Mohon tunggu...
Heri Ismail
Heri Ismail Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Bangsa cerdas

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Digitalisasi Partai Politik dan Dampak Kelembagaannya

18 Februari 2024   19:24 Diperbarui: 18 Februari 2024   19:25 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MELALUI TULISAN "The Evolution of Party Organizations in Europe: The Three Faces of Party Organization," Katz dan Mair (1993) menjelaskan apa yang mereka sebut tiga wajah partai: pertama, partai di kelembagaan publik/politik (party in public office), yakni di parlemen atau pemerintahan. Yang kedua, partai di lapangan (party on the ground), yaitu pengurus, anggota, dan sebagainya. Yang ketiga, partai di kantor pusat (party cen- tral office), yaitu kepemimpinan nasional organisasi partai. Pada era media massa konvensional, masyarakat mengikuti dinamika partai dari pemberitaan media massa. Karenanya, media massa sangat menentukan masa depan partai, karena fungsi pemberitaannya. Wajah pertama selalu terpotret oleh media massa: bagaimana kiprah partai di parlemen dan pemerintahan, juga terutama wajah ketiga: manakala di kepengurusan pu sat partai terjadi gonjang-ganjing atau konflik politik antar-faksi/elite.

Di era digital ini, masyarakat memotret tiga wajah tersebut melalui lalulintas informasi di sosial media, dan langsung mengomentarinya se bagai komentar yang dapat disimak publik digital. Mereka bahkan bisa menggalang dukungan atas isu-isu tertentu yang berkenaan dengan perkembangan atau dinamika partai. Perang opini di media sosial tak terelakkan, dan ini yang membuat para elite partai yang disorot kewalahan. Karenanya, belakangan ini seluruh partai politik sadar akan perlunya strategi menguasai opini melalui media sosial, yang tentu saja berbeda dengan strategi via media konvensional. Meskipun media konvensional memiliki link di situs internet yang bisa dilihat publik kapan saja, tetapi gerak langkahnya jauh tertinggal oleh gegap gempita media sosial, yang seringkali bersumber pada informasi individual (bahkan sekedar kumpulan cuitan-cuitan pendek).

Teoritik, era digital menggiring partai politik semakin demokratis dalam mengurus kelembagaan internalnya, maupun dalam kebijakan politik yang berskala nasional. "Semakin demokratis" yang dimaksud, bukan terkungkung oleh apakah partai bersangkutan merupakan pen- dukung atau penyokong koalisi pemerintahan atau tidak. Tetapi lebih ke konteks bagaimana mengurus kelembagaan partai dengan baik (misalnya dengan menjaga tradisi demokrasi deliberatif, memberi kesempatan se luruh pemangku kepentingan di dalam kepengurusan maupun di luar partai unjuk pendapat). Juga bagaimana para elite utama partai, mampu beragumentasi dengan baik, ketika menyatakan sikap politiknya (tidak asal "pokoknya"). Karenanya, unjuk pendapat pera elite partai akan terus terpantau publik: berbobot atau tidak. Inilah konsekuensi era digital, bahwa publik punya kekuatan untuk memantau atau mengintai (public surveillance) ke semua partai-partai politik. Kelengkapan datanya, dapat mereka perika di lalulintas informasi sosial media.

Menghdadirkan Ulang Parpol:
Penguatan Jejaring Kepartaian Digital

Pada sub ini hendak memaparkan konteks ketiga, ketika kita membahas digitalisasi parpol. Intinya, bagaimana ikhtiar digital (melalui media sosial) diarahkan untuk memperkuat jejaring kepartaian, sedemikian rupa sehingga parpol hadir kembali. Yang dimaksud dengan hadir kembali di sini ialah, parpol memiliki pengikut digital-like yang signifikan. Sesungguhnya, dalam perspektif perilaku pemilih, hal ini identik dengan menunjukkan bahwa suatu parpol memiliki party-id yang kuat, dan dengan mudah dapat dicek secara digital. Jejaring yang kuat, terekspresikan dengan ketidakengganan para kader, pendukung dan simpatisan sebuah partai untuk berekspresi secara terbuka di media sosial. Apakah mereka merupakan orang-orang yang benar-benar mencintai parpol tersebut, sekadar mengikuti tren, atau mengejar insentif politik tertentu?

Partai digital pada hakikatnya merupakan partai yang terbuka, kalau bukan telanjang, karena siapapun (pengurus, simpatisam dam publik luas) bisa memberikan penilaian secara kritis tanpa harus merasa dibebani oleh tekanan politik. Ini bisa dipahami mengingat sunatullah komunikasi digital ialah kecenderungan egaliternya sedemikian rupa, bahkan juga memberi ruang bagi mereka yang anonim, idealnya, partai digital ialah partai yang sudah selesai dengan masalah-masalah demokrasi internalnya, dengan kalimat lain otomatis tergerus kecenderungan feodalisasi politik partai. Para oligark yang terkondisikan ke faksi-faksi internal partai, memang tak terelakkan adanya. Mereka harus mempertimbangkan berbagai as pek, terutama penilaian publik (mengingat adanya public-surveillance) manakala harus bermanuver di ranah kepolitikan internalnya, mengingat konteksnya ialah keterpengaruhannya pada kondisi soliditas internal ke lembagaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun