Selepas sarapan, kami segera berkendara menuju lokasi danau. Jalan kembali berkelok, melintasi pedesaan, berhenti sejenak untuk mengambil gambar di sebuah rumah panggung khas Lampung, melalui pasar tumpah di kiri dan kanan jalan, hingga akhirnya tiba di Danau Ranau.
Air Panas di Tepi Danau
Pemandangan air tawar terhampar luas di depan mata saya, dibatasi oleh gunung dan langit biru. Danau terbesar kedua di Sumatera ini terletak di perbatasan Lampung dan Sumatera Selatan, dengan tiga sisi lokasi yang bisa disinggahi pengunjung; Wisata Lombok, Pantai Sinangkalan, dan wisma PT Pusri.
Dengan kapal kecil, kami bertolak dari Wisata Lombok. Saya duduk di ujung kapal supaya merasa lebih dulu sampai daripada yang lain. Kami melewati beberapa tambak nila dan berlabuh di salah satu sisi yang terdapat sumber air panas. Satu persatu kami turun dan sebagian menyeburkan tubuh di tepian danau. Saya, Mas Iqbal, dan Pak Chairil membuka baju. Berenang dan coba merasai sensasi air belerang panas yang beradu dengan dinginnya air danau. Sebenarnya tidak ada yang istimewa, jika saja tidak ada sumber air panas belerang dan berenang di alam terbuka. Walau tidak ahli berenang, tapi suka berendam. Jadi jika ada air dan tidak dilarang, biasanya saya selalu menyeburkan diri.
Danau dengan banyak sisi permukaannya dipenuhi alga hijau ini sering mengeluarkan belerang, H2S. Terakhir yang paling banyak ketika tahun 2011 kemarin. Sama seperti Danau Maninjau di Sumatera Barat, membuat ikan-ikan banyak mati. Ikan bilis/bilih yang setahu saya tumbuh endemik di Maninjau juga banyak terdapat di sini, walau ikan nila adalah yang paling banyak dibiakkan. Danau ini sepi, tidak terlalu banyak kegiatan masyarakat di sekelilingnya. Perkampungan yang ada hanya sedikit, rata-rata bertanam kopi, cokelat, lada, atau pepaya. Sedikit sekali yang beternak sapi, pun demikian dengan tambak nila.
Oh iya, kabarnya tiap sore monyet-monyet dari atas bukit turun ke danau untuk mandi. Monyet-monyet akan kembali naik ketika tiba waktu maghrib, atau ketika monster Loch Ness muncul dari dasar danau mengagetkan mereka. ^^
Waktu Tepat untuk Berpisah
Selepas jam satu siang, kami meninggalkan Danau Ranau. Meninggalkan kenangan akan ikan nila yang tersaji dalam dua menu santan dan bening untuk makan siang, juga mentimun segar dan rebusan buncisnya. Baru beberapa meter mobil kami meluncur, hujan turun. Jalanan berkelok segera dipenuhi kabut tebal. Tapi karena telah terbiasa dengan medan, supir kami enggan memperlambat laju kendaraan. Di jalan serumit itu mereka tetap bisa ngebut dan membuat saya pusing. Saya pun tertidur.
Tiba di kota Bandar Lampung malam hari, kami menginap di hotel Amalia. Hotel besar, penginapan yang 'terlalu' nyaman dibandingkan dengan dua malam sebelumnya. Ah, seandainya menginap di tenda di padang rumput untuk malam ketiga. Di hotel, akhirnya saya bisa berselancar internet leluasa setelah puasa tiga hari. Melakukan blog-walking seperti biasa, dan mengomentari twit orang seenaknya. Tidur sekitar pukul 2 pagi, setelah lelah benar terasa, saya seperti diberi mimpi seksi yang baru itu saya alami.
Pagi hari, kami berkemas untuk perjalanan pulang menuju kota masing-masing, kecuali Mbak Maria yang tinggal semalam lagi untuk jadwal penerbangannya esok hari. Sempat mampir ke toko oleh-oleh bagi yang biasa beroleh-oleh. Kecuali saya yang cuma membawa empat bungkus keripik pisang kepok, itupun karena pesanan negara. Kebiasaan tidak membeli oleh-oleh sebenarnya meringankan bawaan... dan kantong, tentu saja. :p
Kami makan siang di Rumah Kayu, sebuah tempat makan yang konsepnya keren menurut saya. Porsi taman atau ruang terbuka hijaunya mungkin tiga kali lipat dari area makannya sendiri. Pepohonan besar tumbuh di antara tiap gazebo yang berisikan meja dan kursi untuk makan. Kolam-kolam berisikan ikan patin, nila, lele, hingga aiphama terbentang di beberapa sisi, meneduhkan sekali.