Mohon tunggu...
Dr. Herie Purwanto
Dr. Herie Purwanto Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Bismilah, Menulis tentang : - Korupsi dan Bunga Rampai (2022) - Korupsi (2023) - Hukum dan Korupsi (22 Oktober 2024 sd. sekarang) - Sebelum aktif di Kompasiana (2022), menulis di Jawa Pos, Suara Merdeka, Tribun dan Beberapa Media Internal Kepolisian. (Masuk Dalam Peringkat #50 Besar dari 4.718.154 Kompasianer Tahun 2023)

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Isu Intervensi, Bantahan Presiden dan Pesan di Baliknya

5 Desember 2023   10:38 Diperbarui: 5 Desember 2023   12:20 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memasuki tahun panas, tahun politik 2024 yang tinggal beberapa bulan lagi, situasi sudah mulai hangat dengan munculnya isu-isu "panas". 

Isu panas ini, dikarenakan muncul dari pejabat atau mantan pejabat yang ditujukan pada rezim yang tengah berkuasa. Terlepas, apapun kepentingannya termasuk misalnya untuk kepentingannya politis, namun membuat publik terjengah dan ingin mengetahui bagaimana ending dari isu tersebut. S

alah satunya adalah isu intervensi Presiden Jokowi pada kasus E-KTP yang menjerat Setyo Novanto yang dihembuskan oleh mantan Ketua KPK Agus Rahardjo. Meski Presiden Jokowi sendiri membantah hal ini. Dalam sepekan isu ini menjadi trending.

Saya kutip dari Kompas.com, Presiden Joko Widodo membantah adanya intervensi dalam penanganan kasus E-KTP yang melibatkan eks Ketua DPR RI, Setya Novanto pada 2017 lalu. 

Hal ini disampaikan Jokowi menanggapi langkah eks Ketua KPK Agus Rahardjo, yang baru-baru ini mengungkapkan bahwa ia sempat mendapat perintah dari Presiden Jokowi untuk menghentikan kasus Setya Novanto pada 2017. 

Presiden menjelaskan, ada tiga hal yang menjadi bukti tidak adanya intervensi pemerintah dalam kasus itu. "Yang pertama coba dilihat, dilihat di berita tahun 2017 di bulan November saya sampaikan saat itu Pak Novanto, Pak Setya Novanto ikuti proses hukum yang ada. Jelas berita itu ada semuanya," ujar Jokowi di Istana Merdeka, Senin (4/11/2023). 

"Yang kedua, buktinya proses hukum berjalan. Yang ketiga, Pak Setya Novanto sudah dihukum, divonis dihukum berat 15 tahun," lanjutnya.

Artikel tidak ingin mengulik benar tidaknya isu tersebut, namun klu dari isu tadi yang menarik dan menjadi bahasan, yaitu benarkah KPK bisa diintervensi dalam proses hukum penegakan tindak pidana korupsi? 

Prespektifnya adalah yuridis formal, yaitu Undang-Undang No 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, meskipun dalam konteks isu intervensi pada kasus E-KTP tadi konteksnya KPK masih tunduk pada Undang-Undang yang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002. Namun dengan UU KPK yang barupun itu masih beririsan.

Ihwal bahwa Komisi Pemberantasn Korupsi merupakan lembaga yang "tidak boleh" diintervensi mendasari pada Pasal 3 UU Nomor 19 Tahun 2019. Disebutkan pada Pasal 3 bahwa   Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya  bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

Jelas frasa kata independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, menjadikan KPK, meski dalam rumpun eksekutif di mana pimpinan tertinggi di lembaga eksekutif adalah Presiden, tidak bisa diperintah-perintah oleh Presiden. 

Pada implementasinya, dalam kurun waktu KPK lahir hingga muncul isu adanya intervensi tadi, ragam peristiwa berskala nasional menyertai lembaga KPK. 

Sebut misalnya bagaimana kiprah pemberantasan korupsi memunculkan istilah Cicak Vs Buaya Jilid I dan II, sampai terbaru penetapan Ketua KPK sebagai tersangka pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian SYL.

Dari sini, saya ingin mengatakan betapa masalah korupsi menjadi masalah yang seksi untuk ditampilkan, berbarengan dengan isu yang menyertainya. Berbicara korupsi, akan bersinggungan juga dengan kekuasaan. Sangat dipahami, terjadinya korupsi pasti melibatkan kekuasaan. 

Dari pemilik kekuasaan ia menggunakan kewenangannya, muncul kemudian konspirasi yang didalamnya ada kegiatan-kegiatan yang memunculkan kesepakatan-kesepakatan, meeting of mind hingga akhirnya manipulasi regulasi ataupun siasat ragam korupsi berupa munculnya kerugian negara, suap menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam engadaan barang dan jasa serta Gratifikasi.

Penggorengan isu intervensi kepada KPK tadi, juga meneguhkan serta mengabarkan, pimpinan KPK yang kolektif kolegial menjadi efektif menjamin keindependesian dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi. 

Ketika perkara E-KTP dilakukan gelar untuk menentukan apakah perkara tadi dinaikan statusnya pada penyidikan, sebagaimana diberitakan dan pengakuan salah satu komisioner saat itu, pimpinan yang setuju dan tidak adalah 3:2. 

Artinya 3 komisioner KPK setuju itu dinaikan dan 2 komisioner lainnya tidak setuju. Kolektif kolegial bisa menjadi katalisator dalam posisi perbedaan pendapat pengambilan keputusan. Setidaknya peran katalisator ini "menyaring" bila ada upaya intervensi tadi.

Terlepas dari benar atau tidaknya yang disampaikan Mantan Ketua KPK Agus Rahadjo tadi, pesan penting yang bisa dipetik adalah :

Pertama, lembaga anti korupsi KPK pada posisinya yang sekarang, di mana berada dalam rumpun ekskutif menjadi celah masuknya intervensi, karena secara psikologis ada hubungan vertikal dengan unsur eksekutif tadi, meskipun secara normative-yuridis, jelas dalam Pasal 3 UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK dengan tegas disebutkan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya  bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. 

Untuk menjaga marwah ini, dibutuhkan figure komisioner KPK yang tangguh, kokoh dalam pendirian serta menjaga adanya conflict of interest dengan penguatan kepemimpinan kolektif kolegial. Harus dipertegas adanya ketentuan atau regulasi boleh tidaknya Pimpinan KPK menghadiri panggilan Presiden, dan bila diperbolehkan, panggilan tersebut dilakukan harus kolektif kolegial, atau dengan bahasa lain pemanggilan dilakukan kepada Pimpinan KPK, dengan merujuk pada lima orang pimpinan, bukan pada Ketua KPK, sehingga akan menghindari atau menutup potensi intervensi.

Kedua, kepemimpinan yang tangguh, kokoh dalam pendirian tadi transparan kepada publik, sehingga bila terjadi hal-hal yang sebagaimana menjadi isu oleh Mantan Ketua KPK Agus Rahadjo tadi tidak "lewat" pada masanya (bukan dalam pengertian daluarsa), artinya setelah sekian tahun dan sudah tidak menjabat baru disampaikan ke publik. Padahal substansinya, bila itu benar sangat serius dampaknya. Tidak adanya penundaan atas "apapun" yang terjadi tadi, menunjukan Kepemimpinan yang tidak mementingkan diri sendiri atau ego sektoral, namun lebih pada kepentingan yang lebih besar, yaitu kepentingan bangsa dan negera, khususnya bagi pemberantasan tindak pidana korupsi.

Pasal 21 UU Tipikor menyatakan "Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat  3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dana tau denda paling sedikit Rp. 150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000 (enam ratus juta rupiah).

Ancaman bahwa setiap intervensi bisa dipidana dan dengan pemidanaan tadi bisa menjadi alasan diberhentikannya Pejabat atau Penyelenggara Negara dari singgasana jabatannya tersebut, menjadi salah satu alasan mengapa setiap muncul isu intervensi pada KPK selalu seksi, terlebih di tahun-tahun politik seperti sekarang.

Salam Anti Korupsi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun