Mohon tunggu...
Heri Ismail
Heri Ismail Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Bangsa cerdas

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Digitalisasi Partai Politik dan Dampak Kelembagaannya

18 Februari 2024   19:24 Diperbarui: 18 Februari 2024   19:25 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                      matraman, jakarta timur

Pada tema ini saya ingin menguraikan bagaimana Partai Politik di negara-negara  demokrasi, tak terelakan lagi, dihadapkan pada terbukanya peluang sekaligus tantangan yang dihadirkan oleh teknologi digital. Sudah merupakan kelaziman, manakala teknologi digital dimanfaatkan, terutama untuk keperluan kampanye, menarik minat sebanyak mungkin pendukung; atau untuk memenangkan opini tertentu bahkan untuk menyudutkan lawan politik melalui para buzzer dan tentara siber. Di era ini, parpol- parpol semakin merambah jauh dalam pemanfaatan peranti-peranti digital baru, memanfaatkan konsultan politik yang canggih dalam mengutak-atik mahadata-kendati dalam kasus tertentu dipandang tak etis, bahkan dalam kasus Cambridge Analytica Pilpres AS 2016 masuk ke ranah kejahatan. 

Di sisi lain berkembang pengertian partai digital sebagai bentuk baru peng- organisasian khalayak yang memanfaatkan peranti-peranti digital untuk membuat parpol-parpol alternatif. Parpol digital dalam pengertian ini, sepenuhnya berangkat dari inisiatif yang berkembang di ranah komunitas digital-yang memiliki kesamaan pandangan atas ragam isu politik. Mereka berdiskusi lantas bergerak ke dunia nyata, menghadirkan diri sebagai parpol digital, terlepas eksperimen demikian dapat berhasil atau sebaliknya, gagal.

PERKEMBANGAN TEKNOLOGI digital, banyak memunculkan peluang inovasi baru parpol. Ia menghasilkan dampak kelembagaan: parpol ber- peluang sebagai organisasi yang lebih demokratis, kendatipun tak semua kasus menunjukkan hal sedemikian, karena sering tak terelakkan rivalitas faksionallah yang mengemuka. Politik memang dinamis, bukan kumpulan rumus matematika yang hasilnya jelas. Kontestasi kepentingan hal yang abadi. Sehingga, dalam konteks ini, ikhtiar ke arah parpol digital yang ideal, seringkali dinilai bahwa hal semacam itu sekadar fiksional semata- mata. Karenanya, parpol digital menjadi sebatas minimalis saja: yakni parpol yang memanfaatkan teknologi digital untuk keperluan-keperluan strategisnya. Teknologi digital berkaitan dengan peranti-peranti, alat-alat, tetapi yang menentukan dan membuat sebuah sistem berjalan dengan baik, tetap saja para aktivisnya.

Tiga Konteks Parpol Digital

SETIDAKNYA TERDAPAT tiga konteks parpol digital. Yang pertama, sebut saja konteks eksperime  ntatif, di mana parpol-parpol digital hadir dalam kondisi atau menjadi bagian integral dari generasi digital pribumi (native digital) - ketika jagat digital terhubung secara daring dengan peranti peranti teknologinya yang semakin praktis dan dapat dimiliki semua orang Disebut eksperimentatif karena penggagas dan penggeraknya menuangkan gagasan dan isu-isu politiknya dengan sepenuhnya memanfaatkan internet atau media sosial, memperkuat gaungnya, sehingga tercipta pola mobilisasi atau partisipasi digital warganet. Uraian di bawah nanti, banyak merujuk ke pengalaman Eropa - tetapi tidak terjadi di AS atau di tempat lain, terutama dalam hal keberhasilannya. Eksperimen politik melalui parpol-parpol digital banyak yang sukses, kendati tidak sedikit yang gagal. Dalam kontestasi kepolitikan Eropa yang dinamis, dipenuhi isu dan pengelompokan populis Kanan atau Kiri, kehadiran partai-partai digital di Eropa ialah fenomena.

Konteks kedua, parpol digital sebagai digitalisasi kelembagaan kepar- taian. Di sini, kita tetap akan bicara tentang konsep kelembagaan ideal organisasi politik, dan keharusannya beradaptasi dengan jagat digital yang berdaya disrupsi hebat dan tidak bisa disepelekan. Respons- respons digital keorganisasian sesungguhnya tak hanya ber-urusan dengan parpol-parpol, tetapi juga lembaga-lembaga politik atau ketatanegaraan lain di level suprastruktur, seperti pemerintah dan parlemen; maupun infrastruktur, termasuk di dalamnya organisasi-organisasi atau kelompok- kelompok dalam masyarakat. Dalam pengertian digitalisasi kelembagaan, parpol-parpol digital mencerminkan keharusannya melakukan digitalisasi kelembagaan - mengingat dewasa ini tidak mungkin suatu parpol yang sama sekali konvensional-manual. Masalahnya, digitalisasi yang seharusnya berkonsekuensi transparansi dan profesionalitas kinerja lembaga, seringkali terbentur oleh mengemukanya karakter aktor-aktor politik yang tertutup, eksklusif, kurang suka proses demokrasi internal berkembang dengan baik di internal organisasi. Kita bisa menjelaskan fenomena ini dari perspektif oligarki kelembagaan, apakah dalam pengertian Robert Michels, ataukah konsepnya yang lebih baru dari Jeffrey Winters, oligarki sebagai kontestasi para oligark dalam mempertahankan 'pertahanan kekayaan' masing-masing. Inilah yang menyebabkan tema parpol digital dalam pengertian respons kelembagaan secara digital berujung pada pertanyaan yang dilematis jawabannya: apakah digitalisasi kelembagaan politik mampu mendemokratiskan parpol, ataukah sebaliknya?

Konteks ketiga, parpol sebagai pergerakan dan/atau jejaring politik digital (movement-like). Konteks ini terkait dengan konteks pertama, se- kaligus kedua: sebagai organisasi yang membutuhkan dukungan politik luas dari masyarakat/konstituen, melalui jejaring yang dimilikinya, par- tai politik memanfaatkan media sosial, agar disukai. Hubungan antara pergerakan dan parpol merupakan konteks penting untuk memahami bagaimana media digital membentuk kembali partai. Dengan kata lain jejaring yang dihidupkan secara digital membentuk kembali wajah/citra parpol. Pertanyaannya ialah, bagaimana menghidupkan jejaring parpol secara digital, sehingga membuat wajah parpol kembali terbentuk?

Partai Digital: Otomatisasi Aspirasi vs Jebakan Populisme

PAOLO GERBAUDO dalam The Digital Party melukiskan kreativitas para aktivis pergerakan dalam merespons perkembangan jagat digital, berupa pembuatan parpol tandingan. Parpol digital yang dimaksudnya merujuk model organisasi baru yang hadir di sejumlah formasi politik Eropa - seringkali dengan nama aneh dan kekinian. Misalnya, ada Partai Bajak Laut (Pirate Parties) di Eropa Utara; formasi populis sayap kiri Podemos di Spanyol, France Insoumise di Perancis; dan organisasi kampanye Momentum yang mendorong lonjakan popularitas Partai Buruh Corbyn di Inggris. Terlepas perbedaannya, berbagai formasi tersebut menunjukkan kesamaan dalam cara berjanji mewujudkan model politik baru yang didukung teknologi digital: klaim politik yang lebih demokratis, terbuka, langsung, otentik dan transparan. Gerbaudo mengulas fenomena parpol-parpol yang kehadirannya sejak awal memanfaatkan teknologi digital tersebut berikut keterbatasannya. Sekali lagi, parpol digital dalam konteks ini, menggunakan teknologi digital dan dimaksudkan untuk kepentingan idealnya: merancang bentuk-bentuk baru partisipasi politik dan pengambilan keputusan yang demokratis. Mereka yang mendeklarasikannya via internet mengklaim perannya sebagai kampiun "masyarakat digital baru", yang berhadapan dengan "struktur yang berkarat dan rapuh" masyarakat neoliberal yang terlanda krisis, dan "kondisi politiknya usang".

Parpol digital ialah 'parpol platform', meniru logika perusahaan digita seperti Facebook dan Amazon yang mengintegrasikan logika data-data jejaring sosial dalam struktur pengambilan keputusannya. Penggunan teknologi digital diarahkan menyokong demokrasi akar rumput yang lebih terbuka. Seperti perusahaan internet, ia terus berupaya memperluas basis datanya. Parpol digital mengingatkan pada 'perusahaan unicorn' seperti Uber, Deliveroo dan Airbnb yang berbagi kemampuan untuk tumbuh sangat cepat. Gerakan Bintang Lima misalnya, dalam waktu kurang dari satu dekade sejak kelahirannya berhasil menjadi partai terbesar di Italia. Seperti jejaring sosial, ia memanfaatkan 'keterlibatan' pendukung dan simpatisannya, terus-menerus sibuk mendapatkan umpan balik dari basis anggota atau pengguna, mengumpulkan ide-ide mereka, melontarkan pendapat, mengukur respons publik, serta memodifikasi strategi dan pesan yang sesuai. Ia mengadopsi proses pendaftaran gratis aplikasi media sosial, juga memanfaatkan biaya marjinal yang hampir nol untuk berkomunikasi daring. Karenanya, parpol digital ialah terjemahan model bisnis dan ino- vasi organisasi perusahaan digital ke arena politik, dan penerapannya pada proyek idealis pembangunan demokrasi di zaman digital. Munculnya parpol digital merupakan pertanyaan menarik semua orang yang tertarik transformasi politik era digital, di tengah periode transformasi politik yang begitu cepat, ketika sistem yang biasanya stabil, tiba-tiba terbuka bagi 'intervensi baru'. Sejak awal krisis keuangan 2008, arena politik negara-negara Barat terdampak kekacauannya ketika kemampuan pre- diktif jurnalis, analis, dan lembaga survei terbalik, seperti dalam kasus kemenangan kandidat kuda hitam Donald Trump pada pilpres AS 2016.5

PARTAI BAJAK LAUT didirikan di Swedia pada 2006 oleh pengusaha dan mantan politisi liberal Rick Falkvinge, menyusul keributan pasca-ketetapan peradilan yang menutup Pirate Bay, layanan berbagi populer unduhan film, buku, dan video game secara gratis. Pirate Bay dipandang memfasilitasi pengelakan hak cipta. Partai Bajak Laut diluncurkan Falkvinge melalui petisi perlunya parpol baru yang berfokus masalah-masalah hak cipta, berbagi unduhan, dan reformasi paten. Simbolnya, bajak laut hitam menyerupai huruf P. Eksperimen ini mampu mengumpulkan ribuan pendukung, bahkan, pada pemilu 2006, ia memperoleh 0,63 persen suara, dan mencapai hasil mengesankan dalam pemilu Eropa 2009 skornya mencapai 7,13 persen suara yang mengantarkan dua Anggota Parlemen Eropa (MEP) untuk Swedia." ketika

Pada 2010, Partai Bajak Laut Internasional (Pirate Parties Interna fional) didirikan di Brussel dengan cabang-cabangnya di sejumlah negara Eropa. Dalam pemilu negara bagian 2011 di Berlin, Partai Bajak Laut Jerman memperoleh 8,9 persen suara, memenangkan 15 dari 141 kursi di majelis lokal. Namun, setelah itu, partai ini dirusak skandal dan perselisihan internal. Keberhasilan Partai Bajak Laut lainnya, Piratar di Islandia yang didirikan sejumlah aktivis digital, Birgitta Jnsdttir dan Smri McCarthy. Piratar mendapat dukungan suara yang bagus pada pemilu nasional 2016 dan 2017, yang pada beberapa kesempatan terlibat pembicaraan untuk bergabung dengan pemerintah koalisi, kendati gagal. Prestasi yang cukup fenomenal terjadi di Republik Ceko. Pada pemilu legislatif 2017. Partai Bajak Laut Ceko memperoleh lebih dari 10 persen suara, menjadikannya kekuatan politik elektoral terbesar ketiga di negara itu. Namun, dilihat dari sudut pandang internasional, Bajak Laut kehilangan sebagian besar momentum awal mereka. Beberapa tahun terakhir muncul beberapa par- pol yang mendekati ideologi Partai Bajak Laut. Misalnya, Partido de la Red (Party of the Net) di Argentina, Wikipartido (Wikiparty) di Meksiko, dan Partido X (Party X) di Spanyol. Formasi-formasi tersebut mengusulkan wacana techno-utopian, yang yakin bahwa teknologi digital akan memimpin kita menuju masa depan yang lebih baik. Namun, mereka belum terlalu berhasil menerjemahkan visinya menjadi hasil pemilu yang signifikan."

Gerbaudo juga mengajak melihat fenomena Gerakan Bintang Lima (Movimento 5 Stelle, M5S) di Italia dan Podemos di Spanyol, dua formasi populis yang banyak berinvestasi dalam pengembangan bentuk organisasi digital. Gerakan Bintang Lima, yang setelah pemilu nasional 2018 menem- pati peringkat pertama di Italia, secara resmi diluncurkan pada 4 Oktober 2009 di Teatro Smeraldo di Milan kendatipun asal-usulnya terkait serangkaian mobilisasi pertengahan 1990-an yang digerakkan Beppe Grillo, pendiri partai. Dia komedian dan satiris karismatik yang mampu mengubah pertunjukan teaternya menjadi "serangan hebat terhadap kelas politik yang korup". Langkah kunci mobilisasinya dilakukan pada hari anti-korupsi Vaffanculo pada 8 September 2007 di beberapa tempat di Italia. Lima puluh ribu orang berkumpul di Piazza Maggiore, Bologna, pada puncak kampanye 'parlemen bersih, menyoroti keberadaan lusinan politisi dengan catatan kriminal. Gerakan ini mengadopsi simbol merah 'V' yang dipopulerkan film V for Vendetta dan dipakai sebagai logo resmi.

Keberhasilan memobilisasi, karena popularitas selebriti Beppe Grillo, dipadukan strategi media yang jitu Casaleggio Associati, konsultan digital yang dikelola Gianroberto Casaleggio. Berkat dukungan Casaleggio, Grillo mendirikan www.beppegrillo.it yang sangat populer - alamat web-nya ialah alamat resmi partai. Gerakan ini mengelola kelompok-kelompok lokal yang diorganisir melalui layanan daring Meetup. Platform kebijakannya, awalnya menyerupai Partai Hijau dengan lima gerakan bintang yang mewakili air (di bawah kepemilikan publik), lingkungan, konektivitas internet gratis, pembangunan berkelanjutan, dan transportasi rendah kar. bon dalam pemilu lokal antara 2009 dan 2012. Namun, secara progresif tercakup isu-isu populis lainnya, menyerang korupsi politik, menuntut penegakan hukum dan ketertiban, hingga imigrasi. Sebagai 'parpol web, M5S mengadakan serangkaian konsultasi daring dengan pemilih mengenai kandidat lokal dan nasional - tak hanya comunarie untuk dewan lokal, parlamentarie untuk parlemen, tetapi juga quirinarie untuk kandidat presiden - dan referendum daring tentang sejumlah masalah. M5S juga menciptakan Rousseau, sistem diskusi dan pemungutan suara yang pada awalnya 'sistem operasi bintang lima' berisi serangkaian fitur, seperti UU partisipatif tingkat regional, nasional dan Eropa.

MESKIPUN berbeda dengan Gerakan Bintang Lima secara ideologi mau- pun struktur organisasi, Podemos menampilkan antusiasme yang sama terhadap media digital. Podemos, nama adaptasi dari anggota serikat buruh 'Si, se puede Cesar Chavez dan 'Ya kita bisa' Barack Obama, di- luncurkan 17 Januari 2014 atas prakarsa ilmuwan politik Pablo Iglesias Turrin - didukung para kolega dan rekannya di Complutense University of Madrid; kelompok-kelompok gerakan sosial dan radikal kiri, termasuk Izquierda Anti-capitalista yang anti-kapitalis, dan sebuah faksi Trotskis. Kehadirannya ditandai gelombang mobilisasi gerakan protes Indignados 2011, juga dikenal 15-M (15 Mei 2011), dan memanfaatkan daya tarik selebritas Pablo Iglesias, narasumber reguler talkshow politik. Kekuatan elektoral Podemos tercatat sejak pemilu Eropa 2014, ketika memperoleh delapan persen suara, dan lima anggota parlemen hanya dua bulan setelah berdirinya. Dalam pemilu kota 2015 di Barcelona dan Madrid, dua perempuan, Ada Colau dan Manuela Carmena, terpilih sebagai walikota. Dalam pemilu parlemen Desember 2015 dan Juni 2016, Podemos berada di urutan ketiga. Podemos lebih tradisional dalam identitasnya sebagai sayap kiri dan struktur organisasinya menggabungkan berbagai organ yang biasanya ditemukan di partai massa, seperti sekretaris dan komite pusat. Namun, karakteristiknya sebagai parpol yang merangkul teknologi digital di semua tingkatan jelas: menggunakan media sosial secara efektif sebagai alat mobilisasi, dan dengan cepat menjadi partai di Spanyol paling populer di Twitter dan Facebook. Podemos menampilkan dirinya sebagai kekuatan yang selaras semangat budaya digital, prihatin dengan masalah transparansi, dan memperjuangkan hak-hak pekerja ekonomi digital.

GERBAUDO MENCATAT, Partai Bajak Laut, Gerakan Bintang Lima, dan Podemo merupakan manifestasi paling ikonik dari format parpol digital. Namun, sejumlah fenomena menampilkan kecenderungan serupa, seperti France Insoumise dan Momentum. France Insoumise atau Unbowed France/Unubmissive France - ialah parpol populis sayap kiri yang di- dirikan pada 2016 oleh mantan politisi Sosialis Jean-Luc Mlenchon. Sim- bolnya phi yang terlihat seperti orang dengan kepalan tangan. Namun, Prancis Insoumise berbeda, apabila dibandingkan dengan partai-partai kiri tradisional dalam merangkul demokrasi digital dan menghilangkan struktur birokrasi tradisional. Ia menggunakan perangkat lunak Nation- Builder untuk mengumpulkan pendukung dan mengembangkan platform khusus untuk membuat keputusan, terkait kebijakan dan strategi, dan menggunakan media sosial, video YouTube bahkan video game sebagai alat propaganda."

Semangat serupa dalam inovasi organisasi tampak pada Momentum, organisasi politik sayap kiri yang awalnya didirikan Jon Lansman, Adam Klug, Emma Rees dan James Schneider setelah pemilihan Jeremy Corbyn sebagai pemimpin Partai Buruh pada musim gugur 2015. Momentum mendeskripsikan diri sebagai organisasi yang ingin membangun energi dan antusiasme kampanye Jeremy Corbyn for Labour Leader, mening- katkan demokrasi partisipatif, solidaritas, kekuatan akar rumput, dan membantu Partai Buruh menjadi parpol pemerintahan transformatif abad ke-21. Momentum mampu memanfaatkan media sosial secara efektif, mendirikan My Momentum, sebuah platform daring yang memungkinkan anggotanya berpartisipasi dalam diskusi dan pembuatan keputusan. Bebe- rapa kecenderungan parpol digital juga dapat dilihat dalam kampanye kepresidenan Bernie Sanders di AS pada 2016 yang inovatif dalam peng- organisasian digital. Penggunaan media sosial secara kasar oleh Donald Trump pun nyatanya berkontribusi besar pada penaklukannya di Gedung Putih. Emmanuel Macron, ketika menjadi kandidat presiden Perancis juga memiliki platform digital untuk mencapai kesuksesannya.

PARPOL-PARPOL digital merupakan 'organisasi netroots' yang secara keorganisasian berbeda dengan 'organisasi warisan' - parpol tradisional yang didirikan sebelum era digital. Dalam 'organisasi warisan' penggunaan teknologi digital cenderung menyangkut proses intra-organisasi dan ko-munikasi eksternal dengan pihak-phak yang menjadi target mereka. la cenderung sangat berhati-hati menyerap teknologi digital serta me- manfaatkan media massa konvensional sebagai sarana kampanye. Se- baliknya, organisasi netroots memanfaatkan teknologi digital sebagai pendorong 'demokrasi intrapartai. Dalam parpol-parpol tradisional, transformasi yang dibawa oleh teknologi digital hanya terjadi dalam hubungan mereka dengan dunia luar; tetapi parpol digital, keseluruhan kehidupan kepartaiannya dibiarkan terbuka dan disusun kembali berdasarkan gagasan-gagasan demokrasi yang lebih langsung dan partisipatif. Meringkas pendapatnya, Gerbaudo mencatat, parpol-parpol digital melakukan transformasi digital ke struktur internal peng-ambilan kepu- tusan, ketimbang sekadar pemanfaatan peranti ko-munikasi digital sebagai sarana penjangkauannya ke pihak-pihak eksternal. Parpol digital tidak sekadar merujuk mereka yang hadir di era digital, akrab dengan kultur demokrasi populis. Tetapi, format parpol digital juga dapat dilihat dari transformasi parpol-parpol lama seperti Partai Buruh di Inggris, SPD di Jerman, dan PSOE di Spanyol yang telah secara progresif mengadopsi plat- form pengambilan keputusan daring dan wacana demokrasi digital."

Digitalisasi Wajah Parpol dan Public Surveillance

SECARA IDEAL teknologi digital mampu mendemokratisasikan suatu organisasi politik - justru karena memberi ruang bagi transparansi dan partisipasi luas melalui peranti digital. Melalui perangkat digital, misalnya sebuah partai politik dapat menayangkan kondisi keuangannya secara transparan-tetapi dalam praktiknya tidak semua partai, bahkan ditengarai sebagian besar, tidak akan melakukan itu, justru karena kekhawatiran elite pengelolanya yang takut terkena pinalti. Kalaupun terpaksa ditayangkan, laporan keuangan itu, tentu sudah dalam format rekayasa atau seka- dar memenuhi ketentuan formal penyelenggara pemilihan umum. Partai politik, dalam hal ini elite-elite berkuasa dalam partai itu, tentu ti- dak sepenuhnya bisa mengeluarkan berbagai informasi penting secara obyektif kecuali informasi subyektif yang memiliki tendensi. Ruang perbedaan pendapat, tentu tidak dihadirkan dalam website resmi partai, sehingga para peneliti dinamika politik di internal partai tidak bisa sekadar memanfaatkan data-data atau informasi yang dihimpun dari situ. Realitas konfliktual tentu tidak dihadirkan di sana - kecuali kalau ada partai yang pecah dan masing-masing kelompok membuat website sendiri, sehingga peneliti memiliki data atau informasi pembanding.

MELALUI TULISAN "The Evolution of Party Organizations in Europe: The Three Faces of Party Organization," Katz dan Mair (1993) menjelaskan apa yang mereka sebut tiga wajah partai: pertama, partai di kelembagaan publik/politik (party in public office), yakni di parlemen atau pemerintahan. Yang kedua, partai di lapangan (party on the ground), yaitu pengurus, anggota, dan sebagainya. Yang ketiga, partai di kantor pusat (party cen- tral office), yaitu kepemimpinan nasional organisasi partai. Pada era media massa konvensional, masyarakat mengikuti dinamika partai dari pemberitaan media massa. Karenanya, media massa sangat menentukan masa depan partai, karena fungsi pemberitaannya. Wajah pertama selalu terpotret oleh media massa: bagaimana kiprah partai di parlemen dan pemerintahan, juga terutama wajah ketiga: manakala di kepengurusan pu sat partai terjadi gonjang-ganjing atau konflik politik antar-faksi/elite.

Di era digital ini, masyarakat memotret tiga wajah tersebut melalui lalulintas informasi di sosial media, dan langsung mengomentarinya se bagai komentar yang dapat disimak publik digital. Mereka bahkan bisa menggalang dukungan atas isu-isu tertentu yang berkenaan dengan perkembangan atau dinamika partai. Perang opini di media sosial tak terelakkan, dan ini yang membuat para elite partai yang disorot kewalahan. Karenanya, belakangan ini seluruh partai politik sadar akan perlunya strategi menguasai opini melalui media sosial, yang tentu saja berbeda dengan strategi via media konvensional. Meskipun media konvensional memiliki link di situs internet yang bisa dilihat publik kapan saja, tetapi gerak langkahnya jauh tertinggal oleh gegap gempita media sosial, yang seringkali bersumber pada informasi individual (bahkan sekedar kumpulan cuitan-cuitan pendek).

Teoritik, era digital menggiring partai politik semakin demokratis dalam mengurus kelembagaan internalnya, maupun dalam kebijakan politik yang berskala nasional. "Semakin demokratis" yang dimaksud, bukan terkungkung oleh apakah partai bersangkutan merupakan pen- dukung atau penyokong koalisi pemerintahan atau tidak. Tetapi lebih ke konteks bagaimana mengurus kelembagaan partai dengan baik (misalnya dengan menjaga tradisi demokrasi deliberatif, memberi kesempatan se luruh pemangku kepentingan di dalam kepengurusan maupun di luar partai unjuk pendapat). Juga bagaimana para elite utama partai, mampu beragumentasi dengan baik, ketika menyatakan sikap politiknya (tidak asal "pokoknya"). Karenanya, unjuk pendapat pera elite partai akan terus terpantau publik: berbobot atau tidak. Inilah konsekuensi era digital, bahwa publik punya kekuatan untuk memantau atau mengintai (public surveillance) ke semua partai-partai politik. Kelengkapan datanya, dapat mereka perika di lalulintas informasi sosial media.

Menghdadirkan Ulang Parpol:
Penguatan Jejaring Kepartaian Digital

Pada sub ini hendak memaparkan konteks ketiga, ketika kita membahas digitalisasi parpol. Intinya, bagaimana ikhtiar digital (melalui media sosial) diarahkan untuk memperkuat jejaring kepartaian, sedemikian rupa sehingga parpol hadir kembali. Yang dimaksud dengan hadir kembali di sini ialah, parpol memiliki pengikut digital-like yang signifikan. Sesungguhnya, dalam perspektif perilaku pemilih, hal ini identik dengan menunjukkan bahwa suatu parpol memiliki party-id yang kuat, dan dengan mudah dapat dicek secara digital. Jejaring yang kuat, terekspresikan dengan ketidakengganan para kader, pendukung dan simpatisan sebuah partai untuk berekspresi secara terbuka di media sosial. Apakah mereka merupakan orang-orang yang benar-benar mencintai parpol tersebut, sekadar mengikuti tren, atau mengejar insentif politik tertentu?

Partai digital pada hakikatnya merupakan partai yang terbuka, kalau bukan telanjang, karena siapapun (pengurus, simpatisam dam publik luas) bisa memberikan penilaian secara kritis tanpa harus merasa dibebani oleh tekanan politik. Ini bisa dipahami mengingat sunatullah komunikasi digital ialah kecenderungan egaliternya sedemikian rupa, bahkan juga memberi ruang bagi mereka yang anonim, idealnya, partai digital ialah partai yang sudah selesai dengan masalah-masalah demokrasi internalnya, dengan kalimat lain otomatis tergerus kecenderungan feodalisasi politik partai. Para oligark yang terkondisikan ke faksi-faksi internal partai, memang tak terelakkan adanya. Mereka harus mempertimbangkan berbagai as pek, terutama penilaian publik (mengingat adanya public-surveillance) manakala harus bermanuver di ranah kepolitikan internalnya, mengingat konteksnya ialah keterpengaruhannya pada kondisi soliditas internal ke lembagaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun