsisten. Awet. Sebenarnya saya senang menyambut hujan, karena itu berarti bisa mereduksi debu-debu yang berterbangan. FYI, sepanjang perjalanan kami banyak menemui jalanan rusak dan berkerikil, atau kadang terkelupas sama sekali hingga tanah merahnya muncul. Kalau sudah begitu, debu tak mungkin bisa dihindari. Walau kaca mobil sudah ditutup, sepertinya partikel debu yang kecil-kecil itu sering berhasil masuk. Buktinya, saya bersin. Sniff....

Hujan yang turun ternyata menyurutkan langkah kami untuk mengunjungi lokasi micro-hydro. Jalan tanah licin yang menurun menuju lokasi tentu tidak mudah dilalui mobil. Padahal saya penasaran, seperti apa prosesnya. Kalau lihat di majalah atau tv sudah beberapa kali, tapi kalau langsung saya belum pernah. Saya penasaran bagaimana tenaga air itu bisa membuat aliran listrik untuk warga, walau masih dalam skala kecil. Saya sempat bertanya kepada salah satu warga yang jadi mitra WWF tentang micro-hydro, apakah energi yang didapat itu disimpan? Jawabnya tidak. Tapi ia jadi terpikir karenanya. Energi yang disimpan bisa digunakan untuk keperluan yang sifatnya hajat besar atau emergency. Listrik yang belum menjangkau sebagian besar di Pemerihan dan sekitarnya membuat warga mengandalkan generator-set. Tidak heran kalau selepas maghrib, situasi jadi gelap gulita kecuali cahaya bintang.

Singgah di Liwa

Lokasi yang akan kami tuju berikutnya adalah Danau Ranau. Kami melintasi jalan berkelok nan panjang dan terjal, melintasi kota kecil Krui, hingga akhirnya singgah di Hotel Sahabat Utama, Liwa. Pagi hari, saya berjalan kaki menyusuri tepian jalan yang terbungkus kabut bersama Mas Agus, sambil bercerita banyak hal. Kota yang tenang.

Selepas sarapan, kami segera berkendara menuju lokasi danau. Jalan kembali berkelok, melintasi pedesaan, berhenti sejenak untuk mengambil gambar di sebuah rumah panggung khas Lampung, melalui pasar tumpah di kiri dan kanan jalan, hingga akhirnya tiba di Danau Ranau.

Air Panas di Tepi Danau

Pemandangan air tawar terhampar luas di depan mata saya, dibatasi oleh gunung dan langit biru. Danau terbesar kedua di Sumatera ini terletak di perbatasan Lampung dan Sumatera Selatan, dengan tiga sisi lokasi yang bisa disinggahi pengunjung; Wisata Lombok, Pantai Sinangkalan, dan wisma PT Pusri.

Dengan kapal kecil, kami bertolak dari Wisata Lombok. Saya duduk di ujung kapal supaya merasa lebih dulu sampai daripada yang lain. Kami melewati beberapa tambak nila dan berlabuh di salah satu sisi yang terdapat sumber air panas. Satu persatu kami turun dan sebagian menyeburkan tubuh di tepian danau. Saya, Mas Iqbal, dan Pak Chairil membuka baju. Berenang dan coba merasai sensasi air belerang panas yang beradu dengan dinginnya air danau. Sebenarnya tidak ada yang istimewa, jika saja tidak ada sumber air panas belerang dan berenang di alam terbuka. Walau tidak ahli berenang, tapi suka berendam. Jadi jika ada air dan tidak dilarang, biasanya saya selalu menyeburkan diri.

Danau dengan banyak sisi permukaannya dipenuhi alga hijau ini sering mengeluarkan belerang, H2S. Terakhir yang paling banyak ketika tahun 2011 kemarin. Sama seperti Danau Maninjau di Sumatera Barat, membuat ikan-ikan banyak mati. Ikan bilis/bilih yang setahu saya tumbuh endemik di Maninjau juga banyak terdapat di sini, walau ikan nila adalah yang paling banyak dibiakkan. Danau ini sepi, tidak terlalu banyak kegiatan masyarakat di sekelilingnya. Perkampungan yang ada hanya sedikit, rata-rata bertanam kopi, cokelat, lada, atau pepaya. Sedikit sekali yang beternak sapi, pun demikian dengan tambak nila.

Oh iya, kabarnya tiap sore monyet-monyet dari atas bukit turun ke danau untuk mandi. Monyet-monyet akan kembali naik ketika tiba waktu maghrib, atau ketika monster Loch Ness muncul dari dasar danau mengagetkan mereka. ^^

Waktu Tepat untuk Berpisah

Selepas jam satu siang, kami meninggalkan Danau Ranau. Meninggalkan kenangan akan ikan nila yang tersaji dalam dua menu santan dan bening untuk makan siang, juga mentimun segar dan rebusan buncisnya. Baru beberapa meter mobil kami meluncur, hujan turun. Jalanan berkelok segera dipenuhi kabut tebal. Tapi karena telah terbiasa dengan medan, supir kami enggan memperlambat laju kendaraan. Di jalan serumit itu mereka tetap bisa ngebut dan membuat saya pusing. Saya pun tertidur.

Tiba di kota Bandar Lampung malam hari, kami menginap di hotel Amalia. Hotel besar, penginapan yang 'terlalu' nyaman dibandingkan dengan dua malam sebelumnya. Ah, seandainya menginap di tenda di padang rumput untuk malam ketiga. Di hotel, akhirnya saya bisa berselancar internet leluasa setelah puasa tiga hari. Melakukan blog-walking seperti biasa, dan mengomentari twit orang seenaknya. Tidur sekitar pukul 2 pagi, setelah lelah benar terasa, saya seperti diberi mimpi seksi yang baru itu saya alami.

Pagi hari, kami berkemas untuk perjalanan pulang menuju kota masing-masing, kecuali Mbak Maria yang tinggal semalam lagi untuk jadwal penerbangannya esok hari. Sempat mampir ke toko oleh-oleh bagi yang biasa beroleh-oleh. Kecuali saya yang cuma membawa empat bungkus keripik pisang kepok, itupun karena pesanan negara. Kebiasaan tidak membeli oleh-oleh sebenarnya meringankan bawaan... dan kantong, tentu saja. :p

Kami makan siang di Rumah Kayu, sebuah tempat makan yang konsepnya keren menurut saya. Porsi taman atau ruang terbuka hijaunya mungkin tiga kali lipat dari area makannya sendiri. Pepohonan besar tumbuh di antara tiap gazebo yang berisikan meja dan kursi untuk makan. Kolam-kolam berisikan ikan patin, nila, lele, hingga aiphama terbentang di beberapa sisi, meneduhkan sekali.

Masing-masing dari kami diberi kesempatan mengeluarkan uneg-uneg dan kesan selama trip. Saya berkata bahwa ini 'priceless' dan akhirnya bisa merasa dekat dengan WWF. Dulu sewaktu kuliah sempat berkeinginan untuk kerja di WWF, namun ternyata lebih dahulu dipinang TV7. Ingin lagi rasanya diberi kesempatan mengunjungi taman nasional atau daerah kecil lain di 'belantara' Indonesia.

Saya dan para supporter diberi kenangan berupa gajah kecil dari kayu kelapa. Pak Klass sendiri yang memberikan dan ia menyalami saya sambil mendoakan sukses untuk project-project saya, amiin...

Di bandara, ada perasaan sedih meninggalkan Lampung. Entah kapan saya bisa mengunjungi taman nasional lagi. Dengan total 51 taman nasional, harusnya saya bisa mengunjunginya secara berkala bergantian. Perasaan yang sama selalu saya alami tiap kali mengunjungi kota kecil, bahwa orang bisa hidup dengan segala keterbatasan. Adalah kreatifitas dan kemauan yang membuat mereka mampu melewatinya. Karena gak ada listrik mereka mengoptimalkan micro-hydro, karena jauh dari mana-mana maka salah satu keluarga di Sedayu memaksimalkan tanahnya untuk sayur, tanaman dapur, juga pelihara entok, ayam, dan itik. Kita bisa sebenarnya hidup tidak harus di kota atau daerah satelitnya. Salah satu cita-cita saya antara 10 atau 15 tahun lagi ya itu, tinggal di luar kota besar.

Dengan pesawat Garuda Indonesia, kami menuju Jakarta dan kembali ke kehidupan rutin dengan kemacetan dan berita politik yang diselingi kabar kekerasan. Saya berterima kasih pada WWF untuk pengalaman berharga ini, semoga petualangan seru kembali terjadi.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun