Pada implementasinya, dalam kurun waktu KPK lahir hingga muncul isu adanya intervensi tadi, ragam peristiwa berskala nasional menyertai lembaga KPK.Â
Sebut misalnya bagaimana kiprah pemberantasan korupsi memunculkan istilah Cicak Vs Buaya Jilid I dan II, sampai terbaru penetapan Ketua KPK sebagai tersangka pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian SYL.
Dari sini, saya ingin mengatakan betapa masalah korupsi menjadi masalah yang seksi untuk ditampilkan, berbarengan dengan isu yang menyertainya. Berbicara korupsi, akan bersinggungan juga dengan kekuasaan. Sangat dipahami, terjadinya korupsi pasti melibatkan kekuasaan.Â
Dari pemilik kekuasaan ia menggunakan kewenangannya, muncul kemudian konspirasi yang didalamnya ada kegiatan-kegiatan yang memunculkan kesepakatan-kesepakatan, meeting of mind hingga akhirnya manipulasi regulasi ataupun siasat ragam korupsi berupa munculnya kerugian negara, suap menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam engadaan barang dan jasa serta Gratifikasi.
Penggorengan isu intervensi kepada KPK tadi, juga meneguhkan serta mengabarkan, pimpinan KPK yang kolektif kolegial menjadi efektif menjamin keindependesian dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi.Â
Ketika perkara E-KTP dilakukan gelar untuk menentukan apakah perkara tadi dinaikan statusnya pada penyidikan, sebagaimana diberitakan dan pengakuan salah satu komisioner saat itu, pimpinan yang setuju dan tidak adalah 3:2.Â
Artinya 3 komisioner KPK setuju itu dinaikan dan 2 komisioner lainnya tidak setuju. Kolektif kolegial bisa menjadi katalisator dalam posisi perbedaan pendapat pengambilan keputusan. Setidaknya peran katalisator ini "menyaring" bila ada upaya intervensi tadi.
Terlepas dari benar atau tidaknya yang disampaikan Mantan Ketua KPK Agus Rahadjo tadi, pesan penting yang bisa dipetik adalah :
Pertama, lembaga anti korupsi KPK pada posisinya yang sekarang, di mana berada dalam rumpun ekskutif menjadi celah masuknya intervensi, karena secara psikologis ada hubungan vertikal dengan unsur eksekutif tadi, meskipun secara normative-yuridis, jelas dalam Pasal 3 UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK dengan tegas disebutkan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya  bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.Â
Untuk menjaga marwah ini, dibutuhkan figure komisioner KPK yang tangguh, kokoh dalam pendirian serta menjaga adanya conflict of interest dengan penguatan kepemimpinan kolektif kolegial. Harus dipertegas adanya ketentuan atau regulasi boleh tidaknya Pimpinan KPK menghadiri panggilan Presiden, dan bila diperbolehkan, panggilan tersebut dilakukan harus kolektif kolegial, atau dengan bahasa lain pemanggilan dilakukan kepada Pimpinan KPK, dengan merujuk pada lima orang pimpinan, bukan pada Ketua KPK, sehingga akan menghindari atau menutup potensi intervensi.
Kedua, kepemimpinan yang tangguh, kokoh dalam pendirian tadi transparan kepada publik, sehingga bila terjadi hal-hal yang sebagaimana menjadi isu oleh Mantan Ketua KPK Agus Rahadjo tadi tidak "lewat" pada masanya (bukan dalam pengertian daluarsa), artinya setelah sekian tahun dan sudah tidak menjabat baru disampaikan ke publik. Padahal substansinya, bila itu benar sangat serius dampaknya. Tidak adanya penundaan atas "apapun" yang terjadi tadi, menunjukan Kepemimpinan yang tidak mementingkan diri sendiri atau ego sektoral, namun lebih pada kepentingan yang lebih besar, yaitu kepentingan bangsa dan negera, khususnya bagi pemberantasan tindak pidana korupsi.